KPK Terbukti Prematur Belum Memiliki Dua Alat Bukti Yang Cukup

Damai Hari Lubis
Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212

Dari sisi hukum, dengan fenomena peristiwa hukum yang terpantau hari ini, Jumat (3/1/2025), KPK kembali memanggil mantan Direktur Jenderal (Dirjen) Imigrasi Ronny Franky Sompie,  (Hukum Online, Eks Dirjen Imigrasi Ronny F. Sompie Diperiksa KPK”, 3/1/2025)

Kabarnya Ronny dipanggil untuk diperiksa sebagai saksi terkait a quo in casu perkara dugaan suap dan perintangan penyidikan Harun Masiku dengan Tersangka/ TSK Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto.

Dengan dipanggilnya Ronny Sompie, sebagai bukti hukum bahwa KPK telah menggunakan pola intimidasi dalam melaksanakan fungsi tugas kewenangannya atau dengan kata lain KPK melanggar sistematika hukum beracara Tentang Tindak Pidana Korupsi  Jo. Undang Undang Tentang KPK UU  Nomor 19 Tahun 2019 Tentang Perubahan UU. Nomor 30 Tahun 2002 Jo KUHAP dalam mentersangkakan/ TSK Sekjen PDIP Hasto pada tanggal 24 Desember 2024, tepat menjelang perayaan hari raya natal oleh Hasto dan keluarganya sebagai umat Katholik.

Artinya behavioral description (gambaran perilaku) KPK secara terang benderang dari sisi HAM telah melanggar prinsip dasar tentang asas yang tertera pada pasal 5 huruf f, sebuah red bib pelanggaran penghormatan atas hak asasi manusia, terlebih hingga saat ini (Tahun 2025) setelah menetapkan Hasto menjadi TSK, realitas hukumnya KPK masih membutuhkan proses saksi?

Adapun alasan hukum lainnya dari penulis, bahwa KPK prematur dari sisi formulasi hukum atas kinerja KPK yang terbukti tidak sesuai undang-undang hukum pidana formil (vide UU. Tentang KPK Jo. UU. KUHAP) terhadap peristiwa dugaan adanya tindak pidana yang wajib dimiliki oleh setiap penyidik sebelum menetapkan status TSK, yakni:

1. KPK wajib memiliki bukti permulaan yang cukup , sehingga Status TSK Terhadap Hasto telah melanggar asal-asas Jo. vide pasal 184 KUHAP tentang alasan hukum untuk menetapkan seorang sebagai TSK. Penyidik harus memiliki minimal dua alat bukti dan pemeriksaan calon tersangka. Penetapan tersangka juga harus ditentukan melalui gelar perkara. Adakah gelar perkara tersebut menggunakan Ahli pakar yang dihadirkan oleh dan atas permintaan Hasto?

Argumentasi eksepsi terhadap perilaku kinerja terkait pelanggaran ini adalah, kenapa setelah ada penetapan Hasto sebagai TSK. KPK kembali membutuhkan saksi Ronny Sompie? Oleh karenanya, KPK secara transparansi telah melanggar asas asas yang amat prinsip berproses acara pada;

2. Pasal 5, UU. Tentang KPK. Bahwa dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, KPK harus berasaskan pada:
a. kepastian hukum;
b. keterbukaan;
c. akuntabilitas;
d. kepentingan umum;
e. proporsionalitas; dan
       f. penghormatan terhadap hak asasi manusia.

Asas-asas tesebut diatas pada pasal 5 UU. Tentang MK juga merupakan sebagian daripada prinsip-prinsip Good Government,  yang wajib diterapkan serta dilaksanakan oleh setiap penyelenggara negara, Jo. UU. Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara yang Harus Bersih dan Bebas dari KKN.

3. Berapa nilai perkara? Dan apa kerugian perekonomian negara yang ditimbulkan oleh TSK Hasto? Vide Pasal 11 ayat (1) huruf b dan Jo. Pasal 11 ayat (2) UU. Tentang KPK.

Perspektif negatif penulis kepada KPK, apakah karena KPK kurang menguasai pemahaman delik korupsi?Khususnya terkait perbedaan antara hukum acara pidana (hukum pidana formil) yakni. UU. No. 19 Tahun 2019, Tentang Perubahan UU. No. 30 Tahun 2002 atau UU. Tentang MK. dengan hukum pidana materil, yaitu UU.No.20 Tahun 2001, Tentang  Perubahan UU. No. 31 Tahun 1999 atau UU. Tentang TIPIKOR, atau kah KPK justru sangat paham, namun oleh sebab faktor kepentingan, atau sekedar mengejar target sehingga mengenyampingkan proses hukum beracara yaitu UU. Tentang KPK dengan pola hantan kromo, karena KPK hanya konsentrasi untuk mengejar dan menghukum Hasto.

Lalu terhadap pola dan perilaku penyidik yang demikian arogan, karena dengan sengaja melanggar dan menabrak serta meninggalkan kewajiban tata cara hukum, apakah tetap dianggap sah proses hukum beracara (penyelidikan, penyidikan menuju tuntutan JPU dan proses acara persidangan dihadapan  majelis hakim), yang hakekatnya kesemua proses harus dilakukan dana dilalui secara seksama dan semestinya, sesuai rule of law, dan semata-mata untuk mendapatkan materiele waarheiden atau untuk mendapatkan kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran, namun untuk menuju pasal-pasal pada tuduhan hukum pidana materil tersebut ternyata penyidik KPK melanggar atau tidak berkesesuaian dengan 3 (tiga) fungsi tujuan hukum demi kepastian dan manfaat serta keadilan dan atau KPK jelas-jelas telah melanggar asas-asas prinsip hukum pada pasal 5 UU. Tentang KPK sistim hukum yang seharusnya, KPK yang lebih utama menaatinya, sebagai role model serta marwah bagi institusi/ lembaga KPK dimata seluruh bangsa Indonesia (umumnya WNI).

Lalu, kenapa KPK demikian tendensius dan telanjang menginjak-injak sistim hukum untuk seorang jatidiri Sekjen PDIP yang merupakan salah seorang tokoh besar politisi tanah air, namun dihinakan harkat martabatnya secara HAM dan hak konstitusinya oleh KPK. Analogi ilustrasinya,  bagaimana pula nasib orang-orang yang biasa-biasa saja, kelak bakal diperlakukan oleh penyidik KPK?

Selain dan selebihnya Hasto dan Harun Masiku dari sisi hukum keduanya merupakan sesama kader partai, apakah sudah ada putusan didapat oleh KPK atas unsur sanksi internal (bidang kehormatan DPP. PDIP) yang menjatuhkan sanksi hukum atas perilaku Hasto? Lalu apakah Hasto dan Harun Masiku adalah Pejabat Publik atau ASN saat tempus delicti (saat terjadinya tuduhan atas delik gratifikasi). Dan kunci hukum yang mesti diketahui oleh publik bahwasanya tuduhan obstruksi/ perintangan yang sengaja dipublis oleh KPK adalah sebuah indikasi perilaku kebohongan (ciri-ciri metode atau pola KPK terkontaminasi karakteristik yang dimiliki si RAJA BOHONG). Dan pada akhirnya demi hukum, patut dipertanyakan apakah KPK sudah berpolitik praktis, untuk melenyapkan Hasto dari kursi Sekjen PDIP. Pra Kongres/ Munas PDIP April 2025 mendatang, ada hubungan “cinta” apa antara KPK dengan salah seorang kader (petugas partai) yang baru saja dipecat keanggotaannya oleh PDIP.

Bahwa sisi kelemahan proses tuntutan KPK yang sudah dimulai dengan proses penetapan status TSK kepada Hasto, lalu berlanjut ada berbagai tanda-tanda akurasi politik hukum yang kental mengarah kepada kriminalisasi, dengan indikasi adanya pola pelaksanaan hukum yang menyalahi fungsi tugas dan kewenangan penyidik KPK. Dan akhirnya aspek perilaku berlebihan dan overlapping dari para penyidik KPK (kolegial) akan berakhir fungsi hukum yang tertinggi dan substantif justru hanya menghasilkan kontradiktif dengan hakekat keadilan.

Dan tentunya MASIH BANYAK PELURU EKSEPSI TIM HUKUM HASTO yang perlu dihemat, serta serius bakal digunakan spesial memperjuangkan  prinsip-prinsip dasar hakekat tegaknya keadilan, demi “melawan dan mematahkan segala bentuk kedzoliman KPK”, melalui perlawanan yang hanya berdasarkan sistim hukum (UU. KPK Jo. KUHAP) serta asas good government, demi HAM Hasto secara pribadi dan KPK effect (perilaku brutalis), sehingga preseden bahaya bagi seluruh bangsa ini kedepannya, dengan bukti fenomena perkembangan gejala-gejala (law behavior and law enforcement) dari para Komisioner KPK. yang terindikasi transparansi dengan gejala-gejala kental metode suka-suka/ melanggar asas ekualitas, atau konsep pilih tebang (diskriminatif) berbeda dengan terlapor atau tertuduh lainnya (Gibran, Kaesang, Bobby dan Muhaimin cs.), lalu penyidik menggunakan konsep aji mumpung fungsi dan jabatan serta terorganisir dengan pola STM (Sistematis, Terstruktur dan Masiv) yakni membelokan serta mempolitisasi sistim hukum sebagai alat kekuasaan belaka (praktik kriminalisasi), SEHINGGA PATUT DAN LAYAK BAGI PARA AHLI HUKUM PIDANA DI NUSANTARA UNTUK SAMA-SAMA BERDIRI “DISAMPING HASTO KRISTIYANTO SERTA TEPAT DISEBELAH IBU MEGAWATI SOEKARNO PUTRI, SANG KETUM PDIP VERSUS KPK YANG DISFUNGSI SERTA MAKHLUK JAHAT DIBELAKANGNYA