EVERYTHING I DO, “DUIT” DULU!”

Oleh Agung Marsudi

GAYUNG bersambut, “Duet duit, just do it!” kabar seputar duo AA, Anies-Ahok mantan gubernur DKI Jakarta, untuk naik kelas, mendapat dukungan dari para “pendukungnya”, mendapat suntikan dari para “penyuntiknya”.

“Jawabannya jadi begini, ” Everything I do, “duit” dulu!”

“Apa, apa, apanya dong, apanya dong, apanya dong, dang ding dong!”

“Eh, Eh, Kok Gitu, Sih!’

Ya, begitulah. Meski politik itu dinamis, tapi dia membutuhkan integritas. Senarai sikap yang loyal kepada kebenaran, bukan pada orang, klan, atau institusi. Apalagi politik berbasis dendam, iri dan sakit hati. Ketiganya seperti api memakan kayu bakar.

AA, Anies-Ahok, lawan yang menjadi teman. Teman yang (tak) melawan. Kebaikan tak bisa disetentangkan dengan bahu kebohongan. Lalu ada perintah, “setengah lengan kencang kanan”, atau “luruskan”.

Ini soal moral politik. Seperti postur tubuh kita, yang digambarkan menjadi tiga bagian; kepalanya ngaku nasionalis, tapi leher ke perut kapitalis, bawah perut maunya liberalis.

AA, tentu bukan soal ibukota. Tapi soal ibu pertiwi yang menangis, melihat pribumi harus menjadi kuli di negeri sendiri. Mengaku bertanah air, tapi tak punya tanah, tak punya air. Bahkan teralienasi di rumahnya sendiri.

AA, tentu juga bukan soal “neraca kecewa” yang berat sebelah, antara debit-kredit, aktiva-pasiva, pemasukan-pengeluaran. Ini soal nasib rakyat yang dipertaruhkan di meja judi. Siapapun pelakunya.

UUJ: Ujung-Ujungnya Jualan”. Apa saja dijual, termasuk harga diri bangsa. Pancasila kalah, di negeri yang katanya ramah. UUD 1945 diganti, bab dihapus, pasal-pasal dijual. Demi kepentingan para oligarki.

Indonesia akan maju, kalau para pejabatnya tak sempat ganti baju. Indonesia akan makmur, kalau presidennya tak sempat tidur. Indonesia akan adil, kalau aparatnya gak pakai bedil.

AA sebagai hipotesa, tak perlu dipagari dengan kalimat apa-apa, apalagi “prasangka”. Sebab hasil diagnosa, sepertinya AA sudah cacat sebelum kelahirannya.

Menteng Huis, 5 Januari 2025