JAKARTASATU.COM– Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta) mendesak Presiden, Menteri Kebudayaan, Kepala Museum dan Cagar Budaya, dan Direktur Galeri Nasional Indonesia untuk bertindak demokratis dan segera membuka pameran seni tunggal Yos Suprapto di Galeri Nasional Indonesia.
LBH Jakarta juga mendesak Komisi Nasional HAM untuk melakukan tindakan aktif atas adanya dugaan pelanggaran hak asasi manusia melalui fungsi pemantauan dan penyelidikan dalam kasus pembredelan pameran tunggal Yos Suprapto atas surat permintaan klarifikasi yang telah disampaikan di tanggal 20 Desember 2024.
LBH mendesak agar Komnas HAM bertindak untuk mengusut dugaan pelanggaran HAM melalui fungsi pemantauan dan penyelidikan dalam kasus ini.
LBH Jakarta menilai telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia (HAM) terhadap seniman Yos Suprapto atas penundaan pameran tunggalnya di Galeri Nasional. “Telah terjadi pelanggaran hak asasi manusia dengan Yos Suprapto sebagai korbannya,” ujar pengacara publik LBH Jakarta, Alif Fauzi Nurwidiastomo, saat konferensi pers di Kantor LBH Jakarta, Menteng, Jakarta Pusat, Sabtu (21/12/2024).
Karya seni yang akan ditampilkan oleh seniman Yos Suprapto menurut Alif bukanlah bentuk ekspresi yang dapat dibatasi menurut instrumen hak asasi manusia internasional, melainkan merupakan bentuk ekspresi yang sah
“Pelanggaran HAM ini terlihat dari adanya pelarangan terhadap sejumlah lukisan Yos Suprapto yang seharusnya diperlihatkan kepada publik,” kata Alif.
LBH menilai negara punya andil dan berperan aktif dalam melakukan represi terhadap Yos. Hal ini terlihat dari keterlibatan pejabat publik, dalam kasus ini, Direktur Galeri Nasional yang merupakan pejabat dari badan publik di bawah Museum dan Cagar Budaya yang berada di bawah naungan Kementerian Kebudayaan.
“Dalam komunikasi yang dilakukan oleh Wakil Menteri Kebudayaan (Wamenbud) kepada pihak penyelenggara acara, Wamenbud seakan-akan resisten terhadap berjalannya pameran dan menganggap salah satu karya dalam lukisan adalah bentuk tindakan asusila,” lanjut Alif.
Berdasarkan hukum hak asasi manusia internasional, kebebasan berpendapat memang dapat dibatasi, tetapi pembatasan harus dilakukan secara ketat dan sesuai prosedur yang ada. Berdasarkan Pasal 19 ayat (3) Kovensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil Politik, pembatasan ini bisa dilakukan sepanjang diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain, atau untuk melindungi keamanan nasional, ketertiban umum, atau kesehatan dan moral masyarakat. Pelarangan yang dialami Yos dinilai menjadi suatu represi atas hak untuk berekspresi dan berpendapat. (RIS)