dimaafkan Asal dikembalikan dan Denda Damai, Karpet Merah bagi Koruptor?
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller
Ada adagium lama yang berkata, “Hukum itu buta.” Tapi di negeri ini, hukum kerap membuka matanya lebar-lebar, terutama ketika harus memutuskan nasib para koruptor. Wacana “denda damai” yang dilontarkan oleh Menteri Hukum Supratman Andi Agtas, dari pemerintahan Prabowo-Gibran baru-baru ini adalah bukti nyata betapa hukum kita seringkali lebih lihai berkompromi daripada menegakkan keadilan.
Supratman menyebut, “Ruang untuk memberikan denda damai ini sebenarnya sudah dimiliki oleh Kejaksaan,” seraya menganggap langkah ini lebih baik selama uang negara bisa kembali. Namun, apa yang terdengar seperti solusi pragmatis justru menyeruak sebagai ironi pahit, mengingat konteksnya adalah tindak pidana korupsi — kejahatan yang selama ini menjadi benalu dalam tubuh bangsa.
Mahfud MD, mantan Menkumham yang selalu vokal, dengan tegas menepis argumen Menteri Hukum ini sebagai “pembenaran atas pernyataan Presiden.” Menurut Mahfud, konsep denda damai yang ada seharusnya hanya berlaku untuk kasus ekonomi, kepabeanan, dan sejenisnya — bukan korupsi. Apakah ini sekadar keliru tafsir, atau ada agenda lebih besar yang coba diselipkan di balik wacana ini?
Mari kita tilik lebih jauh. Dalam vonis kasus Harvey Moeis, seorang terdakwa korupsi tata niaga timah yang merugikan negara hingga Rp 300 triliun, keadilan tampaknya tertinggal di meja perundingan. Harvey hanya dihukum 6,5 tahun penjara, didenda Rp 1 miliar, dan diminta mengganti Rp 210 miliar — jauh dari nilai kerugian yang ditimbulkan. Vonis ini menjadi preseden buruk, terlebih alasan “santun dan punya tanggungan keluarga” dijadikan dalih keringanan hukuman. Apakah ini yang disebut “penegakan hukum dengan hati nurani”? Jika begitu, maka hati nurani siapa yang sesungguhnya diprioritaskan?
Surat Harvey kepada anaknya yang menyatakan dirinya bukan penjahat koruptor dan waktu yang akan membuktikannya adalah bentuk kebebalan moral yang menyakitkan hati publik. Surat itu seolah ingin membentuk narasi bahwa korupsi adalah sekadar salah langkah administratif, bukan kejahatan berat yang merampas hak jutaan rakyat. Di sisi lain, warganet yang terusik oleh vonis ringan ini ramai-ramai mempertanyakan: apakah koruptor yang santun dan punya tanggungan keluarga layak mendapat pengampunan? Jika ya, maka siapa yang akan menghibur keluarga miskin yang terhimpit dampak dari praktik korupsi?
Wacana “denda damai” pada akhirnya tak ubahnya karpet merah bagi para koruptor. Ia mengirim pesan berbahaya: mencuri uang negara bisa dinegosiasikan asal bersedia mengembalikannya sebagian. Logika ini melumpuhkan esensi hukum sebagai instrumen keadilan, mengubahnya menjadi alat tawar-menawar.
Pragmatisme Menteri Hukum memang terasa menggoda: daripada sekadar menghukum tanpa memulihkan kerugian negara, lebih baik uang kembali meski dengan kompromi. Tapi, mari kita jujur, adakah yang benar-benar percaya bahwa para koruptor ini akan dengan sukarela mengembalikan seluruh uang yang mereka jarah? Bukankah pengalaman mengajarkan bahwa yang sering terjadi adalah permainan akuntansi untuk menutupi jejak?
Mengampuni koruptor dengan dalih pengembalian uang hanya akan memperkuat anggapan bahwa hukum kita adalah bisnis, bukan keadilan. Jika ini terus berlanjut, jangan heran jika generasi muda nanti tumbuh dengan keyakinan bahwa integritas itu opsional — selama Anda pintar bernegosiasi.
Keadilan sejati bukan hanya tentang memulihkan kerugian material, tetapi juga memberikan efek jera. Tanpa itu, hukum hanya menjadi ritual administratif, sementara kepercayaan publik terus terkikis. Wacana ini harus dihentikan, sebelum ia berubah menjadi amunisi bagi para perampok berdasi yang selama ini tertawa di atas penderitaan rakyat. Tabik.