EDITORIAL JAKARTASATU.COM : SOAL LUKISAN ITU ATAWA SEBUAH DRAMA YANG LAIN
Kritik tidak boleh mati. Kritik merupakan salah satu elemen penting dalam perkembangan masyarakat, seni, ilmu pengetahuan, dan kehidupan pribadi. Tanpa kritik, kemajuan bisa terhambat, dan ketidakadilan atau kesalahan bisa dibiarkan begitu saja tanpa koreksi.
Berikut beberapa alasan mengapa kritik harus tetap hidup dan diterima dengan baik.
Nilai kritik alat untuk Perbaikan dan Kemajuan Kritik membantu mengidentifikasi kesalahan, kekurangan, atau hal-hal yang bisa diperbaiki. Tanpa kritik, perbaikan tidak akan terjadi, dan inovasi atau kemajuan akan terhambat.
Memperkuat Kebenaran Kritik yang konstruktif dan berdasarkan fakta membantu memperkuat kebenaran. Ini memaksa kita untuk merenung, mengevaluasi, dan kadang-kadang menyesuaikan pandangan atau tindakan kita demi kebaikan bersama.
Menjaga Akuntabilitas Kritik juga penting untuk menjaga akuntabilitas, baik itu dalam konteks individu, organisasi, atau pemerintah. Tanpa kritik yang hidup, praktik yang tidak adil atau salah bisa berkembang tanpa pengawasan.
Kritik akan menumbuhkan Dialog yang Sehat Kritik yang terbuka dan jujur menciptakan ruang untuk berpikir cerdas. Adanya dialog ini memungkinkan pertukaran ide, memperkaya pemahaman, dan memperbaiki kesalahpahaman atau prasangka.
Memberdayakan Masyarakat Ketika kritik diterima dengan baik, masyarakat menjadi lebih terlibat dan aktif dalam berbagai proses, baik itu dalam dunia kerja, politik, maupun budaya. Masyarakat yang kritis akan lebih mampu mengatasi tantangan dan memajukan peradaban. Ada yang menarik dari kritik akan menghindari Status Quo yang Merugikan Tanpa kritik, kita cenderung terjebak dalam rutinitas atau status quo yang tidak produktif atau bahkan merugikan. Kritik yang hidup mencegah stagnasi dan mendorong perubahan yang diperlukan. Akhirnya nilai kritik yang konstruktif dan bermanfaat merupakan bagian integral dari kehidupan yang jujur dan sehat, karena memberi kesempatan bagi perkembangan dan perbaikan dalam semua aspek kehidupan. Oleh karena itu, kritik harus hidup dan berkembang, tetapi dengan cara yang membangun, penuh pengertian, dan bertujuan untuk kebaikan bersama.
Albert Camus, seorang filsuf eksistensialis dan absurdist, memiliki pandangan mendalam tentang kritik, yang dapat dipahami melalui pemikirannya tentang kebebasan, keadilan, dan seni. Meski tidak secara eksplisit menulis “teori kritik,” ide-idenya dalam esai-esai seperti The Myth of Sisyphus dan The Rebel memberikan wawasan tentang pentingnya kritik sebagai bagian dari upaya memahami dan melawan absurditas kehidupan. Pandangan Camus tentang kritik sebagai Respons terhadap Absurditas Camus percaya bahwa dunia ini absurd—ada jurang antara harapan manusia akan makna dan realitas dunia yang tidak memiliki makna intrinsik. Kritik, dalam pandangan Camus adalah salah satu cara manusia merespons absurditas. Jika menolak penerimaan buta adalah tindakan menolak ketidakadilan, ketidaktahuan, atau pengabaian terhadap kondisi manusia. Ini adalah bentuk pemberontakan (revolt), yang menurut Camus, adalah cara manusia memberi makna pada kehidupan.
Camus menyatakan bahwa kritik sejati lahir dari pemberontakan terhadap ketidakadilan dan absurditas, tetapi pemberontakan itu harus diiringi dengan rasa hormat terhadap kebebasan dan kehidupan orang lain.
Lantas Kritik dalam Seni Camus sangat menghargai seni sebagai bentuk pemberontakan manusia melawan absurditas dan keterbatasan. Seni dan kritik terhadap seni memiliki peran penting dalam menciptakan dialog dan pemahaman.
Karya seni, seperti sastra dan teater, adalah medium untuk mengkritik realitas sosial, politik, dan eksistensial. Camus sendiri, melalui novel seperti The Stranger dan drama seperti Caligula, sering mengkritik absurditas hidup dan sistem kekuasaan.
Kritik yang Bertanggung Jawab: Dalam esai “Create Dangerously,” Camus menegaskan bahwa seniman memiliki tanggung jawab moral untuk berbicara tentang penderitaan manusia, tetapi harus melakukannya tanpa mengorbankan kebebasan atau martabat. Kritik dalam Politik dan Keadilan Camus adalah seorang kritikus tajam terhadap totalitarianisme, baik dalam bentuk fasisme maupun komunisme. Ia percaya bahwa kritik politik harus didasarkan pada nilai-nilai humanisme, bukan ideologi yang menindas.
Camus menekankan pentingnya mengkritik kekuasaan yang mengorbankan manusia demi ideologi atau ambisi tertentu. Kritik semacam ini adalah bentuk solidaritas terhadap ketidakadilan. Keseimbangan Antara Kritik dan Solidaritas di The Rebel, ia menolak kekerasan sebagai bentuk kritik yang sah. Kritik harus selalu mempertimbangkan penghormatan terhadap kehidupan manusia. Kritik sebagai Tindakan Moral Camus percaya bahwa kritik adalah tindakan moral yang tidak hanya bertujuan menghancurkan, tetapi juga membangun.
Kritik dan Kebebasan manusia bergantung pada kemampuan untuk mengkritik dan memperbaiki diri sendiri serta masyarakat. Kritik yang baik adalah kritik yang memperjuangkan kebebasan bagi semua orang. Menjaga Integritas dalam Kritik Camus berpendapat bahwa kritik yang benar harus mempertahankan integritas moral, bahkan terhadap mereka yang dikritik. Kritik yang hanya menghancurkan tanpa menawarkan solusi adalah bentuk nihilisme.
Relevansi Kritik Menurut Camus Pemikiran Camus tentang kritik tetap relevan dalam dunia modern maka, Kritik harus bertujuan memperjuangkan keadilan tanpa jatuh ke dalam kekerasan atau dogmatisme. Makanya Kritik dalam Seni memiliki peran untuk menyuarakan kebenaran yang sering diabaikan. Lalu Kritik Eksistensial dalam menghadapi absurditas, manusia harus terus berjuang mencari makna melalui kritik terhadap kehidupan itu sendiri. Camus mengajarkan bahwa kritik adalah bagian esensial dari pemberontakan manusia melawan absurditas, ketidakadilan, dan penindasan. Namun, kritik tersebut harus dilakukan dengan kesadaran moral dan penghormatan terhadap kebebasan, demi menciptakan dunia yang lebih manusiawi.
Kami ingin mengutip tokoh bangsa ini Mochtar Lubis, seorang jurnalis, sastrawan, dan pemikir Indonesia yang dikenal karena keberaniannya menyuarakan kebenaran, memiliki pandangan yang tegas dan kritis terhadap masyarakat, budaya, dan pemerintahan di Indonesia.
Moctar bahkan keluar masuk penjara karena represifnya kekuasaan, baginya kritiknya sering tercermin dalam karya-karyanya, baik dalam bentuk esai, editorial, maupun sastra, seperti novel Harimau! Harimau! dan Senja di Jakarta. Pandangan Mochtar Lubis tentang kritik ialah Karakter Bangsa Mochtar Lubis terkenal dengan pidatonya berjudul “Manusia Indonesia” (1977) dimana berisi analisis tajam tentang karakter manusia Indonesia. Dalam pidato ini, ia mengemukakan beberapa sifat negatif yang ia anggap merusak perkembangan bangsa, nilai hipokrit: banyak orang Indonesia cenderung berpura-pura dan tidak jujur pada diri sendiri maupun orang lain. Adanya Feodalistik: Budaya feodalisme masih kuat dan menghambat kemajuan serta kesetaraan. Kurang Bertanggung Jawab Kesadaran akan tanggung jawab pribadi dan kolektif sering kali lemah. Takut Konflik menjadikan Enggan menyelesaikan masalah secara langsung karena menghindari konflik.
Mochtar Lubis tidak sekadar mengkritik untuk menjatuhkan, tetapi untuk mendorong refleksi dan perbaikan diri sebagai bangsa. Kritik terhadap Kebebasan Pers Sebagai seorang jurnalis, Mochtar Lubis adalah pendukung kebebasan pers dan kritik yang terbuka. Namun, ia juga menyadari tantangan besar yang dihadapi pers Indonesia, Kekuasaan Otoriter, Kritik terhadap pemerintah sering kali ditekan atau disensor, seperti yang dialaminya sendiri saat harian Indonesia Raya yang ia pimpin dibredel. Tanggung Jawab Jurnalis: Ia menekankan bahwa jurnalis harus jujur dan bertanggung jawab dalam menyampaikan kebenaran. Kritik yang tidak didasarkan pada fakta hanya akan merusak kredibilitas pers.
Kebebasan dengan Etika bagi Mochtar Lubis, kebebasan pers bukan berarti tanpa batas. Pers juga harus menjaga moralitas dan kepentingan masyarakat luas. Kritik terhadap Pemerintah dan Korupsi adalah salah satu suara lantang melawan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di Indonesia. Dalam editorial dan tulisannya, ia kerap menyoroti Korupsi yang Mengakar. Mochtar Lubis melihat korupsi sebagai penyakit sosial yang merusak tatanan negara. Adanya Kepemimpinan yang Lemah Ia pun mengkritik para pemimpin yang gagal menegakkan keadilan dan kesejahteraan rakyat. Penyalahgunaan Kekuasaan Ia menentang otoritarianisme dan praktik yang mengorbankan kebebasan serta hak asasi manusia.
Sedang Kritik dalam Karya Sastra Karya sastra Mochtar Lubis sering menjadi medium untuk mengkritik kondisi sosial dan politik.”Harimau! Harimau!, Novelnya ia menyampaikan kritik tentang ketakutan, moralitas, dan keberanian manusia dalam menghadapi tantangan hidup. Dalam Senja di Jakarta, Mochtar Lubis mengeksplorasi isu-isu sosial seperti kemiskinan, korupsi, dan ketimpangan kelas di ibu kota. Sastranya sering kali bersifat reflektif, menantang pembaca untuk merenungkan kondisi masyarakat dan peran individu dalam perubahan.
Intinya Kritik sebagai Alat Perubahan Mochtar Lubis percaya bahwa kritik adalah bagian penting dari proses pembangunan bangsa. Kritik, menurutnya, adalah Tanda Kepedulian: Bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk memperbaiki. Sarana Pendidikan: Kritik membantu masyarakat memahami masalah dan mencari solusi. Kewajiban Moral: Setiap individu, khususnya jurnalis dan seniman, memiliki kewajiban untuk mengkritik ketidakadilan dan kebohongan.
Relevansi Kritik Mochtar Lubis Pemikiran Mochtar Lubis tetap relevan di era modern, terutama dalam konteks, Pemberantasan Korupsi: Kritiknya tentang korupsi dan moralitas pemimpin terus relevan di tengah tantangan besar dalam reformasi birokrasi.
Kebebasan Pers: Dalam era digital, prinsip-prinsip jurnalisme yang ia anut tetap menjadi pedoman untuk menjaga integritas media. Refleksi Karakter Bangsa: Kritiknya tentang sifat manusia Indonesia mengajak masyarakat untuk terus berbenah dan menghadapi kenyataan dengan jujur. Mochtar Lubis menunjukkan bahwa kritik bukanlah musuh, melainkan bagian penting dari perubahan. Namun, kritik harus dilakukan dengan integritas, keberanian, dan tujuan untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik.
Nah atas pandangan ini baik dari kalangan dunia maupun Indonesia, apakah kasus Pameran lukisan tunggal karya perupa Yos Suprapto bertajuk “Kebangkitan: Tanah Untuk Kedaulatan Pangan” di Galeri Nasional, Jakarta (19/12), yang batal dibuka pada 19 Desember 2024 malam dilarang adalah karena karya mengkritik? Lantas pameran yang telah dipersiapkan sejak setahun terakhir. Pintu pameran dikunci?
Menurut Yos, kurator yang ditunjuk Galeri Nasional, Suwarno Wisetrotomo, meminta lima, di antara 30 lukisan, diturunkan. Tapi Yos menolak? Lima lukisan itu berkaitan dengan sosok yang pernah sangat populer di masyarakat Indonesia.
“Saya rasa itu ekspresi kurator yang takut secara berlebihan,” kata Eros Djarot, yang membuka acara.