Trah Itu Lumpuh oleh Pembesarnya (sebuah analisa politik saat ini)
CATATAN Aendra MEDITA, Analis & Strategi, Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI), Jakarta
DPP PDI Perjuangan (PDIP) rupanya tak lagi gertak sambel. Ia akhirnya melakukan pemecatan Trah Solo….Joko Widodo (mantan Presiden RI 1 dekade alias 10 tahun), Gibran Rakabuming Raka (sang putra, kini Wapres RI), dan Bobby Nasution (mantu dan kini kepiig Gubernur Sumut). Surat pemecatan dibacakan Ketua DPP PDIP bidang Kehormatan Partai Khomarudin Watubun, Senin (16/12/2024), selain itu turut dipecat ada 24 kader PDIP.
Saat dibacakan Komarudin turut didampingi jajaran DPP PDIP lainnya seperti Said Abdullah, Olly Dondokambey, Bambang Wuryanto atau Bambang Pacul serta jajaran pengurus PDIP lainnya.
Surat pemecatan Nomor Surat 1649/ Xii/ 2024 yang ditandatangi oleh Megawati ada nama Joko Widodo selai itu ada nama, Gibran dan Bobby. Ini fenomena yang terjadi dan menjadikan sebuah trah itu tumbang di partai banteng.
Kita tahu Trah adalah sekelompok individu yang saling memiliki hubungan kekerabatan (silsilah) satu-sama lain. Dengan keseriusan PDIP benar-benar memutus hubungan politik dengan Joko Widodo dan trahnya, apakah ada dampaknya sangat luas? Secara politik, sosial, maupun ekonomi beberapa dampak mungkin akan terjadi:
Dampak Politik yang mana adanya polarisasi internal dimana PDIP dapat menghadapi konflik internal, terutama dari kader atau simpatisan yang masih loyal kepada Joko Widodo. Ketegangan ini apa akan cerdampak konsolidasi partai nanti Pemilu 2029, artinya 5 tahun lagi PDIP seperti apa karena sudah aman saat ini di parleman? Apakah akan ada kerugian elektoral kelak tentu prediksi ini berjalan. Dulu Joko Widodo pernah memiliki popularitas yang tinggi di masyarakat. Jika PDIP dianggap dengan memecat Joko Widodo hal ini pada citra partai seperti apa? Apakah akan pengaruhi elektabilitas.
Saat ini memang Joko Widodo milih koalisi koalisi lain secara terang-terangan, itu sudah tak memperkuat posisi lawan politik PDIP. Partai-partai seperti Golkar, Gerindra, atau lainnya menjadi lebih dominan, bahkan PKS ikutan dukung Jokowi …hehehe
Ada keputusan Joko Widodo menciptakan blok-blok politik baru, baik yang mendukung Joko Widodo tanpa dukung PDIP, hal ini ada Fragmentasi Kekuatan saat masih presiden yang akan memengaruhi peta dukungan di Pilpres dan Pileg 2024 lalu itu.
Nah jika dilihat ampak Sosial apa yang terjadi? Benarkan ada Kekecewaan Publik selama ini? Rakyat yang selama ini mendukung Jokowi sebagai representasi PDIP memang bisa merasa bingung atau kecewa. Dapat menurunkan kepercayaan terhadap politik secara umum dan memperdalam nilai apatisme politik. Lantas ada narasi Anti-Partai yang sudah lama publik juga melihat sebagai bentuk “perebutan kekuasaan,” hal ini bisa memunculkan narasi anti-partai, atau adanya kekecewaan, PDIP, yang dianggap selama ini ada harmonisasi ternyata gagal. Sosok yang mereka usung dua periode tai kini sudah tak ada di partai itu.
Instabilitas Politik pemecatan awalnya ketegangan antara mantan Presiden Joko Widodo dan PDIP kekhawatiran tentang stabilitas politik. Nampaknya tentu ini hanya riak politik saja karena kekuasaan saat ini kan sudah Presiden Prabowo. Jika berpotensi gaduh mungkin tidak sebelum atau awalnya memengaruhi. Soalnya kepercayaan publik juga ke Joo Widodo sudah menurun apalagi seringnnya cawe-cawe di Pilpres atau di Pilkada:
Dampak Jangka Panjang
Nampaknya Transformasi PDIP diperlukan karena PDIP harus mampu mengelola konflik ini dengan baik, mereka bisa keluarkan Joko Widodo sebagai anggota partai. PDIP harus lebih kuat dengan visi yang sudah lebih jelas. Namun, jika transformasi gagal, hal ini bisa mengancam soliditas dan relevansi mereka sebagai partai.
Figur Baru
Jika lihat ke depan adanya konflik ini bisa membuka peluang bagi figur-figur baru di politik nasional, PDIP yang telah melipat trah Joko Widodo harusnya munculkan kader lain yang ingin mengambil posisi dominan masa depan. Secara keseluruhan, keputusan PDIP untuk menjauhkan diri dari Joko Widodo akan menjadi langkah politik yang berisiko tinggi, tetapi juga peluang untuk meredefinisi arah dan strategi partai ke depan.
Dari perspektif politik komunikasi, jika PDIP benar-benar mengambil langkah memecat Joko Widodo atau menjauhkan diri dari trahnya, ini mencerminkan strategi komunikasi politik yang kompleks dan penuh simbolisme. Sehingga dari kacamata politik komunikasi ada pergeseran narasi yang ideal yaitu PDIP telah mampu menggeser narasi dari Joko Widodo sebagai figur sentral awalnya (yang telah menjadi simbol kesuksesan mereka) kembali ke kekuatan kolektif partai.
Ini adalah upaya untuk menunjukkan bahwa partai lebih penting daripada individu, sebuah pesan yang ingin ditekankan pada konstituen mereka. Reklamasi Identitas Ideologis PDIP harus muncul kuat dan dalam politik komunikasi, langkah seperti ini bisa dimaknai sebagai cara PDIP untuk merebut kembali identitas ideologis mereka, misalnya dengan menekankan kembali loyalitas kepada kepemimpinan Megawati dan trahnya berikutnya.
Pesan untuk Internal dan Eksternal. Langkah ini adalah sinyal kepada kader dan struktur partai bahwa PDIP tidak boleh tergantung pada satu figur, bahkan jika itu Joko Widodoi. Pesan ini juga untuk memperkuat kontrol Megawati dan keluarga terhadap arah partai. Di Eksternal (Publik dan Lawan Politik). PDIP ingin menunjukkan kekuatan mereka sebagai partai yang mandiri dan tidak tunduk pada kepentingan figur di luar struktur formal partai. Ini juga pesan bahwa PDIP siap menghadapi tantangan politik baru tanpa Joko Widodo.
Pengelolaan Persepsi Publik. Baiknya PDIP harus menciptakan polarisasi terkelola dimama dalam politik komunikasi, konflik bisa menjadi alat untuk menciptakan polarisasi yang menguntungkan. Dengan menarik garis tegas antara PDIP dan Joko Widodo, mereka bisa membangun kelompok pendukung yang lebih loyal terhadap partai bukan ada sosok. Jadikan pengalihkan narasi negatif yang sebagai konflik ini bisa digunakan untuk mengalihkan perhatian dari isu-isu negatif lain yang mungkin sedang dihadapi PDIP, misalnya terkait kebijakan pemerintah atau isu internal partai.
Apakah ada Risiko “Komunikasi Gagal” langkah ini bisa membawa risiko komunikasi yang buruk jika publik melihat PDIP sebagai partai yang terlalu otoriter atau tidak menghargai kontribusi Jokowi selama dua periode.
Kebingungan Pesan Politik
Jika narasi yang dibangun PDIP tidak konsisten atau tidak kuat, langkah ini bisa menimbulkan kebingungan di masyarakat. Publik akan bertanya: apa sebenarnya masalah antara PDIP dan Jokowi?
Spekulasi dan Drama Politik
Dalam komunikasi politik modern, dramaturginya akan lain dilihat, karena spekulasi sering kali digunakan untuk menjaga perhatian publik. Konflik ini bisa menjadi bagian dari agenda setting, di mana PDIP berusaha menjaga posisinya sebagai pusat perhatian politik nasional, terlepas dari apakah konflik itu nyata atau hanya bagian dari strategi. Lagi-lagi dari kacamata Politik Komunikasi langkah ini adalah komunikasi strategis yang tujuannya untuk menegaskan kembali dominasi partai dalam percaturan politik nasional.
Jadikan elemen risiko besar jika tidak dikelola dengan baik, terutama dalam menjaga citra partai di mata publik. Sukses atau tidaknya strategi ini tergantung pada narasi komunikasi yang dibangun oleh PDIP, bagaimana publik memahaminya, dan bagaimana Joko Widodoi serta lawan politik merespons konflik ini. Mereka memahami bahwa setiap konflik atau narasi politik adalah alat untuk membentuk opini publik. Bagaimana pun partai atau tokoh politik PDIP harus dapat memanfaatkan konflik untuk menciptakan perhatian, sekaligus menggiring opini publik ke arah tertentu yang membangun reputasi PDIP.
PDIP harus mampu membaca bagaimana PDIP akan membingkai isu ini, apakah untuk menunjukkan otoritas partai, membangun narasi kekuatan ideologi, atau menciptakan polarisasi antara “PDIP murni” dan bukan lagi Joko Widodo.
Momentum Politik
PDIP memahami bahwa keputusan pemecatan Joko Widodo dan trah seperti ini biasanya tidak dilakukan secara tiba-tiba. Ada momen politik tertentu yang menjadi dasar bahkan PDIP nampaknya sudah waktunya mempersiapkan regenerasi kepemimpinan.
Sebagai pakar politik dan konsultan komunikasi, DR Gede Moenanto kami di Pusat Kajian Komunikasi Politik Indonesia (PKKPI) sering membahas bagaimana partai atau tokoh membangun narasi untuk kepentingan elektoral. “Saat tahu ada pemecatan Joko Widodo kami memahami cara memanfaatkan konflik politik untuk menciptakan resonansi publik. Partai besar sekelas PDIP selalu kan paham terhadap elektabilitas partainya.”ungkap Gede selain analis di PKKPI juga Doktor jebolan Universitas Padjajaran (UNPAD) dan juga dosen Komunikasi Universiatas Pancasila Jakarta .
Sebagai seorang komunikator Gede memberikan pandangan soal konflik kekuasaan dalam konteks politik Indonesia saat ini bahwa pemecatan PDIP ityu juga meski lambat artiknay PDIP mungkin baru tersadar. “Semoga saat ini demokrasi yang di Indonesia ini makin pada kekuatan komunikasi yang menuju kemandirian bukan pada tatanan lihat kulitnya,” ungkapnya.
Jika melihat politik menggunakan komunikasi dan kekuasaan saat ini kasus PDIP adalah jadi persepsi publik, terutama dalam konflik elite, meski didalam partai secara internal dipastikan goyah. Baiknya PDIP harus bisa menarasi bahwa digunakan untuk membentuk persepsi masyarakat tentang konflik atau isu politik ini luar biasa harus dijadikan Momentum politik yang bergairah.
Banyak menjelaskan bagaimana media dan elite politik membangun konsensus melalui narasi dalam membaca konflik PDIP-Joko Widodo dan trah ini.
Namun, mereka juga akan menilai bahwa risiko komunikasi yang buruk bisa menjadi bumerang bagi PDIP jika langkah ini tidak didukung oleh strategi komunikasi yang konsisten dan efektif.
Akhirnya PDIP rugi atau untung dari langkah memutus hubungan politik dengan Joko Widodo tergantung pada bagaimana konflik ini dikelola dan respon publik terhadap narasi yang dibangun PDIP. Potensi Keuntungan untuk PDIP jelas penguatan identitas Partai partai dengan ideologi dan nilai yang lebih besar daripada individu, termasuk Joko Widodo dan trahnya. Langkah ini bisa memperkuat basis ideologis partai di mata pendukung setianya.
Jika berhasil memindahkan fokus dari Joko Widodo ke figur baru Megawati bisa jadi akan memlih atau menentukan masadepan PDIP larinya seperti Puan Maharani atau Prananda atau ada kader lainnya dan mereka bisa membangun narasi regenerasi yang segar tentunya. Konflik ini bisa digunakan untuk menyatukan kembali kader dan simpatisan yang loyal kepada kepemimpinan Megawati dan trah Soekarno. PDIP juga bisa memanfaatkan ini untuk menegaskan bahwa mereka tidak bergantung pada Joko Widodo, sehingga mereka tetap relevan meskipun karen Joko Widodo sebenarnya juga sudah selesai (pensiun). Jadikan konflik ini berhasil membangun loyalitas dari massa PDIP yang merasa bahwa Joko Widodo tidak lagi sejalan dengan visi partai, polarisasi ini dapat menguntungkan PDIP dalam mengonsolidasikan suara inti.
Penguasaan Panggung Politik
Konflik terbuka Joko Widodo dengan PDIP akan terus menempatkan PDIP dalam perbincangan politik utama dan saat ini sudah plog selesai. Oleh sabab itu PDIP harus mampu membangun narasi bahwa langkah ini adalah untuk menjaga “kemurnian” ideologi partai dan regenerasi kepemimpinan, mereka bisa mendapatkan keuntungan politik. Namun, jika narasinya dianggap sekadar konflik kekuasaan tanpa alasan jelas, publik akan melihat ini sebagai kelemahan PDIP.
Saat ini PDIP diatas angin telah memecat Joko Widodo dan trahnya meski termasuk lamban bersikap, beda dengan Thaksin Shinawatra (Thailand) Partainya Thai Rak Thai (kemudian Partai Pheu Thai) Mantan Perdana Menteri Thailand ini terpaksa mengundurkan diri setelah kudeta militer pada 2006. Hubungannya dengan partai dan elite politik Thailand tetap tegang, dan ia dianggap sebagai tokoh yang memecah belah. Ada dampak: Thaksin tetap memengaruhi politik Thailand meskipun ia hidup di pengasingan, dan partai-partai yang ia dukung terus memenangkan pemilu. Nah PDIP memecat setelah pemilu 2024 dimana PDIP kalah pilres ini kelambanannya. PDIP menang memecat, dan Jowo Widodo memang bermain main di koalisi KIM dan tak mengundurkan diri. Hehehe…ini uniknya hanya terjadi di Indonesia yang seperti ini.
Pemecatan politikus dari partai (apalagi ini mantan presiden) adalah bagian dari dinamika politik yang sering terjadi dalam beberapa kasus, langkah ini juga dapat menjadi strategi untuk menjaga kesatuan ideologi atau kepemimpinan partai. Keberhasilan atau kegagalannya bergantung pada narasi yang dibangun dan bagaimana publik meresponsnya.
Tapi ini juga fenomena mantan presiden dipecat oleh partai barunya sangat jarang terjadi karena mantan presiden umumnya memiliki pengaruh yang besar dan jarang bergabung dengan partai baru setelah masa jabatan mereka berakhir. Drama Politik yang Mengguncang karena pertarungan Politik Partai mungkin akan mengeluarkan pernyataan yang merendahkan mantan presiden, sementara mantan presiden bisa membalas dengan retorika yang mengkritik partai dan sistem yang ada. Media akan memfokuskan perhatian pada peristiwa ini sebagai drama besar dalam politik, memberikan sorotan yang mungkin lebih kepada dinamika personal dan retorika, bukan substansi politik. Ini bisa menciptakan kegaduhan politik yang memengaruhi persepsi publik terhadap stabilitas dan kredibilitas partai atau pemerintahan.an ketidakpastian baru dalam lanskap politik Indonesia.
Nah akhirnya apakah Politik Kita Masih Baik-Baik Saja atau Sebuah Drama?
Jika dilihat dari perspektif politik, peristiwa semacam ini bisa sangat dramatis. Mengingat sejarah politik Indonesia yang sering kali penuh dengan ketegangan dan dramatisasi di media, pemecatan seorang mantan presiden akan menambah unsur sensasional yang dapat menarik perhatian publik dan media. Drama politik sering kali lebih mengutamakan narasi emosional, perseteruan pribadi, dan pertarungan antara tokoh-tokoh besar daripada fokus pada kebijakan atau isu substantif.
Pemecatan mantan presiden oleh partai akan menciptakan ada “ketegangan politik” yang besar dan bisa dianggap sebagai sebuah drama politik, karena akan memicu kontroversi dan pertarungan publik. Namun, di balik drama ini, ada risiko politik yang lebih besar, seperti polarisasi sosial, perpecahan partai, dan ketidakpastian bagi masa depan politik Indonesia.
Politik kita mungkin tidak “baik-baik saja” karena ini terjadi, semoga pemerintah, partai, atau masyarakat Indoensia belajar dari peristiwa langka ini bahwa Trah Itu Dilumpuhkan oleh pembesar yang menjadikan dia menjadi “besar”. Tabik…!!!
Jagakarsa, JAKARTA, 17 Desember 2024