SIAPKAH PDIP MENJADI OPOSISI BARU ?
by M Rizal Fadillah
Meski dalam sistem pemerintahan Indonesia tidak dikenal lembaga oposisi apalagi partai oposisi, bukan berarti sama sekali tidak ada oposan dalam proses bernegara di Indonesia. Hampir pada setiap masa pemerintahan selalu ada person atau kelompok kritis yang mengontrol bahkan “melawan” pemerintah. Tentu hal itu dilakukan dalam rangka kemanfaatan rakyat dan upaya untuk membangun kehidupan politik yang lebih demokratis.
Saat Jokowi menjabat Presiden dua periode, PDIP selalu membersamai. Sejak Walikota, Gubernur hingga Presiden support PDIP sangat besar, Jokowi adalah anggota PDIP. Kecuali di penghujung masa jabatan periode kedua Presiden dan PDIP bersebrangan. Setelah selesai masa jabatan Presiden, PDIP memecat Jokowi juga Gibran dan Bobby Nasution.
Konflik meningkat saat KPK yang menjadi “tangan” Jokowi menetapkan status Tersangka atas Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto dalam kasus Harun Masiku. Bacaan publik bahwa hal ini bagian dari “perang politik” bukan murni hukum. Pemerintahan Prabowo masih berada di bawah pengaruh Jokowi.
Dengan penetapan Hasto sebagai Tersangka maka PDIP semakin terobrak-abrik. Dalam kondisi bias pemerintahan Prabowo antara mandiri dan dalam kendali, maka PDIP dituntut untuk menunjukkan sikap politiknya dengan tegas. PDIP menjadi bandul jam yang menentukan.
Untuk tahap ini bandul jam harus bergerak ke arah Prabowo, mempengaruhi dan bekerjasama. Namun jika Prabowo masih ada di ruang Jokowi dan Gibran, maka PDIP tentu melangkah dengan menutup mata. Tidak Jokowi ataupun Prabowo.
Pijakan bergerak bersama kekuatan rakyat adalah pilihan strategis PDIP.
Mulai dengan turut menggelindingkan dan mendukung antara lain :
Pertama, pembongkaran dugaan ijazah palsu Jokowi. Proses yang sudah berjalan selama ini akan mendapat enerji kuat jika PDIP ikut meramaikan dan mendesak pengusutan.
Kedua, akun fufufafa Gibran yang jelas kriminal mengancam posisi Wapres. PDIP melalui fraksi di DPR memelopori penggunaan Hak Angket. Proses politik membarengi proses hukum.
Ketiga, nepotisme Jokowi dan keluarga mudah untuk dibuktikan. Pelanggaran Pasal 22 UU No 28 tahun 1999 ini adalah kasus empuk untuk PDIP dapat “menghancurkan” Jokowi.
Keempat. KM 50 yang perlu diusut ulang membuat ketar-ketir Listyo, Fadil Imran, Budi Gunawan, Sambo, Tito, Dudung dan tentu saja Jokowi. Aksi dukungan pengusutan PDIP akan membangun simpati.
Kelima, PIK-2, Rempang dan juga IKN mengundang PDIP untuk ikut bersama rakyat “mengobok-obok” kejahatan rezim Jokowi yang diduga kolusif dan koruptif tersebut.
PDIP harus menunjukkan diri sebagai banteng ngamuk. Pijakan kerakyatannya sudah ada. Jika jeli dan memang berniat baik dalam membela persoalan kerakyatan, maka rezim manapun bisa diseruduk apakah Jokowi atau Prabowo atau keduanya.
Nah. pertanyaan serius untuk PDIP yang ada dalam benak rakyat saat ini adalah :
Siapkah PDIP menjadi oposisi baru ? Rakyat menunggu.
*) Pemerhati Politik dsn Kebangsaan
Bandung, 26 Desember 2024