Pemagaran Laut Oleh Pik 2 :  Dugaan Pelanggaran Hukum Nasional Dan Internasional.

Oleh : Laksma TNI (Purn) Jaya Darmawan, M.Tr.Opsla.

Pemagaran laut oleh PIK 2 telah menimbulkan kekhawatiran di kalangan nelayan dan masyarakat setempat, yang merasa bahwa akses mereka ke laut menjadi terhambat. Mereka telah mengadukan hal ini kepada Ombudsman RI, yang kemudian meninjau langsung ke lokasi dan mengonfirmasi keberadaan pagar-pagar bambu di perairan tersebut.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, khususnya Pasal 7, pemilikan dan penguasaan tanah yang melampaui batas tidak diperkenankan karena dapat merugikan kepentingan umum. Jika pemagaran laut ini terbukti melanggar ketentuan tersebut atau menghalangi akses publik ke laut, maka tindakan hukum harus segera dilakukan.

Selain itu, Ombudsman Banten menyoroti adanya dugaan maladministrasi dalam proyek strategis nasional (PSN) di Kabupaten Tangerang, termasuk pemagaran laut sejauh satu kilometer dari bibir pantai Kronjo dan penutupan jalur air.

Dari perspektif hukum internasional, Indonesia terikat oleh Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut (UNCLOS), yang menjamin hak akses publik ke laut dan sumber dayanya. Pembatasan akses tanpa dasar hukum yang jelas dapat dianggap melanggar prinsip-prinsip tersebut.

Pihak pengembang PIK 2, Agung Sedayu Group, melalui konsultan hukumnya, Haris Azhar, menyatakan bahwa mereka tidak pernah melakukan pemagaran laut yang menghalangi akses nelayan ke laut.

Namun, berdasarkan laporan dan keluhan dari masyarakat serta temuan Ombudsman, perlu dilakukan investigasi lebih lanjut untuk memastikan apakah tindakan pemagaran laut oleh PIK 2 melanggar peraturan nasional dan internasional yang berlaku.

Dugaan pelanggaran hukum terkait pemagaran laut seperti yang terjadi di PIK 2 dapat diproses oleh pihak berwenang yang memiliki yurisdiksi sesuai dengan hukum nasional dan internasional. Berikut penjelasan lengkapnya:

1. Pihak Berwenang Menangani Dugaan Pelanggaran

Hukum Nasional (Indonesia):
• Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP):
KKP bertanggung jawab atas pengelolaan wilayah perairan, termasuk memastikan tidak ada aktivitas yang menghambat akses publik atau nelayan ke laut.
• Pemerintah Daerah (Pemprov atau Pemkab):
Jika pemagaran laut berada di perairan pesisir, pemerintah daerah berhak menindak karena memiliki kewenangan pengelolaan laut hingga 12 mil dari garis pantai berdasarkan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Ombudsman RI:
Ombudsman bertugas menyelidiki dugaan maladministrasi yang melibatkan instansi pemerintah atau pihak swasta dalam proyek-proyek publik.
• Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK):
Jika pemagaran berdampak pada lingkungan, KLHK dapat menyelidiki melalui mekanisme Amdal (Analisis Dampak Lingkungan).
• Polisi Perairan dan Penegak Hukum (Polairud dan Kejaksaan):
Jika ditemukan pelanggaran hukum pidana, seperti menghambat akses publik atau merusak ekosistem laut, kasus ini bisa dilanjutkan ke penyelidikan polisi dan diproses di pengadilan.

Hukum Internasional:
• Mahkamah Internasional (ICJ):
Jika pemagaran laut dianggap melanggar Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS), maka negara yang merasa dirugikan dapat mengajukan sengketa ke ICJ. Namun, kasus ini memerlukan peran negara untuk bertindak mewakili rakyat.
• Organisasi Maritim Internasional (IMO):
IMO dapat ikut memantau apabila aktivitas tersebut mengganggu jalur navigasi atau keamanan perairan.

2. Proses dan Tahapan Penyelesaian Hukum

Tahap 1: Pengumpulan Bukti dan Investigasi Awal
• Pelaporan Awal: Masyarakat atau pihak terdampak (misal: nelayan) melaporkan pemagaran tersebut ke Ombudsman RI, KKP, atau pemerintah daerah.
• Pengumpulan Data: Instansi terkait akan melakukan inspeksi lapangan untuk memverifikasi laporan.
• Identifikasi Pelanggaran: Menentukan apakah pemagaran melanggar:
• UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil,
• Hak akses publik sesuai Pasal 33 UUD 1945,
• Aturan lingkungan hidup (jika berdampak ekologis).

Tahap 2: Penegakan Administrasi dan Hukum
• Jika ditemukan maladministrasi atau pelanggaran administratif:
• Ombudsman akan mengeluarkan rekomendasi perbaikan kepada instansi terkait.
• Pemerintah daerah dapat mencabut izin proyek atau menindak pengembang.
• Jika ada pelanggaran pidana:
• Kasus dapat diserahkan ke Polairud atau Kejaksaan untuk penyelidikan hukum lebih lanjut.
• Proses hukum dilakukan di pengadilan negeri setempat.

Tahap 3: Penyelesaian Melalui Mekanisme Internasional (Jika Diperlukan)
• Jika dugaan pelanggaran berdampak lintas negara atau melanggar UNCLOS, Indonesia sebagai negara pihak:
• Menyampaikan keluhan atau protes resmi ke PBB.
• Melalui proses diplomasi, sengketa dapat dimediasi di Tribunal Hukum Laut Internasional (ITLOS) atau ICJ.

Langkah-Langkah yang Bisa Dilakukan Masyarakat:
1. Pelaporan Resmi:
Mengajukan pengaduan tertulis ke Ombudsman RI, KKP, atau pemerintah daerah setempat.
2. Pendokumentasian Bukti:
Foto, video, dan kesaksian dari nelayan terdampak dapat memperkuat laporan.
3. Advokasi dan Pendampingan Hukum:
Melibatkan lembaga bantuan hukum (LBH) atau aktivis lingkungan hidup untuk pendampingan.
4. Media dan Kampanye Publik:
Membuka diskusi publik untuk meningkatkan perhatian terhadap isu pemagaran laut dan mendorong respons cepat dari pemerintah.

Dugaan pemagaran laut oleh PIK 2 harus ditangani melalui mekanisme hukum yang berlaku di tingkat nasional terlebih dahulu, melibatkan KKP, Ombudsman RI, dan pemerintah daerah. Jika masalah ini berdampak lebih luas atau melibatkan hukum internasional, maka penyelesaiannya bisa dibawa ke UNCLOS melalui jalur diplomatik atau pengadilan internasional.

Agar penyelesaian berjalan efektif, langkah pertama adalah pelaporan resmi oleh masyarakat atau nelayan terdampak disertai bukti kuat, kemudian pemerintah wajib melakukan investigasi menyeluruh dan penegakan hukum sesuai peraturan yang berlaku.

Jika penegak hukum diduga berpihak kepada oligarki akibat dampak dari kebijakan rezim terdahulu, langkah terbaik bagi masyarakat adalah mendesak rezim pemerintahan yang baru segera mengambil langkah tegas demi kepentingan nasional dan kepentingan masyarakat, jika tidak mengoptimalkan upaya non-litigasi dan pengawasan publik untuk mendorong perubahan serta penegakan hukum yang adil. Berikut beberapa langkah konkret yang dapat dilakukan:

1. Penguatan Advokasi dan Gerakan Masyarakat Sipil
• Kolaborasi dengan LSM dan LBH:
Melibatkan organisasi masyarakat sipil seperti WALHI, LBH, atau ICW yang memiliki kapasitas hukum, pengalaman advokasi, dan jaringan luas untuk mendukung perlawanan.
• Aksi Kolektif dan Kampanye Publik:
Melakukan aksi damai, demonstrasi, atau gerakan kolektif yang legal untuk menarik perhatian publik dan media terhadap masalah pemagaran laut serta ketidakadilan yang dirasakan.
• Penyadaran dan Edukasi Publik:
Mengorganisir diskusi, forum, dan kampanye edukasi untuk membangun kesadaran tentang dampak pemagaran laut dan pentingnya melawan oligarki.

2. Membangun Tekanan Media dan Opini Publik
• Menggunakan Media Sosial dan Media Massa:
Menyebarluaskan informasi, fakta, dan bukti pelanggaran melalui media sosial, portal berita independen, dan media mainstream untuk mendorong transparansi dan dukungan publik.
• Jurnalisme Investigasi:
Mendorong media atau jurnalis independen untuk melakukan investigasi mendalam terkait kebijakan dan dugaan keberpihakan penegak hukum terhadap oligarki.
• Tekanan Opini Publik:
Dukungan besar dari masyarakat dapat menciptakan tekanan moral kepada pemangku kepentingan untuk bertindak lebih adil dan transparan.

3. Menggunakan Jalur Hukum yang Tersisa Secara Strategis
• Menggugat Melalui Mekanisme Hukum Alternatif:
• Mengajukan class action (gugatan kelompok) ke pengadilan jika dampaknya dirasakan oleh banyak orang.
• Mengajukan gugatan hukum tata usaha negara (PTUN) jika ada kebijakan pemerintah yang melanggar hukum atau merugikan kepentingan publik.
• Menggunakan Ombudsman RI:
Melaporkan dugaan maladministrasi atau penyalahgunaan wewenang oleh aparat hukum. Ombudsman memiliki kewenangan memberikan rekomendasi perbaikan.
• Mekanisme Internasional:
Jika memungkinkan, membawa persoalan ini ke forum internasional seperti:
• PBB (Komisi HAM dan Hukum Laut) jika ada pelanggaran hak asasi manusia atau UNCLOS.
• Organisasi internasional lingkungan hidup jika ada kerusakan ekosistem akibat pemagaran laut.

4. Membangun Koalisi dan Dukungan Politik Alternatif
• Mendekati Wakil Rakyat yang Pro-Rakyat:
Menggalang dukungan dari anggota DPR, DPD, atau DPRD yang bersedia memperjuangkan kepentingan masyarakat dan melakukan pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
• Menggunakan Momentum Politik:
Menjelang pemilihan umum, masyarakat dapat mengarahkan aspirasi untuk mendukung pemimpin atau partai politik yang anti-oligarki dan berkomitmen menjaga kepentingan rakyat.

5. Mendorong Audit Independen dan Investigasi Publik
• Audit Lingkungan dan Proyek:
Mendesak lembaga seperti BPK atau BPKP untuk melakukan audit independen terkait izin proyek, dampak lingkungan, dan transparansi penggunaan sumber daya publik.
• Hak Angket DPR atau Penyelidikan Bersama:
Jika masalah ini berskala besar, dorong wakil rakyat untuk menggunakan hak angket untuk menyelidiki proyek yang bermasalah dan melibatkan oligarki.

Kesimpulan:

Ketika penegak hukum terindikasi berpihak kepada oligarki, masyarakat dapat memperkuat perjuangan melalui advokasi publik, dukungan media, jalur hukum strategis, dan tekanan politik. Kekuatan opini publik yang masif, didukung oleh kolaborasi dengan LSM, media, dan pemimpin pro-rakyat, akan menciptakan tekanan signifikan terhadap rezim untuk menindak dugaan pelanggaran tersebut. Kesadaran kolektif dan gerakan solidaritas rakyat menjadi kunci untuk melawan ketidakadilan dan keberpihakan terhadap oligarki.