Kritik Sudah Mati
JAKARTASATU.COM– — Judul “Kritik Sudah Mati” adalah pernyataan yang mengundang refleksi mendalam. Bagaimana kita menggali persoalan dari berbagai beberapa sudut pandang yang bisa hal ini dieksplorasi dalam konteks Sosial dan Politik bahkan Budaya.
Pernyataan ini saya merepon adanya pertemuan pada MUSYAWARAT BUDAYA Selasa petang di Balai Budaya Jakrta Pusat 24 Desember 2024 dimana hal Kritik seni dan Seni kritik merupakan dua cara pandang untuk memaknai karya seni.
Dua cara yang sering dicampur adukan dalam perdebatan tentang sebuah karya; para seniman dan kurator acapkali bersikukuh pada posisinya, untuk membenarkan cara pandang yang membingkainya.
Dalam tradisi Nusantara, cara pandang ini dikenal dengan istilah pararupa, yakni transformasi estetik untuk memandang bentuk. Para artinya Trans, dan rupa sebagai bentuk atau kenyataan material.
Event bersamaan dengan Pameran National Portrait Gallery: Seabad Para Kalangwan, dan berbagai persoalan semasa lainnya — Hadir sore itu pemantik: Tommy Awuy dan Taufik Rahzen dan acara moderatori Budiamine sayang repertoar Dadang Merdesa tak terjadi.
Musyawarat Budaya adalah tradisi sarasehan yang dikembangkan secara reguler oleh BMKN Badan Musyawarat Kebudayaan Nasional, yang didirikan sejak tahun 1952.
Sangat kuat dan seru pembicaan Musyawarat Kebudayaan ini acara tepat waktu 15.15 dan tepat ditutup 17.17 WIB sesuat komitmen. Meski banyak yang bertanya tak tertampung, pertemuan ini menarik dan memberikan penyegaran dimana ruang bicara konteks pada isu kuat kasus lukisan karya perupa dari Yogyakarta Yos Suprapto yang oleh Galeri Nasional Indonesia (GNI) akhirnya tak jadi digelar. Pameran lukisan karya Yos bertema Kebangkitan Tanah untuk Kedaulatan Pangan dibatalkan tiba-tiba oleh pihak Galeri Nasional. Pembatalan tersebut disinyalir merupakan wujud kekawatiran pihak GNI dan kurator atas lukisan Yos yang dinilai sangat vulgar dalam mengkritik penguasa lama sehingga GNI selaku institusi pemerintahan merasa “terganggu” atas kevulgaran itu. Lantas dimana nilai estetik yang terjadi atas kritik yang ada.
Apa benar-benar sudah hilang atau kritik benar-benar mati, ataukah ia hanya dibungkam oleh kekuasaan baru?
Apakah ada peran otoritarianisme, politik represif, dan budaya ketakutan dalam membatasi kebebasan berkarya. Era Digital dan Noise Informasi telah munculnya media sosial akhirnya sebagai arena kritik, namun sering kali dibanjiri oleh hoaks, fitnah, dan opini dangkal. Nah karya Yos Suprapto yang gagal dipajang di GNI akhirnya lebih luas dan dikenal luas di medsos. Bahkan belakangan dapat bocoran bahwa Yos oleh Korea dan Belanda akan di undang untuk berpameran di sana.
Kembali ke soal Kritik Saya melihat kini sudah bergeser dimana yang bermakna kritik mungkin kalah oleh tren viral yang cepat berlalu. Budaya Konsumerisme yang ada dalam dunia yang semakin konsumtif. Kritik berubah menjadi sekadar ulasan produk dan hiburan. Dan kapitalisme memanfaatkan kritik untuk tujuan komersial.
Kritik dalam Seni dan Budaya ada perubahan arah kritik seni, dari refleksi filosofis menjadi sekadar komentar tren populer. Akhirnya peran seniman sebagai kritikus dalam masyarakat kontemporer begitu adanya.
Harus ada revitalisasi kritik, bagaimana kritik bisa dihidupkan kembali di era ini Pendidikan, media, dan literasi kritis sebagai alat utama untuk membangun kembali ruang diskusi yang sehat. Jika ingin di fokuskan, bisa memilih salah satu pisau bedah utama yang lebih tajam. Refleksikan Intelektual “Mengapa Kritik Mati?”
Dan penjelelajahannya mengapa kritik kehilangan daya hidupnya. Pola lama pada filsafat dan pemikiran mendalam. karena sejarah Kritik bandingkan bagaimana kritik berkembang dari masa Yunani kuno hingga era digital. Kira-kira itulah yang mungkin Tommy F. Awuy sampaikan.
Krisis Makna Kritik
Apakah kritik mati karena kita tak lagi tahu apa yang harus dikritik? Tidak juga, karena kritik dan kebebasan manusia bergantung pada kemampuan untuk mengkritik dan memperbaiki diri sendiri serta masyarakat. Kritik yang baik adalah kritik yang memperjuangkan kebebasan bagi semua orang. Menjaga integritas dalam kritik Albert Camus berpendapat bahwa kritik yang benar harus mempertahankan integritas moral, bahkan terhadap mereka yang dikritik. Kritik yang hanya menghancurkan tanpa menawarkan solusi adalah bentuk nihilisme.
Dalam kritik seni saya berpikir bagaimana pemikiran kritis menjadi korban simplifikasi di era modern? Apakah Kritik “Mati dalam Bisingnya di Dunia Modern” atau “Kritik yang hilang dari Filsafat kini hanya sampai ke Meme”
Lantas muncullah pertanyaan Siapa yang Membunuh Kritik? Jika kita mengupas konteks sosial-politik yang membuat kritik menjadi berbahaya atau tidak relevan.
Merurut saya karena ada ketakutan kolektif, kritik yang ditekan melalui kekuatan negara, agama, atau sosial budaya. Jika ini terjadi maka akan muncullah kapitalisme dan kritik palsu yaitu kritik diubah menjadi alat pemasaran dan hiburan.
Padahal harusnya kritik sebagai tindakan berani juga memberanikan diri tapi mengkisahkan perjuangan mereka yang tetap menyuarakan kritik di tengah risiko. Langkah ini baiknya harus jadi Refleksi + Kritik Sosial harus tetap ingin memadukan dengan refleksi intelektual tentang “apa itu kritik” dan “kenapa kritik itu penting.” Studi kasus kritik karya Lukis yang Yos dalam sosial politik, seni, dan media dimana harus buka solusi atau seruan untuk “menghidupkan kembali kritik.” bukan dibiarkan dan mengamini Kritik Sudah Mati, dan Selesai!”
Akhirnya catatan ini memunculkan pertanyaan siapa yang membunuh Kritik? Apakah Kekuasaan yang Represif, sehingga kritik yang terbungkam dan membuka jejak kekuasaan? Baiknya kita adalah bagian yang harus menghidupkan kembali kritik di dunia yang saat ini membisu. Tabik…!!
Aendra Medita