Presiden Prabowo Sindir Vonis Ringan Koruptor: Seruan Serius, Kode Perubahan atau Sekedar Omon-omon?
Oleh: WA Wicaksono, Storyteller
Di tengah euforia tahun baru, kritik tajam dari Presiden Prabowo Subianto menghentak kesadaran publik. Dalam forum Musyawarah Perencanaan Pembangunan Nasional (Musrenbangnas) pada 30 Desember 2024, Presiden melontarkan pernyataan pedas yang tampaknya diarahkan kepada vonis ringan dalam kasus-kasus korupsi besar. Dengan lugas, ia menyebut bahwa koruptor yang merampok ratusan triliun semestinya dihukum 50 tahun penjara. Apakah ini sekadar sindiran, atau kode keras bagi aparat penegak hukum untuk bertindak lebih tegas?
Vonis Harvey Moeis dan Helena Lim: Awal Polemik
Kasus korupsi timah yang menyeret nama Harvey Moeis menjadi salah satu episentrum kritik ini. Harvey divonis hanya 6,6 tahun penjara atas tindakannya yang merugikan negara hingga Rp300 triliun, jauh dari tuntutan jaksa yang meminta 12 tahun. Tak hanya itu, kasus ini juga menyeret Helena Lim, yang baru saja divonis hanya dengan hukuman 5 tahun penjara. Publik pun bertanya-tanya, apakah vonis tersebut mencerminkan rasa keadilan?
Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) mengakui besarnya kerugian negara dalam kasus ini, tetapi tetap memberikan hukuman yang dianggap ringan. Hal ini memicu kritik tajam dari berbagai pihak, termasuk Presiden Prabowo. “Rakyat itu mengerti, rampok ratusan triliun vonisnya sekian (tahun),” tegasnya.
Seruan Serius atau Sindiran?
Presiden Prabowo tidak menyebut secara gamblang kasus yang menjadi sasaran kritiknya. Namun, waktu dan konteks pernyataannya membuat publik mengaitkannya dengan vonis Harvey Moeis. Presiden juga menyoroti pentingnya memperbaiki sistem peradilan, dengan menekankan agar para terpidana korupsi tidak mendapatkan fasilitas mewah di penjara. “Nanti jangan-jangan di penjara pakai AC, punya kulkas, pakai TV,” ujarnya, sambil meminta Menteri Imigrasi dan Permasyarakatan untuk mengambil tindakan tegas.
Apakah ini sekadar sindiran? Melihat gaya komunikasi Presiden Prabowo yang kerap berapi-api, pernyataan ini tampaknya lebih dari sekadar kritik kosong. Pernyataan “vonisnya ya 50 tahun” bisa dimaknai sebagai seruan moral, sekaligus pesan politik agar aparat penegak hukum berani menegakkan keadilan tanpa pandang bulu.
