IBUKU DAN BU SITI FADILAH SUPARI
Oleh Agung Marsudi
SEHARI setelah acara peluncuran buku berjudul “Neokolonialisme AS di Asia: Perspektif Indonesia” di Wisma Daria, Jakarta, Jumat (20/12), saya berkunjung ke kediaman ibu di Solo. Maksud hati, mau memberi kejutan hari ibu.
Sayang, ketika sampai di Gambir, tiket kereta api habis, kemudian bergegas menuju stasiun Pasar Senen, alhamdulillah ada sisa tiket, tapi ke Semarang. Jadilah, saya pulang, lewat Semarang. Paginya baru naik bus Eka ke Solo. Busnya pun “Eka”, teringat editor buku terbitan Indonesia Consulting Group itu, mbak Eka.
Sampai di Solo, singgah ke Gladag, sambil cari oleh-oleh, lalu teringat Bu Siti Fadilah Supari, tahun 2014, ketika Bu Siti bersama beberapa ibu, sedang santai di pasar malam di Gladag, beliau sempat memberi komentar, ketika buku saya Chevronomics mau diterbitkan oleh Quantum di Yogya.
“Bagus, mumpung Sri Mulyani, kembali ke tuannya,” ujar Bu Siti.
Sekaligus saya minta ijin mengutip pernyataan Bu Siti, tentang neokolonialisme yang diramal Bung Karno. Dan beliau ijinkan.
Sampai di rumah, pintu terbuka. Ibu tidak ada, kata mbak Yani tetangga, ibu sedang ikut pengajian di masjid. Karena kecapekan, saya langsung masuk rumah dan tertidur, hingga kaget dibangunkan ibu, sudah tersedia teh gardoe, nasi, dan “bothok” kesukaan buatan ibu.
Agenda kejutan hari ibu tertunda. Karena ibu mau “ngeluk geger” meluruskan punggung rehat sebentar. Seusia Bu Siti, ibuku berusia 75 tahun, masih sehat, segar bugar. Semua masih bisa dikerjakan sendiri di rumah.
Bu Siti adalah wanita luar biasa, karena saat masih menjadi menteri Kesehatan era Presiden SBY, berada dalam sistem, berani melawan Amerika.
Ibuku, r. Mulyati, seorang wanita, yang memiliki kesabaran luar biasa. Tak pernah mau merepotkan anak-anaknya. Prinsipnya tentang hidup, sederhana, “Sehat, panjang umur. Panjang umur, sehat”.
Kata “sehat” itu yang selalu mengingatkan saya pada sosok Bu Siti Fadilah Supari, mantan menteri Kesehatan yang berani.
Sempena hari Ibu, menghadiahkan pelukan kepada ibu yang kita cintai, yang kita hormati seperti embun yang menetes sedalam kalbu, getarannya semesta di jiwa. Ibu memang tidak bermahkota, tapi sorga berada di bawah telapak kakinya.
Takzim untuk Ibu r. Mulyati, ibu Siti Fadilah Supari. Dari keduanya, saya belajar jati diri bangsa.
Sambil menunggui ibu melipat kain, yang saya cuci tadi pagi, lalu memijat-mijat punggung ibu dari belakang, teringat potongan bait puisi, “Ketika musim panen tiba, waktunya anak-anak pulang, membayar harapan ke kampung halaman. Desa yang melahirkan Indonesia”
Solo, 22 Desember 2024