CELIOS: YANG LAPAR SIAPA? YANG KENYANG SIAPA?

CELIOS: YANG LAPAR SIAPA? YANG KENYANG SIAPA? MITIGASI RESIKO PROGRAM MAKAN BERGIZI GRATIS (1)

“Program yang dijalankan tanpa rencana matang, ambisius, dan melalaikan mitigasi risiko sering kali hanya menjadi jalan pintas untuk mengenyangkan segelintir orang.”

JAKATASATU.COM – Bertepatan dengan hari pertama masuk sekolah, usai liburan semester ganjil, Senin (6/1/25) resmi program unggulan pemerintah, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) dimulai, secara bertahap. Pemerintahan Prabowo-Gibran menganggarkan Rp71 triliun untuk program Makan Bergizi Gratis (MBG) tahun 2025. Tentu saja sebagai pemenuhan janji politik, program ini sudah pasti memang akan dijalankan. Namun, di balik janji gemilang tersebut, program MBG dihadapkan pada berbagai pertanyaan kritis terkait efektivitas implementasi, keberlanjutan, transparansi pengelolaan anggaran hingga model penyaluran MBG.
Sejauh ini, uji coba sudah banyak dijalankan. Sayangnya, hingga saat ini, pemerintah masih tampak gamang menentukan model yang paling tepat untuk merealisasikan program ini. Ketergesaan dalam melangkah tanpa kajian yang mendalam berisiko membawa program ini ke arah yang salah, membuang sumber daya yang sangat terbatas, dan bahkan menciptakan dampak negatif yang tidak diinginkan.
Selain itu, meniru secara mentah-mentah program serupa dari negara lain tanpa mempertimbangkan konteks lokal dapat menjadi jebakan. Indonesia memiliki tantangan unik, mulai dari luasnya wilayah geografis, infrastruktur yang belum merata, hingga ruang fiscal yang sangat terbatas. Laporan CELIOS bertajuk: “Yang Lapar Siapa, Yang Kenyang Siapa” yang merupakan Mitogasi Risiko Program Makan Bergizi Gratis, mencoba mengungkapnya secara lengkap.
“Laporan ini hadir sebagai bentuk mitigasi risiko agar siapapun diatas sana yang mengambil keputusan terkait kebijakan ini bisa mempertimbangkan semuanya dengan matang. Pesan kami jelas. Program MBG harus dijauhkan dari kepentingan politik semata, agar tidak berubah menjadi proyek prestise yang hanya menguntungkan pihakpihak tertentu. Presiden terpilih harus ingat bahwa sebelum menjadi presiden, negeri ini telah lama dihantui oleh “bandit-bandit” yang melakukan praktik-praktik korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan dalam berbagai sektor. Jangan sampai mereka menikam dari belakang, menyalahgunakan program ini sebagai peluang untuk menggerogoti anggaran negara demi kepentingan pribadi atau kelompok. Risiko inefisiensi anggaran juga harus diwaspadai, terutama terkait distribusi rantai pasok yang terlalu panjang, yang bisa memperburuk ketepatan sasaran dan menghambat keberlanjutan program ini,” tulis Media Wahyu Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS dalam pengantarnya.
Temuan Utama
“Laporan ini menyajikan pemetaan komprehensif mengenai persepsi masyarakat terhadap program MBG, termasuk kekhawatiran terhadap potensi distribusi yang tidak merata, kualitas makanan yang diragukan, hingga risiko anggaran yang kurang efisien. Lebih jauh, kami menawarkan pendekatan alternatif untuk memastikan bahwa setiap rupiah yang dialokasikan benar-benar memberikan dampak yang signifikan bagi kesejahteraan anak-anak Indonesia.
Kami berharap hasil studi ini tidak hanya menjadi bahan refleksi bagi para pemangku kepentingan, tetapi juga menjadi pijakan strategis untuk membawa program MBG melangkah lebih jauh—dari sekadar janji kampanye menjadi kebijakan yang benarbenar bermanfaat bagi masyarakat Bawah,” imbuhnya.
Ketika Kemiskinan, Mengikis Gizi Anak
Makanan yang bergizi menjadi pondasi kuat bagi masa depan generasi bangsa yang lebih sehat dan cerdas. Ketika gizi anak terpenuhi dengan baik setiap hari, terutama bagi mereka
yang hidup di bawah garis kemiskinan, otak dan tubuh mereka berkembang optimal, membuka jalan menuju potensi terbaik yang selama ini tenggelam oleh ketidakberdayaan.
Kemiskinan dan kekurangan gizi memiliki hubungan yang saling saling mempengaruhi, sehingga peningkatan gizi anak harus dibarengi dengan pengentasan kemiskinan struktural .
Maka, dibutuhkan peningkatan ekonomi rumah tangga miskin agar terhindar dari kekurangan gizi. Akses ke makanan bergizi bukan hanya untuk menghilangkan lapar, tetapi
juga sebagai investasi jangka panjang pada kesehatan, kecerdasan, dan produktivitas anak-anak Indonesia.
Studi ini mengindikasikan bahwa hampir setengah dari keluarga di Indonesia masih berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangan anak-anak mereka. 49% keluarga melaporkan cukup sering atau sangat sering menghadapi masalah kekurangan makanan di rumah. Ketahanan pangan terutama menjadi masalah bagi keluarga dengan pendapatan di bawah 2 juta rupiah, yang menyumbang sebagian besar dari mereka yang mengalami kekurangan makanan.
Studi ini juga menyiratkan bahwa program makan bergizi gratis hanya akan memberikan dampak terbesar pada keluarga dengan anggaran rendah, terutama mereka yang berpenghasilan di bawah 2 juta rupiah per bulan. Kelompok ini paling merasakan manfaatnya, karena beban pengeluaran untuk makanan bisa sangat meringankan kondisi finansial mereka. Dengan kata lain program makan bergizi gratis ini tidak relevan anak-anak dari keluarga berpenghasilan tinggi.
Studi ini juga menemukan, sebanyak 41% responden mengakui bahwa biaya pendidikan dan makanan anak-anak memberi tekanan luar biasa terhadap pengeluaran keluarga mereka. Keluarga dengan pendapatan bulanan di bawah Rp1 juta merasa tekanan biaya Pendidikan dan makanan anak-anak paling berat, dengan 27% dari responden mengakui bahwa beban ini sangat memberatkan keuangan rumah tangga mereka.
Angka ini menunjukkan bahwa kelompok masyarakat dengan penghasilan terbatas benarbenar berada dalam posisi yang terjepit. Anak-anak dari kalangan keluarga miskin menghadapi risiko terhambatnya akses terhadap pendidikan dan gizi yang memadai. Pilihan sulit yang harus mereka hadapi bisa berujung pada kualitas hidup yang lebih rendah, yang
pada akhirnya akan berdampak pada kualitas demografi Indonesia jangka panjang. Di sisi lain, keluarga dengan pengeluaran di atas lima juta rupiah per bulan tidak mengalami tekanan yang sama, mengingat pendapatan mereka cukup untuk menutup biaya Pendidikan dan makanan tanpa mengorbankan kebutuhan lainnya.
Program makan bergizi gratis bagi semua anak, meskipun terdengar seperti kebijakan yang mulia, sesungguhnya bisa jadi bumerang karena berpotensi membuang-buang anggaran.
Program makan bergizi gratis lebih dibutuhkan oleh anak-anak dari keluarga kurang mampu.
Diinginkan Kelas Bawah Berpendidikan Rendah, Dikritisi Kelas Atas Berpendidikan Tinggi
Studi ini menemukan bahwa responden memilih Prabowo-Gibran karena program makan bergizi gratis (MBG). Hasilnya menunjukkan bahwa hampir semua pemilih Prabowo-Gibran mendukung inisiatif ini, dengan 92,7% responden yang mendukung MBG sebagai solusi untuk masalah nutrisi anak di sekolah memilih pasangan tersebut dalam Pemilu 2024.
Dalam konteks janji politik, dukungan terhadap MBG menjadi salah satu faktor kunci kemenangan Prabowo-Gibran. Sementara itu, di antara responden yang tidak mendukung MBG hanya 21,8% yang memilih Prabowo-Gibran.
Dari perspektif politik, janji makan bergizi gratis ini terbukti sukses sebagai strategi electoral dan mengantarkan Prabowo – Gibran sebagai Presiden dan Wakil Presiden terpilih. Namun demikian, janji politik ini berpotensi melahirkan masalah dikemudian hari, dikenal sebagai scarring effect, apabila tidak ditepati.
Studi ini juga menemukan bahwa dukungan terhadap program makan bergizi gratis sangat besar, dengan 64,34% responden menyatakan sangat mendukung dan 16,95% mendukung. Dukungan terhadap program makan bergizi gratis paling kuat berasal dari responden dengan pendidikan SD atau tidak sekolah, di mana 32,99% sangat mendukung program ini.
Hal ini dapat dimengerti karena keluarga dengan tingkat pendidikan rendah seringkali memiliki penghasilan yang terbatas, sehingga program ini dianggap sangat bermanfaat dalam meringankan beban keuangan mereka dan meningkatkan akses nutrisi bagi anakanak. Sebaliknya, responden dengan pendidikan yang lebih tinggi cenderung lebih netral
atau memiliki pandangan yang lebih kritis terhadap implementasi program ini.
Secara keseluruhan, 57% responden sangat percaya bahwa program makan bergizi gratis akan mengurangi kelaparan. Namun, 28% responden tidak yakin akan keberhasilannya.
Tingkat kepercayaan tertinggi datang dari responden dengan pendidikan rendah (SD dan SMP), sementara responden dengan pendidikan lebih tinggi cenderung lebih skeptis atau
tidak yakin.
Mayoritas responden (87%) meyakini bahwa program makan bergizi gratis akan meningkatkan kehadiran anak-anak di sekolah, dengan hanya 13% yang tidak sependapat. Responden juga melihat program makan bergizi gratis memiliki dampak positif terhadap prestasi akademik anak-anak, dengan 45,05% yang menyatakan dampaknya sangat positif, dan 31,86% menilai dampaknya positif. Hanya 0,02% responden yang merasa program ini akan berdampak negatif, dan 23,05% responden bersikap netral.
Studi ini menunjukkan adanya perbedaan signifikan dalam pandangan terhadap kebijakan makan bergizi gratis berdasarkan tingkat pendidikan. Kelompok dengan pendidikan rendah cenderung lebih optimis terhadap solusi sederhana seperti pemberian makan bergizi gratis, karena mereka melihatnya sebagai langkah langsung untuk memenuhi kebutuhan dasar tanpa harus memikirkan aspek teknis atau kebijakan yang lebih kompleks. Mereka mungkin lebih fokus pada manfaat langsung yang dapat dirasakan, mengingat tantangan ekonomi
yang dihadapi oleh banyak keluarga dengan tingkat pendidikan rendah. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berpendidikan tinggi lebih kritis dan mempertimbangkan berbagai faktor yang dapat mempengaruhi keberhasilan program tersebut, seperti masalah dalam implementasi, pendanaan, distribusi, dan potensi dampak jangka panjang terhadap sektor lain, seperti pendidikan atau kesehatan masyarakat.
Responden berlatar pendidikan SD dan tak sekolah paling yakin bahwa program MBG berdampak positif terhadap prestasi akademik. Kalangan tersebut berkontribusi hingga 32%
dari jumlah keseluruhan, sementara masyarakat berpendidikan diploma dan sarjana hanya berkontribusi sekitar 2%. Seiring meningkatnya tingkat pendidikan, kalangan kritis kian
melihat adanya miskonsepsi fokus intervensi program dalam peningkatan prestasi akademik karena hambatan teknis dan inefisiensi penyaluran.
Beriringan dengan prestasi akademik, kehadiran di sekolah menjadi indikator dasar yang perlu lebih awal terpenuhi. Data tersebut menunjukkan bahwa responden berlatar pendidikan SMA/SMK ke bawah memang mempercayai dampak program MBG.
Memperbaiki Gizi Atau Malah Berujung Skandal Korupsi
Studi ini menunjukkan bahwa 46% responden khawatir terhadap adanya penyaluran yang tidak efisien.
Penyaluran yang tidak efisien merupakan masalah serius karena dapat menghalangi anakanak dari akses terhadap makanan bergizi yang seharusnya mereka terima. Ketidakefisienan ini bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk logistik yang buruk, kurangnya koordinasi antara lembaga yang terlibat, dan risiko keterlambatan pengiriman makanan ke sekolah.
Sebuah program yang dirancang untuk membantu anak-anak dalam memenuhi kebutuhan nutrisinya harus didukung oleh sistem distribusi yang terorganisir dengan baik. Jika penyaluran tidak terencana, maka tujuan utama program tersebut—mengurangi beban finansial keluarga dan meningkatkan kesehatan anak-anak—sulit tercapai.
Kekhawatiran mengenai korupsi menempati posisi kedua, dengan 37% responden merasa khawatir program ini rentan diselewengkan. Alasan kekhawatiran publik ini sebenarnya
masuk akal.
Pertama, program yang melibatkan distribusi bantuan besar-besaran sering kali menjadi sasaran korupsi, terutama ketika ada aliran dana yang besar yang tidak transparan (penyaluran bantuan pangan dan BLT). Dalam konteks program makan bergizi gratis, pengadaan makanan dan distribusinya melibatkan banyak pihak, mulai dari penyedia bahan pangan hingga pihak yang bertanggung jawab atas pengiriman ke sekolah-sekolah atau lokasi lain. Tanpa pengawasan yang ketat, ada peluang bagi pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memanipulasi proses pengadaan, seperti menaikkan harga atau menyelewengkan dana untuk keuntungan pribadi.
Kedua, jika pemerintah tidak menetapkan mekanisme yang jelas untuk mengawasi dan mengevaluasi pelaksanaan program, seperti audit independen atau transparansi anggaran
secara rinci kepada publik, maka peluang penyalahgunaan sumber daya akan semakin besar. Misalnya, beberapa pihak dapat mencurangi kualitas atau kuantitas makanan yang
disalurkan, atau bahkan menggiring dana bantuan untuk kepentingan pribadi atau politik elektoral.
Ketiga, publik mengetahui bahwa banyak menteri terpilih yang ditugasi urusan yang berkaitan dengan pangan justru berasal dari partai politik. Ada risiko bahwa program makan
bergizi gratis bisa digunakan sebagai alat untuk meraih simpati publik pada pemilu 2029.
Pemetaan Potensi Korupsi
Pemetaan Potensi Korupsi
Alih-alih memastikan program ini dijalankan dengan efektif dan sesuai dengan tujuan kesehatan masyarakat, kebijakan pangan bisa jadi dipolitisasi demi keuntungan elektoral,
seperti pemberian makanan yang hanya difokuskan pada wilayah-wilayah yang memiliki potensi suara besar di pemilu.
Selain itu, partai politik yang terlibat dalam pemerintahan bisa berusaha untuk memenangkan kontrak pengadaan kepada perusahaan atau kelompok yang mendukung mereka, yang dapat menciptakan peluang besar untuk penyalahgunaan anggaran.
Berdasarkan data KPK, penindakan korupsi akibat pengadaan barang dan jasa menjadi jenis perkara terbanyak pada tahun 2024 sebanyak 63 dari 128 perkara.
Selain itu, 52% responden juga mengkhawatirkan kualitas makanan yang akan disajikan dalam program makan bergizi gratis.
Makanan yang rendah kualitas tidak hanya dapat mempengaruhi daya tarik anak-anak terhadap makanan tersebut, tetapi juga berisiko menurunkan nilai gizi yang seharusnya didapatkan. Kualitas makanan yang baik harus dipastikan agar program ini efektif dalam memenuhi kebutuhan gizi anak. Oleh karena itu, pihak penyelenggara program harus menetapkan standar kualitas yang jelas dan melakukan pengawasan untuk memastikan bahwa makanan yang disediakan aman dan bergizi.
Studi ini juga melihat peran perempuan yang sangat dominan berkaitan dengan persoalan gizi anak-anak mereka.
Perempuan menunjukkan tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi dibandingkan laki-laki. Hal ini mungkin mencerminkan peran perempuan yang sering kali lebih terlibat dalam pengelolaan makanan di rumah, sehingga mereka lebih peka terhadap isu-isu keberagaman dan kualitas makanan yang disajikan kepada anak-anak.
Tidak hanya soal menu makanan, perempuan memiliki tingkat kekhawatiran yang lebih tinggi, mencapai 45%, terhadap adanya penyimpangan dalam pelaksanaan program dibandingkan laki-laki.
Hal ini menunjukkan bahwa perempuan lebih peka terhadap potensi masalah dalam implementasi program, yang mungkin berkaitan dengan pengalaman langsung mereka dalam mempersiapkan kebutuhan pangan keluarga. |WAW-JAKSAT