Mulyono Terkorup, Prabowo Melemah, Megawati Tersandera?

Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

OCCRP adalah salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia dan memiliki staf di lima benua.

Di penghujung tahun, Proyek Pelaporan Kejahatan Terorganisasi dan Korupsi (OCCRP) yang berbasis di Belanda menobatkan Presiden RI ke-7 Joko Widodo,  salah satu dari lima finalis tokoh terkorup di dunia. Jokowi berada di peringkat ke-3 setelah Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Presiden Kenya William Ruto.

Assad, yang pada 8 Desember melarikan diri ke Rusia dianggap pemimpin terbrutal, melakukan kerusakan dari segala sisi terhadap negaranya. Kritik terhadap Jokowi berfokus pada lemahnya penanganan korupsi di Indonesia selama masa kepemimpinannya. Beberapa kebijakan strategis yang kontroversial dianggap kurang transparan, memunculkan anggapan pemerintahannya melindungi oligarki.

OCCRP adalah salah satu organisasi jurnalisme investigasi terbesar di dunia dan memiliki staf di lima benua. Ini organisasi nirlaba dan independent. OCCRP didirikan pada 2007 atau dua tahun setelah berdirinya Konvensi PBB Melawan Korupsi (UNCAC).

Dalam teks pendiriannya, UNCAC menyatakan prihatin terhadap isu dan ancaman korupsi terhadap stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak lembaga dan nilai-nilai demokrasi, etika dan keadilan, serta membahayakan pembangunan berkelanjutan dan supremasi hukum.

Juga prihatin mengenai hubungan antara korupsi dan bentuk kejahatan lainnya, khususnya kejahatan terorganisasi dan kejahatan ekonomi, termasuk pencucian uang. Memang korupsi memiliki arti beragam, yakni tindakan merusak, keburukan, kebejatan, ketidakjujuran, dapat disuap, amoral, dst.

Penominasian Jokowi sebagai finalis terkorup hanya menegaskan apa yang sudah lama menjadi keprihatinan kalangan akademisi, pengamat, intelektual, masyarakat sipil, kaum oposisi, dan media. Jokowi memang merusak lembaga dan nilai demokrasi, etika dan keadilan, serta menghadirkan ancaman terhadap supremasi hukum.

Belum ada bukti Jokowi pribadi melakukan tindak pidana korupsi material. Tapi diduga ia melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN). Pada Januari 2022, misalnya, dosen UNJ Ubedillah Badrun, melaporkan dua putera Jokowi, Gibran Rakabuming dan Kaesang Pangarep, ke KPK terkait dugaan KKN.

Dugaan KKN juga melibatkan menantu Jokowi, Bobby Afif Nasution, dalam kasus “Blok Medan”. Menurut Tempo, edisi 27 Oktober 2024, Bobby diduga terlibat kasus suap izin usaha pertambangan di Maluku Utara. Jika terbukti, ia bisa dikategorikan telah memperdagangkan pengaruh sebagai pejabat dan kerabat presiden untuk memberi keuntungan pada pihak lain.

“Blok Medan” adalah kode yang merujuk pada blok tambang di Halmahera Timur, Malut, yang terungkap dalam persidangan kasus korupsi Gubernur Malut Abdul Ghani Kasuba. Korupsi dan pencucian uang keluarga Jokowi dimungkinkan setelah KPK dilemahkan. KPK yang sebelumnya independen diubah menjadi lemaga rumpun eksekutif di bawah kendali presiden.

Kolusi presiden dan DPR untuk melahirkan KPK yang lemah ini dipakai untuk kepentingan politik. Kasus suap Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan terkait Harun Masiku  tak bisa dilepaskan dari politisasi KPK oleh Mulyono. Ironisnya, PDI-P adalah motor pelemahan KPK pada 2019, dua tahun setelah isu korupsi e-KTP yang, menurut para pelakunya, melibatkan pengurus dan kader PDI-P Puan Maharani dan Ganjar Pranowo.

Prabowo Melemah

Laporan tahunan OCCRP, yang menggegerkan publik tanah air, berdampak positif dan negatif terhadap pemerintahan Prabowo. Berdampak positif bila Prabowo menggunakan momentum ini sebagai kesempatan membersihkan pemerintahannya dari anasir Mulyono. Caranya: meminta institusi-institusi penegak hukum untuk memulai penyelidikan terhadap laporan OCCRP.

Prabowo akan mendapat credit point yang tinggi bila ia melakukannya. Pernyataannya yang bombastis bahwa ia akan mengejar koruptor hingga ke antartika kini menemukan momentumnya. Tapi saya meragukannya karena pengusutan KKN Mulyono akan menyasar putera-puteri dan menantunya. Bahkan terhadap Mulyono sendiri.

Ini dipandang akan mengguncang stabilitas negara. Apalagi Fufufa adalah Wapres dan sebagian menteri-menteri yang terduga koruptor adalah loyalis Mulyono. Sementara, stabilitas pemerintahannya adalah prioritas Prabowo. Terlebih, konfigurasi kepemimpinan KPK dan Dewan Pengawasnya dibentuk Mulyono. Itu terlihat dari manuvernya menjadikan Hasto sebagai tersangka suap ketika koruptor-koruptor kakap dibiarkan.

Bisa jadi Hasto memang melakukan penyuapan. Kendati Hasto harus diusut, tindakannya tak merugikan negara dan jumlah uang yang disuap relatif kecil, kurang dari Rp 1 miliar. Dus, kasus Hasto dipolitisasi untuk menghancurkan PDI-P yang tak lama lagi akan melaksankan Kongres VI untuk memilih ketua umum baru.

Bisa jadi pernyataan Ketum PDI-P Megawati Soekarnoputri bahwa ada pihak-pihak tertentu yang akan mengacaukan kongres benar adanya. Mungkin maksud Megawati adalah bahwa PDI-P akan dibegal kubu Mulyono saat partai melemah akibat kasus Hasto. Simpatisan Mulyono di tubuh PDI-P yang tidak puas pada kepemimpinan Megawati akan menyusup untuk menjungkirkannya. Apalagi Megawati sudah uzur dan kinerjanya di pilpres, pileg, dan pilkada  memprihatinkan.

Dengan asumsi Prabowo tidak menindaklanjuti laporan OCCRP, maka dampak terhadap pemerintahannya sangat besar. Pertama, kampanye antikorupsi Prabowo akan dilihat sebagai propaganda kosong. Apalagi ia mulai terkesan permisif terhadap korupsi ketika ia menawarkan perdamaian dengan para koruptor asalkan mereka mengembalikan uang yang dicuri.

Sikap permisif ini dan KPK yang “dikendalikan” Mulyono serta KKN yang dilakukan keluarga Mulyono jelas akan melemahkan komitmen pemberantasan korupsi. Kedua, pasca laporan OCCRP, politik asosiatif Prabowo dengan Mulyono akan semakin jauh menggerus legitimasinya. Mana mungkin Prabowo bisa tetap terlihat gagah manakala ia masih  memuja Mulyono sebagai guru politiknya.

Guru politik punya makna ia akan meniru semua yang dilakukan gurunya. Padahal, Mulyono kini disalahkan sebagai sumber permasalahan bangsa hari ini. Dus, Prabowo kehilangan kredibilitasnya sebagai tokoh cerdas, tegas, dan independen, syarat yang diperlukan seorang presiden untuk mengurus negara yang  banyak masalah ini.

Ketiga, upaya membujuk investor asing untuk masuk ke Indonesia akan terdampak. Hasil keputusan juri OCCRP dibaca oleh komunitas dunia. Ketika Mulyono tetap berkeliaran dengan santai dan Prabowo tetap melanjutkan kebijakan-kebijakannya, investor asing akan menyimpulkan korupsi adalah masalah biasa di negeri ini, bukan kejahatan luar biasa. Negara dengan citra seperti ini akan dijauhi investor. Dus, pertumbuhan ekonomi 8 persen hanya khayalan.

Keempat, Indonesia adalah pihak UNCAC. Dus, negara bertanggung jawab terhadap  tipikor. Tidak mungkin pemerintahan Prabowo bisa bersembunyi dari sorotan dunia manakala OCCRP telah menetapkan pendahulunya sebagai  salah satu dari lima pemimpin negara paling korup di dunia.

Kelima, melemahkan hubungan internasional Indonesia. Dunia akan melihat presiden RI sebagai tokoh yang tak peduli pada korupsi. Dengan begitu, wibawa kita jatuh dan diplomasi ekonomi akan terkendala. Kendati memiliki pasar besar dan sumber daya alam yang melimpah, RI bukan negara yang punya daya tarik tinggi di bidang investasi. Salah satu penyebabnya, biaya perizinan investasi sangat tinggi akibat ganasnya korupsi.

Megawati Tersandera

Ketika isu suap Hasto semakin santer, Megawati sesumbar bahwa ia akan mendatangi KPK bila anak emasnya itu dijadikan tersangka. Pada 24 Desember, Hasto telah dijadikan tersangka dan Megawati diam seribu bahasa. Apakah membisunya Megawati mencerminkan kearifannya  sebagai negarawan untuk menjaga stabilitas pemerintahan Prabowo, kawan lamanya? Tidak juga.

Pertama, mungkin Megawati sudah diyakinkan bahwa Hasto memang terlibat kasus suap. Dus, menggeruduk KPK justru akan mencoreng citra dirinya. Ia akan terlihat sebagai pembela koruptor. Kedua, keonaran yang diciptakannya akan merusak hubungan pribadinya dengan Prabowo, orang yang diharapkan kelak akan mengakomodasi keinginan PDI-P bergabung dengan Koalisi Indonesia Maju Plus.

Ketiga, Megawati berharap Prabowo bisa menjaga Kongres VI PDI-P berjalan aman dan tertib. Terutama, aman dari upaya pembegalan Mulyono. Keempat, Mulyono masih punya kartu lain untuk menghancurkan PDI-P. Bukan tidak mungkin  pengakuan Bendahara Partai Demokrat Nazaruddin dan Ketua DPR Setya Novanto bahwa Puan Maharani dan Ganjar Pranowo  terlibat korupsi e-KTP benar adanya.

Kelima, Megawati tidak yakin Prabowo dapat membantunya. Dengan kata lain, ia harus menghadapi Mulyono sendirian. Untuk meningkatkan bargaining position-nya vis a vis Mulyono, Hasto mengamanatkan puluhan video terkait kejahatan Mulyono kepada Connie Rahakundini Bakrie yang kini menetap di Moskow, Rusia, sebagai dosen di salah satu universitas di sana.

Keenam, dengan menyembunyikan kejahatan Mulyono selama 10 tahun, Megawati sebagai Ketum PDI-P dapat dituntut ikut bertanggung jawab. Dan bukti-bukti kejahatan Mulyono yang dititipkan kepada Connie lebih merupakan upaya menyelamatkan PDI-P, bukan demi kepentingan bangsa dan negara.

Pasalnya, kalau hubungan Megawati dan Mulyono baik-baik saja dan Hasto tidak dijadikan tersangka, tentu kejahatan Mulyono akan dirahasiakan PDI-P.

Isu-isu di atas membuat Megawati menghindari sikap konfrontatif terhadap Mulyono. Bagaimana negara menyelesaikan masalah ini tanpa merugikan rakyat yang terhimpit masalah  ekonomi? Semuanya bergantung pada leadership Prabowo. Tetapi upaya mendamaikan Mulyono-Megawati – andaikan Prabowo memiliki kemampuan itu — belum cukup. Pasalnya, publik sudah tahu bahwa ada banyak bukti Mulyono melakukan kejahatan terhadap negara.

Jalan yang tersedia adalah Prabowo mengajak Partai Nasdem dan PDI-P bergabung dengan pemerintahannya dengan imbalan ia mendepak loyalis Mulyono dari pemerintahannya tanpa perlu takut akan kehilangan dukungan di parlemen karena parpol-parpol yang menarik diri dari KIM Plus bisa ditutupi suara PDI-P dan Nasdem. Lebih jauh, Prabowo mereformasi KPK. Kalau tidak, Indonesia secara keseluruhan akan terjerumus ke dalam negara gagal.
Tangsel, 2 Januari 2025
Smith Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)