Pilkada Langsung Mengkhianati Demokrasi Pancasila?

Prof Dr Pierre Suteki

Pasca lontaran politik Presiden Prabowo terkait dengan ajakan kembali ke Pilkada tak langsung, artinya Gubernur dan Bupati/Walikota cukup dipilih oleh DPRD, perpolitikan nasional kembali memanas diwarnai pro dan kontra. Pernyataan itu disampaikan oleh Presiden Prabowo pada saat memberikan sambutan dalam acara perayaan ulang tahun partai Golkar pada hari Kamis 12 Desember 2024. Intinya, Probowo mengkritik soal biaya politik yang sangat mahal pada Pilkada, sementara kita bukan daerah atau negara kaya. Dana politik besar lebih baik dipakai untuk alokasi pembangunan dalam rangka pengentasan kemiskinan dan lain-lain.

Jika kita tengok ke belakang, persoalan mahalnya ongkos politik pilkada dapat kita runut dari pernyataan Mendagri Tito Karnavian pada tahun 2021. Usulan Anggaran Rp. 86 Triliun Untuk Pemilu 2024, yang “dikritik” oleh Mendagri Tito Karnavian.
RadarAktual, 17 September 2021 mewartakam bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI diminta Mendagri untuk meninjau ulang usulan anggaran pelaksanaan Pemilu dan Pilkada Serentak 2024 senilai Rp 86 triliun. Anggaran tersebut dipandang terlalu tinggi mengingat saat ini Indonesia masih bergelut dengan pandemi Covid-19.

Permintaan itu disampaikan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian saat rapat kerja di Gedung Kura-kura, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (16/9). Tito Karnavian mengatakan, meskipun dari aspek kesehatan, kasus Covid-19 sudah terlihat mulai melandai. Namun, Indonesia masih membutuhkan alokasi anggaran yang tidak sedikit untuk pemulihan ekonomi pasca pandemi.

Sense of crisis memang harus dimiliki oleh seluruh warga negara dan pejabat negara di negeri ini. Negeri ini akan semakin terpuruk jika warga negara dan pejabat negara tidak punya kepekaan terhadap kondisi Indonesia kini tampaknya masih dilanda krisis pacsa pandemi covid-19. Banyak perusahaan tutup dan PHK masal terjadi di berbagai daerah.

Pemilu di negara demokrasi memang mutlak harus diselenggarakan untuk pengisian jabatan dan keanggotaan lembaga negara, khususnya eksekutif dan legislatif. Yang utama mestinya anggota DPR dan DPRD. Terkait dengan Pemilu dalam rangka pemilihan presiden dan Kepala Daerah, sebenarnya kita bisa sangat menghemat jika tidak dilaksanakan secara langsung, yakni Presiden dipilih oleh MPR dan Kepala Daerah dipilih oleh DPRD. Tidak harus dipilih secara langsung.

Menurut Katjung Maridjan sebagaimana dimuat dalam JawaPos.com 15 November 2019, Pilkada secara langsung memang memungkinkan munculnya ”developmental leaders”, pemimpin-pemimpin kreatif-inovatif, untuk melakukan terobosan-terobosan bagi percepatan pembangunan daerahnya. Tidak sedikit dari kepala daerah yang banyak meraih penghargaan merupakan para ”developmental leaders” di daerah masing-masing.

Meski demikian, pilkada langsung juga tidak lepas dari kritik. Dari sisi proses, pilkada secara langsung melahirkan biaya politik tinggi. Biaya itu tidak hanya terkait proses kampanye, tetapi juga terkait dengan proses-proses lain, seperti biaya ”membeli perahu” yang akan mengantarkan calon dan biaya ”pembelian suara” kepada sebagian pemilih. Yang terakhir itu melahirkan slogan popular NPWB (nomer piro, wani piro).

Sebagai konsekuensi dari adanya efek negatif (by product) dari proses semacam itu, pilkada secara langsung juga tidak serta-merta melahirkan pemimpin-pemimpin terbaik. Memang, yang terpilih tetaplah yang ”terbaik”. Namun, maknanya bukanlah ”developmental leaders”, melainkan terbaik karena kemampuannya di dalam ”membiayai” proses-proses politik yang berbiaya tinggi itu. Maka, dalam konteks ini, pilkada secara langsung juga telah melahirkan atau memperkuat oligarki di daerah.

Banyaknya kepala daerah yang ditangkap KPK atau bermasalah secara hukum tidak lepas dari adanya proses-proses buruk semacam itu. Para kepala daerah itu berusaha menutup biaya yang dikeluarkan melalui praktik-praktik buruk di dalam tata kelola pemerintahan yang mereka pimpin. Yang lebih parah lagi, ada keinginan untuk memperoleh lebih untuk memupuk kekayaan pribadi di luar praktik legal.

Berangkat dari adanya sisi buruk dari pilkada secara langsung seperti itu, belakangan terdapat keinginan untuk meninjau ulang. Pilkada secara langsung akan dikembalikan secara semula, yaitu dipilih kembali oleh DPRD, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.

Secara politik, bisa saja pilkada dikembalikan ke sistem semula. Sepanjang DPR dan pemerintah sepakat untuk merevisi UU yang mengatur pilkada, dan mengembalikan ke sistem semula, selesai. Tapi, apakah itu yang memang terbaik? Apakah bupati/wali kota bisa dipilih kembali oleh DPRD? Mengingat kedekatannya dengan rakyat, bupati/wali kota sebaiknya tetap dipilih secara langsung oleh rakyat. Namun, dalam kasus khusus, bisa saja hal itu dilakukan. Selain pertimbangan keistimewaan, kasus khusus tersebut bisa saja dibuat. Misalnya saja, berdasarkan semacam ”referendum” di daerah masing-masing. Ketika rakyat di daerah tersebut menghendaki pemilihan bupati/wali kota itu dilakukan oleh DPRD, bisa saja dilakukan.

Bagaimana dengan pemilihan Presiden?
Memang ada kendala yuridis untuk pemilihan Presiden oleh MPR mengingat ketentuan Pasal 6A UUD 1945 menyebutkan bahwa “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara LANGSUNG oleh rakyat”. Namun, untuk pemilihan kepala daerah dapat dilakukan secara tidak langsung. Jadi dapat dipilih oleh DPRD. Hal ini mengingat secara yuridis formal UUD 1945 tidak mengharuskan pemilihan kepala daerah dilakukan secara langsung oleh rakyat. Sebagai mana diatur dalam Pasal 18 UUD 1945,  hanya disebutkan bahwa “Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-masing sebagai kepala pemerintahan daerah provinsi, kabupaten, dan kota dipilih secara DEMOKRATIS. Apa makna demokratis? Tentu tidak bisa dimaknai hanya pemilu dengan cara langsunglah yang dikatakan demokratis. Kita punya Pancasila, sila ke-4 dapat menjadi landasan kita bahwa sistem demokrasi kita dapat pula secara perwakilan, termasuk dalam penentuan kebijakan dalam pemilihan kepala daerah.

Pemilihan presiden dan kepala daerah secara tidak langsung, mestinya menjadi TRADE MARK DEMOKRASI PANCASILA. Tapi begitulah, oleh karena kita tdk punya BLUE PRINT demokrasi Pancasila, maka konstitusi kita pun ikut terombang-ambing mengikuti arah angin pragmatism politik dunia, yakni demokrasi liberal. Kita tidak punya karakter sebagai bangsa yang memiliki ideologi Pancasila. Lalu, apa bedanya demokrasi kita dengan demokrasi liberal? Bahkan, kita lebih liberal dari negara liberal.

Pilih mana, Pilkada langsung, ataukah Pilkada tak langsung? Perlukah masing-masing daerah rakyatnya yang menentukan melalui referendum daerah? Ataukah kita juga bisa kita usulkan bahwa Semua kepala daerah PROVINSI (kecuali daerah istimewa) DITUNJUK OLEH PRESIDEN dan Kepala Daerah Kabupaten Kota ditunjuk oleh Gubernur?
Makin memusingkan kah?

Palu, 28 Desember 2024

Tabik…!