Jokowi Bukan Pecah Kongsi Tapi Mengkhianati PDIP Dan Jahat Kepada Tokoh Besar Politikus Megawati
Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
(Sebagai bahan refleksi jelang akhir tahun 2024 tentang sepak terjang “negatif Jokowi” yang berkelanjutan)
Pecah kongsi, idiom dengan adanya peristiwa yang umumnya didahului adanya kesepakatan antara dua belah pihak atau lebih pada sebuah bisnis (saham dan profit), sedangkan dalam istilah politik adalah koalisi partai, atau gabungan dua kata yang memiliki makna berkerjasama untuk peta kekuatan politik, kemudian diantara kedua pihak yang berkoalisi ternyata ada yang dianggap melakukan penyimpangan dari konsensus koalisi politik. Kemudian pemutusan hubungan koalisi ini boleh di sebut sebagai “pecah kongsi” dalam politik.
Namun antara PDIP dan Jokowi secara historis hukum tidak demikian, yang sebenar-benarnya Megawati Soekarno Putri tokoh politisi perempuan yang handal dan seluruh senioren partai PDIP suka tidak suka pastinya terbebani rasa malu karena ditipu, dikhianati dan mutatis mutandis menjadi korban secara moralitas, karena tenyata Jokowi yang mereka banggakan sebelumnya, ternyata mendapat tuduhan publik secara verbal, bahkan melalui proses litigasi di badan peradilan (gugatan), yang diakibatkan selain dan selebihnya dalam merespon suara kebebasan publik, Jokowi tidak menggunakan asas keterbukaan informasi publik atau asas transparansi serta akuntability sebagai bentuk pelaksanaan demokrasi dalam mengklarifikasi tuduhan publik bahwa dirinya menggunakan ijasah palsu dari fakultas Universitas Gajah Mada, termasuk tuduhan biografi (asal usul keturunan) malah justru menggunakan politik kekuasaan melalui rekayasa hukum kriminalisasi lalu penjarakan orang !
Awalnya Jokowi seorang sosok tak penting (pengusaha kursi kayu) berhasrat untuk memimpin Kota Surakarta/ Walikota Solo, maka oleh sebab egonya pada tahun 2004 ia mengajukan diri menjadi kader PDIP. maka Jokowi diperintahkan untuk mendaftar sebagai anggota di PDIP sebuah partai yang sudah besar sebelum Jokowi terdaftar menjadi kader, ini historis politik hukum (melalui fakta dan data empirik) membuktikan bahkan Ketum PDIP. Megawati pernah menjadi Presiden RI ke- 5 pada 23 Mai (2002-2004) secara konstitusional yang berawal dari perolehan suara terbanyak dan kursi terbesar kala tahun 1999 dan ternyata demokrasi dikhianati oleh para Ketua Umum partai yang kalah suara partainya, serta diikuti inkonsistensi dari para tokoh nasional bangsa ini, dengan menggunakan isu gender sehingga Gus Dur (1999) menjadi Presiden sampai Tahun 2002, namun isu gender ini terbukti ambigu karena pemberhentian Gus Dur lalu mengangkat dan melantik Megawati? Kemudian sekilas refleksi sejarah mencatat SBY seorang menteri eks pembantu Megawati yanah diberi kesempatan dalam kabinet, lalu mencuri simpati publik akhirnya berhasil menjadi Presiden RI ke- 6 pada 2004- 2009 & 2009-2014.
Singkat cerita, tentu saja secara logika awalnya kenapa Jokowi ingin menjadi keder partai PDIP, karena Jokowi menyaksikan suara PDIP booming sejak tahun 1999 yang dominan di tanah air disetiap provinsi dan Kabupaten/ Kota di seluruh tanah air, dan dominan suara konstituen diantara koalisi partai pendukung dirinya (PKB). Lalu terbukti PDIP atas dukungannya yang dominan Jokowi menang pilkada untuk Walikota Solo periode 2005-2010 dan 2010-2015.
Lalu dengan bukti ego besarnya, lupakan sumpah janji pada pelantikan dirinya menjadi Walikota Solo periode ke-dua (2012), lalu nyata berhasil menjadi Gubernur DKI Jakarta (2012-2017) karena iming-iming program mobil ESEMKA bodong, dan janji bakal dapat mengatasi banjir tahunan di Jakarta (2012) lalu Jokowi kembali tidak amanah alias khianat atas sumpah dan janji selaku Gubernur DKI Jakarta, Jokowi tetap mendapat dukungan politik dari PDIP dan kembali sukses pilpres pada dua pemilu menjadi Presiden RI selama 2 (dua) periode (2014-2019 & 2019-2024).
Narasi kampanye (janji politik) Jokowi pada pemilu pilpres 2014 adalah, selain “jabatan Presiden RI akan lebih mudah mengatasi khususnya banjir di Jakarta sebagai ibukota negara, karena korelasi dengan regulasi yang menyangkut keberadaan sungai-sungai diluar DKI Jakarta (Jawa Barat) akan berpindah dalam kendali kekuasaan pemerintahan pusat (presiden) demi dapat mengatasi banjir di IKN/ Ibu Kota Negara yakni DKI Jakarta, selainnya akan menebus (buy back) Badan Usaha Negara PT. Indosat.
Ternyata setelah menjabat presiden, lagi lagi kontradiktif dengan janji alias Jokowi bohong, malah membuat program Ibu Kota Nusantara (IKN program khusus versi Jokowi yang tidak terdapat dalam kampanyenya saat pilpres 2014), Ibu kota negara akan dipindah ke Penajam Paser Utara, Kalimantan Timur, salah satu alasannya karena Jakarta sebagai Ibu Kota Negara (IKN) banjir, dan kepindahan tahap pertama warga Jakarta ke IKN dimulai oleh para ASN pada bulan September 2024.
Realitanya? Terbukti mayoritas janji Jokowi selama dua periode keblangsak! selain hanya meninggalkan hutang menggunung yang menjadi beban rakyat bangsa ini kelak dan dalam waktu panjang setelahnya.
Implikasinya terhadap orde kepimpinan saat ini dibawah Presiden RI. Prabowo, Kabinet Merah Putih menjadi terimbas negatif atas semua dosa politik hukum pola kriminalisasi dan berbagai tragedi hukum satu diantaranya pembunuhan di Tol KM. 50 Cikampek, dan menyisakan kebijakan ekonomi yang parah, dengan wajah lama Menteri Keuangan Sri Mulyani, sebagai “titipan Jokowi di Kabinet Merah Putih?” Sebagai anak Emas Jokowi yang gagal, dan kini Sri Mulyani kembali sibuk ingin menaikan pajak negara hingga 12 % kepada rakyat, untuk pengembalian hutang dan kebutuhan pengelolaan dan pelaksanaan program pembangunan ekonomi negara era Jokowi yang hampir semuanya mengalami kegagalan, kesimpulannya semua imbas kerugian negara ini gara-gara ulah kepemimpinan Jokowi yang gagal dalam memberantas perilaku tipikor namun malah beberapa yang penyelenggara negara yang pernah diduga terpapar korupsi (Muhaimin Cs) diobstruksi, lalu beberapa-nya disandera dengan pola dijadikan menteri. Sehingga terpaksa orde kabinet merah putih berencana menggunakan pola law enforcement yang keliru berat, karena sistim penegakan hukum dimaksud modelnya mirip debt collector profesi diluar advokat yang dilarang karena umumnya disertai gejala-gejala premanisme, namun ambiguitas justru akan digunakan oleh new ruler/ penguasa baru dengan nir asas legalitas, karena wacana dimaksud, melalui program dengan mengimplementasikan adanya faktor perdata hutang piutang yang polanya mirip sistim perbankan atau model leasing. Lalu sanksi pidana Jo UU. Tipikor, KUHP, KUHAP tanpa ada pembatalan maupun revisi secara konstitusional.
Akibat ulah pelaksanan kepemimpinan yang buruk (bad behavior), sehingga unsur pidananya dimaafkan (impunty) asalkan hasil korupsi para terduga koruptor dikembalikan. Sehingga TEORI ILMIAH TENTANG FUNGSI HUKUM ADALAH DEMI MENDAPATKAN KEPASTIAN, MANFAAT DAN HAKEKAT KEADILAN SEOLAH MENJADI MAKNA SEBUAH METODE BASI BAHKAN RESIDU BAGI SEORANG JOKOWI.
Dan kini apa yang terjadi? Jokowi eks petugas partai melanjutkan puncak kemarahannya kepada Megawati, dikarenakan dendam kepada sosok mantan Ketua Umumnya, yang dendamnya TIDAK BERDASAR ETIKA MORAL POLITIK DAN HUKUM BAHKAN JUSTRU PENGKHIANATAN KEPADA PRIBADI SANG KETUM, KEPADA PARTAI (KELOMPOK SESAMA ANGGOTA) KHIANAT KEPADA KONSTITUSI (KEPADA BANGSA DAN NEGARA), yang awalnya dendam politik ini telah disalurkan kepada Hasto Kristiyanto, Sekjen Partai PDIP yang tentu pastinya turut serta berjasa kepada Jokowi, dendam ini dimulai dengan bukti pra lengser presiden, Jokowi sudah mengejar Hasto melalui Kasus Pelarian Harun Masiku dengan didahului pola kejahatan oleh KPK perampas HP. (Vide UU. Perlindungan Data) milik asisten sang sekjen. Walau asal muasal kesemua peristiwa ini, dimulai dengan sejarah politik internal PDIP yang membuktikan Jokowi kader PDIP yang 2 kali presiden RI dan beberapa jabatan publik sebelumnya, membangkang terhadap perintah partainya (PDIP) untuk mendukung Ganjar Pranowo sesama petugas partai (PDIP) malah kontroversial atau berbalas air tuba, Jokowi khianat, justru memberikan dukungan bahkan dengan pola melanggar asas ketidakberpihakan, Jokowi terus terang nyatakan, “akan cawe-cawe kepada calon yang bukan usungan dari partainya, bahkan Jokowi mendukung 100 % Gibran putranya untuk turut serta mengkhianati PDIP. Gibran yang juga khianati masyarakat Solo dengan melanggar sumpah jabatannya untuk mengemban Walikota Solo salama 5 tahun lalu mendukungnya melalui praktik nepotisme, sehingga Jokowi nyata turut sebagai presiden berikut fungsi jabatannya dan fasiltas negara yang menyertainya, digunakan sebagai alat kecurangan mendukung Putra biologisnya Gibran menjadi Cawapres dari pada pilpres 2024 dan terbukti Presiden saat ini tengah berjalan Prabowo Subianto dan pasangan Wapres Gibran bin Joko Widodo, walau banyak menyisakan sejarah hukum nepotisme (ancaman sanksi 12 tahun penjara vide UU. Nomor 28 Tahun 1999) yang melibatkan Adik Iparnya Anwar Usman dengan bukti Anwar Usman dipecat melalui Putusan MKMK. Dan Jokowi juga melakukan pembangkangan hukum (disobdience) keberpihakan atau pembairan atas hinaan akun Fufu Fafa yang 99, 9 proses lebih adalah Gibran, yang menyerang dan merendahkan harkat dan martabat Menhan RI dan kini menjadi Presiden RI. Prabowo Subianto
Sehingga uraian singkat artikel ini, dapat menjadi kejelasan daripada karakteristik seorang kader yang banyak mendustai statemen politiknya sebanyak lebih dari 100 kali selama menjadi pejabat publik penyelenggara negara selain tuduhan selaku pengguna ijasah palsu dengan segala akibat hukumnya (sisi pertanggungjawaban hukum ketatanegaraan dan pidana) kepada bangsa ini.
Maka relevankah, adilkah seorang Jokowi sosok khianat, justru berbalik bukan sadar atas kekurangannya dan minta maaf atas ego kekuasaannya yang abnormal kepada pribadi Megawati dan kepada partai dan juga terhadap sesama kader partainya yang mengusungnya yang kausalitas hukumnya mengakibatkan kerugian moral bangsa ini pada umumnya. Bahkan PDIP secara partai sebagai bagian dari korban moralitas Jokowi karena sepanjang tahun selama berkuasa sering diolok karena perilaku persekusi, intimidasi nepotisme, disobidiensi dan praktik kriminalisasi (notoire feiten notorius) karena biografi dirinya selama menjabat tranparansi cenderung mengangkangi sistim hukum terkait asas netralitas atau melanggar prinsip ketidakberpihakan, objektifitas, proporsional dan profesinal serta kredibilitas dan akuntabilitas (good government) yang seyogyanya Jokowi lebih dulu role model dalam adab dan moral politik (attitude leadership), justru kebalikannya Jokowi identik dengan pola buruk kepemimpinan, dari praktik nepotisme, obstruksi dan disobidiensi, Jokowi membuat jerat leher si pelaku, lalu para terduga terpapar korupsi atau pelanggar hukum kemudian menjadi kerbau di cucuk hidungnya terhadap Jokowi.
Selebihnya faktor persekusi kriminalisasi yang acap kali terjadi, membuat rakyat takut berdemokrasi, sesuai prinsip HAM untuk berkebebasan menyampaikan pendapat, ekspresi dan kreasi, dan pastinya relatif attitude leadership Jokowi selama kepemimpinannya serius membangkitkan serta menumbuhkan akumulasi rasa benci yang exra ordinary untuk mayoritas anak bangsa kepada dirinya, ditambah asesoris penampilannya yang cengengesan di hadapan para pemimpin negara-negara intenasional cenderung membuat kesal dan umumnya membuat malu rakyat bangsa ini karena tata bahasa (grammer) menurut para ahli bahasa, “kalimat yang Jokowi sampaikan acak kadut alias berantakan.”
Nampak kumpulan edukasi politik yang “di pamer oleh Jokowi telanjang dan destruktif, karena “melulu” melanggar hukum dan norma-norma adab dan kepatutan, sehingga terhimpun catatan catatan janji politik Jokowi dengan perbandingan teori.JJ. Rousseau (du contrat social) dan dapat dipastikan perilaku Jokowi terkait adab dan mentalitas daripada nilai nilai Sila-Sila Pancasila adalah sebuah anomali. Maka
patut kah dendam Jokowi yang dialamatkan kepada Hasto dan Megawati yang dialamatkan bisa berujung penjara bagi keduanya, namun justru aneh dimulai saat di penghujung era.Jokowi (pra Jokowi lengser) namun di era baru dilanjutkan melalui para petinggi berwajah lama titipan Jokowi, yang intinya disebabkan gegara subjektifitas dirinya (Jokowi dendam) karena ditentang atau DITOLAK MENTAH-MENTAH menjadi presiden 3 periode yang inkonstitusional oleh Ketua Umum Megawati, bukan oleh sebab temuan bukti dan fakta hukum yang konstruktif disertai nilai hukum positif, andai sepaham patut kah penguasa baru melanjutkan politik destruktif ala Jokowi tentu hanya waktu yang sanggup tepat menjawabnya. Dan penguasa baru tentu memahami makna filosofi para orang bijak, “BAHWASANYA HUKUM TANPA MORAL ADALAH SIA-SIA BELAKA”.
Simpulan penutup artikel, sungguh Jokowi telah menjadi beban sejarah bangsa dan negara, selain anti demokrasi, khianati konstitusi, TENTU MENDASARI SEJARAH HUKUM YANG SESAT DI ERA JOKOWI ATAU SENGAJA DISESATKAN OLEH JOKOWI, OLEH KARENANYA TIDAK BERLEBIHAN JOKOWI DAN PUTRANYA GIBRAN RR. OLEH SEBAGIAN KELOMPOK BESAR DINYATAKAN MELALUI METODE SARKASTIK SEBAGAI MUSUH BERSAMA (COMMON ENEMY).