Hasto Sekjen PDIP Korban Kelanjutan Kriminalisasi Era Jokowi

Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Selain sebagai pengamat juga secara umum publik mengetahui penulis merupakan aktivis muslim yang tidak jarang mengkritik kepemimpinan Jokowi sebagai seorang Presiden RI 2  (dua) periode yang mutlak hasil dari usungan dan perjuangan organisasi politik utamanya adalah dari partai PDIP sekaligus juga sebagai partai dimana Jokowi resmi tercatat sebagai kader, sebelum Jokowi dipecat pada tanggal 16 Desember 2024 dari keanggotannya, dan satu alasan kuatnya adalah Jokowi “telah mengkhianati partai”.

Dan atas pemecatan terhadap dirinya, Jokowi nampak kesal, karena secara implisit walau menyatakan menerima dirinya dipecat, Jokowi juga mengatakan, “nanti waktu yang akan mengujinya”.

Apakah maksud Jokowi? hal ini mungkin akan didapat maknanya, saat pra jelang atau saat PDIP Munas di bulan Mai 2025? Dan salah satu tanda “lihat saja nanti” dari kalimat Jokowi,  3 hari setelah pemecatan (19 Desember 2024) muncul fenomena macam-macam baliho dan spanduk yang bertebaran di jalan rasuna said, yang kontennya tantang ketidakabsahan Megawati, diantaranya tulisan, “DPP PDIP 2019-2024 legal sesuai UU nomor 2 Tahun 2011 Tentang Parpol. DPP PDIP 2024-2025 ilegal karena tanpa kongres.”

Selanjutnya, ada juga tulisan dalam spanduk itu yakni SK Menkumham No.M.HH-05 AH.11.02 2 Tahun 2024 ilegal dan juga tulisan dengan huruf capital dan besar yaitu ‘MEGAWATI ILEGAL’.

Sebelum berlanjut mengupas sesuai topik judul, ada baiknya refleksi atau cerminan, bahwa kesemua kepala institusi penegakan hukum saat ini adalah masih terdapat wajah lama sebagai “titipan” Jokowi.

Sehingga ditetapkannya Hasto dengan status Tersangka/ TSK terkait Harun Masiku adalah korban daripada politik kekuasaan (Jokowi dan kroni), tidak pure hukum.

Perspektif politik hukum ini, kuat argumentasinya, karena status TSK tidak terlepas dari unsur politik melalui pola kriminalisasi, atau berdasarkan sisi pandang politik yang objektif, tidak apriori semata tanpa data empirik, karena ada bukti proses pemanggilan pertama terhadap Hasto dimulai saat Jokowi masih berkuasa, selain KPK sempat merampas handphone asisten Hasto, seperti pihak polisi menangkap tangan pencuri HP, tanpa lebih dulu ada proses pemanggilan terhadap pemilik HP bukan jadwal atau agenda (KPK Sok Kuasa), sehingga bisa saja tuduhan anggota komisi KPK telah mencuri data pribadi dan merusak isi data (menambah dan menghapus atau menyisipkan/menyusupkan) data pada isi chat atau pesan melalui software dengan proses IT yang canggih dan modern. Karena (sempat) berada ditangan KPK.

Selebihnya KPK menggertak (intimidasi) agar Hasto mengakui menyembunyikan Harun Masiku, bakal menangkap Harun Masiku dalam tempo 7 hari. Sebuah perilaku penyidik KPK yang tercela, karena metode intimidasi secara transparan (sengaja dipublis) tidak terdapat dalam KUHAP maupun dalam sistim UU. TIPIKOR namun sebuah sistim suka-suka (tanpa alas hukum pidana formil) atau bukan sebagai pedoman  proses hukum acara pidana.

Dan KPK yang diketahui diperbolehkan secara hukum mencuri dengar (sadap telepon), tentu tidak butuh merampas HP orang yang bukan terperiksa, sehingga secara perspektif dan logika hukum, KPK telah melakukan proses hukum yang keliru, sehingga patut dinyatakan telah melanggar ketentuan hukum, sehingga apapun temuannya didalam HP asisten Hasto selaku korban perampasan, dan apapun isi suara atau chat-nya yanag terdapat pada isi HP yang dirampas, maka sebuah temuan yang tidak berharga menurut hukum. Termasuk andai ada info Hasto memerintahkan rendam HP atau bakar atau musnahkan terhadap HP adalah sebuah rekayasa akibat diawali perampasan HP. barang bukti hasil rekayasa

Serta mengingat sebuah peristiwa yang logis bagi seorang tuan, boss, pimpinan partai atau pimpinan perusahaan,  bahkan teman dalam sebuah perkumpulan entah apapun urusan dan alasannya karera begitu banyaknya urusan bisnis, pribadi, keluarga dan rahasia organisasi dan terlebih Hasto seorang Sekjen partai besar PDIP sebuah kewajaran, tentu banyak dengan segala macam urusan dan sudah terbiasa masyarakat publik umumnya mempergunakan pesan HP.  Maka tidak dapat dinyatakan bahwa sebuah perintah dari pimpinan kepada bawahannya, yang mana terlebih “si petinggi partai” Hasto ketahui dirinya sedang dibidik oleh seorang penguasa tertinggi dengan segala sepak terjangnya yang memiliki karateristik notoire feiten notorius (sepengetahuan umum mengetahui tentang tabiat buruk/ pendusta dan suka mengkriminalisasi dan pengkhianat dengan menggunakan faktor kekuasaannya atau brutalis), lalu apakah oleh karenanya Hasto dapat disebut telah melakukan perintah kejahatan? Tentu logikanya, HUKUM HARUS MENYATAKAN HASTO TIDAK KELIRU MEMERINTAHKAN AJUDANNYA ATAU ASISTENNYA MERENDAM ATAU MEMBAKAR ATAU MEMBUANG, ATAU MEMENDAM KE LUMPUR HP. MILIKNYA.

Maka oleh sebab, penyidikan oleh KPK dimulai dengan proses melawan hukum , adanya bukti perampasan HP. Pencurian data milik orang lain maka lebih baik, KPK SP.3 kasus yang menyangkut Hasto, sebagai representasi  saran publik, lebih baik KPK daripada diperalat oleh kekuasaan, yang bakal memancing panasnya hawa politik pada anak bangsa ini, karena ada temuan yang mengindikasikan adanya kekuatan politik lama, yang ingin mengadu domba antara kekuatan Partai pengusung Jokowi 2 periode (PDIP) dengan penguasa baru. Maka lebih bijaksana bahkan KPK lebih populer dan mendapat dukungan publik secara luas andai KPK konsentrasi usut dan tangkap Gibran dan Kaesang yang kuat motif hukumnya dengan indikasi delik gratifikasi, atau adanya dugaan money laundry dari rekan bisnisnya (perusahaan Ventura).

Penutup artikel, sebuah perilaku dan sebuah benda yang didapat melalui sebuah kejahatan dan hal yang ilmiah terhadap sebuah benda yang dirampas atau dicuri atau digelapkan dapat diduga dapat dirubah, dikurangi, menghilangkan, ditambah, atau disusupkan, kata atau kalimat bahkan suara tertentu dari pihak yang bukan pemilik atau laean bicara pemilik (chat tulisan) maupun pesan audio, maka sebuah keraguan, atau tidak berkepastian, sehingga absolut bukti a quo pernapasan tidak dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah menurut hukum.

Kesimpulan, apabila terhadap sebuah benda elektronik dan perangkat komputerisasi yakni HP yang keberadaan fisiknya berasal dari tindak kejahatan perampasan, namun dijadikan sebagai barang bukti pada sebua perkara pidana, maka patut dinyatakan sebagai hukum TELAH TERJADI FAKTA PERITIWA HUKUM SEBUAH KEJAHATAN KONSPIRASI YANG BERLANJUT !