PERSEPSI KEADILAN
Oleh : Girarda
Pemerhati sosial
Di akhir tahun 2024 kita disajikan berita putusan kasus kerugian negara 300 trilyun, 300 nolnya duabelas, terhadap Harvey Moeis dengan 6,5 tahun penjara. Juga beredar video pasca putusan, terhukum senyum lepas berpelukan tersangka dengan istrinya, hadirin juga terlihat senyum gembira termasuk hakimnya. Mungkin bagi terhukum dirasa hanya satu episode drama kehidupan yang penuh dengan kemewahan, dengan simbol kepemilikan jet pribadi, mobil Rolls Royce, Ferrari, dan rumah mewah di Jakarta dan luar negeri. 6,5 tahun tentu sudah cukup menyengsarakan. 300 trilyun untuk 6,5 tahun, setara dengan 46 triliun setiap tahun hukuman. Kalau publik kecewa dengan masa hukuman itu dan berharap ada hukuman 20 tahun, tentu perlu kasus dengan nilai mendekati 1000 trilyun. Jangan jangan hakim tahu ada kasus sebesar itu, tinggal tunggu tanggal mainnya.
Upaya untuk pengembalian kerugian negara yang 300 triliun bagaimana ya. Apakah pengembalian kerugian negara itu masuk dalam APBN, sebagai pendapatan. Kalau berhasil bisa mengurangi target pendapatan dari sektor pajak, sehingga menurunkan tarif pajak tentu disambut gembira oleh publik.
Sebelumnya ada juga berita tentang putusan pengadilan 6 tahun penjara terhadap Gus Nur yang kemudian menjadi 4 tahun setelah kasasi, dengan kasus perbuatan tidak menyenangkan berdasar UU ITE. Tidak ada kerugian negara sama sekali. Bagaimana cara menimbangnya bila dibanding dengan kasus Harvey Moeis. Waktu hukuman di tingkat pertama hampir sepadan. Kerugian negara 300 triliun dan 0. Lokasi pengadilan Jakarta dan Solo. Harvey Moeis kaya raya istrinya terkenal, Gus Nur biasa saja hanya suka berdakwah. Materi kasus, Gus Nur sebagai kasus aduan yang diadukan oleh bukan yang merasa dirugikan secara langsung, sedang Harvey Moeis dari penyelidikan oleh Kejaksaan sebagai aparat penegak hukum. Majelis hakim dari masing masing kasus dalam memutuskan tentu sudah berdasar pada tata acara formal prosedural yang dianggapnya benar. Dari rasa keadilan apakah putusan hakim di tingkat pertama untuk dua kasus tersebut diatas sudah cukup setara. Apakah ada lembaga yang bisa eksaminasi rencana putusan pengadilan tingkat pertama di seluruh Indonesia, sehingga tercapai putusan yang memenuhi harapan rasa keadilan masyarakat. Semacam standarisasi putusan, yang dibidang industri dikenal SNI, yang dibidang pendidikan dikenal akreditasi.
Seandainya putusan pengadilan kurang memenuhi rasa keadilan, terhukum bisakah mendapat rehabilitasi. Mungkinkah langkah yang diambil Presiden Habibie dalam membebaskan tahanan politik dilakukan juga oleh Presiden Prabowo.
Dalam kasus Harvey Moeis apresiasi perlu disampaikan kepada team Kejaksaan, yang kerja keras membongkar kasus tersebut. Menghitung nilai kerugian negara, yang tidak terbantahkan. Publik tentu berharap Kejaksaan bisa membongkar kasus lain penyelewengan yang merugikan negara. Tegak dan jayanya Indonesia antara lain karena dijaga oleh aparat penegak hukum yang kredibel, punya integritas, berani, dan tidak ada niat menyalah gunakan jabatan dan wewenang yang ada.
Rasa keadilan dalam masyarakat adalah persepsi. Pandangan yang dipengaruhi oleh macam macam latar belakang. Namun persepsi bisa dituangkan dalam nilai kepuasan. Bila skala kepuasan 1 untuk sangat tidak puas dan 10 untuk sangat puas, berapa nilai keputusan pengadilan tingkat pertama untuk kasus Harvey Moeis dan untuk kasus Gus Nur. Mungkin lembaga survey yang biasanya rame waktu Pilpres bisa mengadakan polling tentang tingkat kepuasan rakyat terhadap putusan pengadilan tingkat pertama.
Akhir kata penulis ingin mengutip semboyan, tegakkan keadilan walau langit runtuh, berlakulah adil walau itu terhadap musuh, berlakulah adil walau itu terhadap keluarga sendiri, jangan memutuskan suatu perkara dalam kondisi marah.