Kejagung Harus Periksa Apa Ada Jokowi di Kasus Timah 300T?

JAKARTASATU.COM Kejaksaan Agung (Kejagung) didesak untuk tidak ragu mengusut dugaan korupsi pengelolaan timah yang disebut merugikan negara hingga Rp300 triliun, termasuk kemungkinan keterlibatan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi).

Dilaman  Inilah.com, Pakar Hukum Pidana dari Universitas Bung Karno (UBK), Hudi Yusuf, menegaskan Kejagung perlu memeriksa siapa pun yang terkait tanpa pandang bulu. Ia menekankan pentingnya penegakan hukum yang adil untuk membangun kepercayaan terhadap sistem hukum di Indonesia.

“Supaya bangsa dan negara kita ini jadi besar ya. Jangan alergi ya, memeriksa siapa pun dari level tertinggi sampai level terbawah terkait kasus korupsi. Termasuk mantan presiden, wakil presiden hingga orang terkaya,” kata Hudi  di Jakarta, Senin (6/1/2025).

Hudi juga menyatakan, jika terdapat dua alat bukti yang cukup, Jokowi dapat ditetapkan sebagai tersangka. Ia mengingatkan banyak mantan pemimpin dunia yang pernah menghadapi proses hukum akibat dugaan korupsi.

“Kan banyak di negara-negara luar juga presiden diturunkan, presiden diadili seperti itu, bahkan ada yang dikudeta, ada yang dimakzulkan,” lanjutnya.

Menurut Hudi, Kejagung harus menggali aliran dana dalam kasus ini dan tidak berhenti pada 23 tersangka yang telah diumumkan, termasuk Harvey Moeis dan Helena Lim.

“Teruslah, duit Rp300 triliun itu banyak. Banyak alirannya ke mana saja. Siapa pun yang menikmati uang triliunan itu harus diperiksa dan harus diproses hukum,” tuturnya, menekankan.

Sebagai perbandingan, banyak mantan pemimpin dunia pernah tersandung kasus korupsi. Misalnya, mantan Presiden Afrika Selatan Jacob Zuma menghadapi berbagai tuduhan korupsi terkait kontrak pemerintah. Mantan Presiden Korea Selatan Park Geun-hye dijatuhi hukuman penjara atas korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan. Selain itu, mantan Perdana Menteri Israel Ehud Olmert dihukum karena kasus korupsi dalam pembangunan proyek real estate.

Sebelumnya diberitakan, mantan Kepala Unit Produksi PT Timah Tbk wilayah Bangka Belitung, Ali Samsuri, memberikan kesaksian dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah yang disebut merugikan negara hingga Rp300 triliun. Dalam sidang tersebut, Ali menyampaikan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah meminta PT Timah untuk membantu masyarakat yang terlibat dalam penambangan timah ilegal agar kegiatan tersebut dapat dilegalkan.

Ali memberikan kesaksian untuk beberapa terdakwa, yakni Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani (Dirut PT Timah Tbk periode 2016-2021), Emil Ermindra (Direktur Keuangan PT Timah Tbk 2016-2020), dan MB Gunawan (Dirut PT Stanindo Inti Perkasa). Ali juga menjelaskan dirinya masih bekerja di PT Timah pada 2018 ketika program izin usaha jasa pertambangan (IUJP) berlangsung.

Kesaksian itu disampaikan saat menjawab pertanyaan jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (11/9/2024).

Jaksa menyoroti pelaksanaan IUJP yang dimulai pada 2015, dan Ali mengonfirmasi program tersebut masih berlangsung ketika ia menjabat pada 2018.

Jaksa kemudian bertanya apakah Ali mengetahui pemilik IUJP pernah menjadi pengepul bijih timah dari penambang ilegal. Ali menjawab, “Kalau menjadi pengepul penambang timah ilegal, saya tidak dapat kabar. Tapi kalau yang saya sampaikan tadi, misalnya di sekitaran tambang masyarakat yang bermitra secara resmi tadi, misalnya ada penambang masyarakat yang tidak berizin ini, yang kita minta untuk ini bisa dibina, misalnya sama-sama masih dalam IUP, itu saja.”

Saat jaksa menanyakan lebih lanjut tentang penjualan bijih timah ilegal melalui pemilik IUJP, Ali menyebutkan Presiden Jokowi sempat meminta PT Timah untuk mengakomodasi masyarakat penambang ilegal.

“Artinya kan yang tadi tambang-tambang ilegal itu berarti menggunakan perusahaan pemilik IUJP itu ketika menjual bijih timahnya, itu Saudara tidak praktik seperti itu terhadap mitra-mitra seperti itu, ya?” tanya jaksa.

“Tidak semua. Karena kita waktu itu kan diperintahkan, waktu apa ya, ada kunjungan Presiden RI ke Babel, Yang Mulia. Terus banyak yang mengeluhkan masalah tambang ilegal dan statement beliau (Jokowi) adalah, ‘Ya itu semua masyarakat saya, minta tolong bagaimana caranya yang ilegal ini menjadi legal’,” jelas Ali.

Ali menjelaskan, PT Timah membina masyarakat penambang ilegal agar tidak lagi dikejar oleh aparat keamanan. “Jadi ya itulah waktu itu bagaimana masyarakat yang ada di sekitar-sekitar tambang yang ada IUP (izin usaha pertambangan) SPK (surat perintah kerja) kita itu yang dibina biar mereka tidak dikejar-kejar oleh aparat,” ungkapnya.

Penambang ilegal yang dibina umumnya menggunakan mesin kecil, sementara mitra IUJP menggunakan alat berat seperti ekskavator dan buldozer. Selain itu, mitra IUJP juga menambang di lokasi baru, tidak hanya di area bekas tambang.

“Itu yang sifatnya nomaden, masyarakat umum yang mereka menambang pakai mesin kecil. Kalau yang IUJP mereka rata-rata sudah menggunakan alat berat,” kata Ali. (Yoss)

Sumber : Inilah