BENDERA SETENGAH TIANG DI BALAIRUNG RABU SIANG
Oleh Agung Marsudi
DURI INSTITUTE
KABAR duka datang dari Yogya. Guru Besar Filsafat Pancasila dan Ketatanegaraan UGM Prof Dr Kaelan MS meninggal dunia, pada Rabu (25/12). Sosok yang dikenal konsisten usulkan revitalisasi negara, dalam gerakan perjuangan kembali ke UUD 1945 itu, menghembuskan nafas terakhir, sekira pukul 08.00 WIB di RSUP Sardjito di usia 78 tahun.
Duka mendalam, dirasakan oleh para koleganya. Termasuk Wakil Presiden ke-6 Jenderal TNI (Purn) Try Sutrisno, Ketua Dewan Pembina Presidium Konstitusi.
Dalam acara penghormatan terakhir di Balairung UGM, Prof. M. Mukhtasar Syamsuddin, salah satu kolega di Fakultas Filsafat UGM, ketika membacakan riwayat hidup Prof Kaelan, mengenang sosok almarhum sebagai pribadi yang baik. “Kita telah kehilangan salah satu putra terbaik UGM, yang aktif mengkaji filsafat Pancasila,” ujar Mukhtasar.
Prof. Kaelan merupakan salah satu dari 438 Guru Besar di Universitas Gadjah Mada, lahir di Magetan, Jawa Timur, 27 Januari 1946. Menempuh pendidikan di UGM, Lalu mengabdi sebagai pengajar di Fakultas Filsafat dan Sekolah Pascasarjana UGM.
Beliau memiliki spesialisasi dalam Filsafat Pancasila dan Ketatanegaraan. Beberapa karya beliau antara lain: “Kesatuan Sila-Sila Pancasila” (1996); “Analisis Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 100/PUU-XI/2013 Tentang Pembatalan Frasa 4 Pilar Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara” (2018); “Dampak sosialisasi empat pilar MPR RI terhadap Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi” (2019)
Pada 10 Juli 2007 beliau dikukuhkan sebagai guru besar. Pidato Prof. Kaelan kala itu berjudul “Kesesatan Epistemologi Di Era Reformasi Dan Revitalisasi Nation State”.
Dalam pidato pengukuhannya, Prof. Kaelan menyinggung bagaimana era global yang telah melanda seluruh bangsa di dunia membawa Indonesia ke arah runtuhnya negara kebangsaan (nation state), lunturnya nasionalisme, persatuan dan kesatuan dan kepribadian Indonesia yang merupakan local wisdom atau karya besar bangsa.
“Agar bangsa Indonesia dapat mewujudkan suatu masyarakat demokratis, religius dan berkeadaban di dalam proses reformasi di era global saat ini, maka harus dilakukan revitalisasi negara kebangsaan (nation state) yang fondasinya telah diletakkan di atas dasar filosofi negara,” ungkap Prof. Kaelan kala itu.
Sementara kritik atas amandemen UUD 1945, seperti dikutip Siaran Pers Ketua DPD RI (23/6/2022) di Yogyakarta, Prof Kaelan mengatakan UUD 1945 bukan diamandemen, tapi diganti. Argumentasi beliau didasarkan pada pendekatan hukum konstitusi yang menekankan pada prosedur perubahan.
Amandemen empat kali UUD 1945 dari 1999-2002, telah abaikan prosedur sehingga hasilnya ditolak penempatannya dalam Lembaran Negara karena format tak dikenal. Kata Prof Kaelan, terdapat sekitar 90% pasal-pasal UUD 45 yang diubah atau diganti. Apalagi konten pasal-pasal tersebut tidak konsisten dan koheren dengan Pancasila.
Kini, tokoh yang Pancasilais itu telah pergi. Momen pengibaran bendera setengah tiang, Rabu (25/12), ketika segenap civitas akademika dan para tokoh yang hadir memberi penghormatan terakhir, kepada almarhum Prof Kaelan, di Balairung Universitas Gadjah Mada, menjadi penanda kebangkitan perjuangan kembali ke UUD 1945.
Apalagi kini, Presiden Prabowo Subianto dikenal sebagai sosok yang patriotik, memiliki nasionalisme yang berapi. Partainya, Gerindra, di dalam Mukadimah Anggaran Dasar, tegas dan jelas menyebutkan Partai Gerakan Indonesia Raya adalah partai rakyat yang berjuang untuk tegaknya Pancasila dan Undang-Undang 1945 sebagaimana ditetapkan pada tanggal 18 Agustus 1945 dan utuhnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Mewarisi semangat “Yogya Kembali”. Saatnya untuk kembali ke UUD 45 asli. Right now or not at all. Lakukan sekarang atau tidak sama sekali.
Selamat jalan, Prof Kaelan. Perjuanganmu merah putih sejati.
Yogya, 25 Desember 2024