HITAM dan PUTIH 2025
Oleh JIMMY H SIAHAAN
Geger adalah suatu kondisi yang riuh ramai yang tidak karuan. Istilah lain dari kata geger adalah gempar, heboh, atau ribut. Zaman Now, lebih sering dipakai heboh.
Menutup tahun 2024, salah satu organisasi nirlaba bernama Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) merilis daftar nominasi orang-orang yang dinilai berkontribusi besar dalam memperburuk kejahatan terorganisir dan korupsi. Presiden ketujuh Indonesia, Joko “Jokowi” Widodo masuk ke dalam daftar nominasi tersebut. Kendati akhirnya kalah korup dari pemenang penghargaan Person of the Year 2024, Bashar al-Assad (mantan Presiden Suriah), masuknya Joko Widodo sebagai salah satu nominasi adalah preseden buruk bagi situasi demokrasi, Negara Hukum, dan hak asasi manusia.
Kendati demikian, YLBHI memandang bahwa label tokoh paling koruptif sepanjang tahun 2024 yang dirilis oleh OCCRP memiliki dasar kuat.
YLBHI melihat setidaknya ada 10 faktor Jokowi layak disebut sebagai koruptor: 1. Pelemahan KPK Secara Sistematis 2. Revisi Undang-Undang Pertambangan Mineral dan Batubara (2020). 3.Omnibus Law dan Pengabaian Check and Balances. 4. Rezim Nihil Meritokrasi. 5. Menghidupkan Kembali Dwifungsi Militer 6. Badan Usaha Milik Negara menjadi Badan Usaha Milik Relawan 7. Intelijen untuk Kepentingan Politi 8. Represi dan Kriminalisasi. 9. Proyek Strategis Nasional Merampas ruang hidup rakyat. 10. Nepotisme Kekuasaan.
YLBHI adalah lembaga hukum berdiri tahun 1970 oleh Adnan Buyung Nasution, dikenal dengan sebutan Bang Buyung. Tokoh Anti Korupsi, inisiator bagi didirikannya KPK dan Lembaga pengadilan TIPIKOR.
Ada sebuah buku yang heboh diterbitkan berjudul, Nasehat untuk SBY ( 2012). Isinya dari kutipan buku menjelaskan :
Dimasa reformasi saya termasuk penggagas KPK….masalah Korupsi terus mejadi pusat perhatian saya, tapi sayangnya saya belum melihat upaya pemberatasannya yang membuahkan hasil yang gemilang. Pembentukan Pengadilan Khusus Tipikor yang penting dari KPK….Sebagai amanat utama Gerakan Reformasi 1998 (hal 180-181).
Kehebohan diawal tahun ini oleh YLBHI tentu memiliki alasan yang kuat bagi sebutan koruptor bagi mantan Presiden Joko Widodo. Bukan sebagai nasehat untuk seorang Presiden.
Perlu kiranya ditambahkan bahwa dalam konteks demokrasi, tidak mungkin demokrasi tumbuh kalau tidak ada Rule of Law, sebaliknya Rule of law tidak mungkin tumbuh kalau tidak ada Demokrasi.
Nasehat dari Ariestoteles
Aristoteles berpendapat sumbu kekuasaan dalam negara yaitu hukum. Oleh karena itu para penguasa harus memiliki pengetahuan dan kebajikan yang sempurna. Sedangkan warga negara adalah manusia yang masih mampu berperan.
Pernyataan Aristoteles bahwa manusia adalah “binatang politik” dapat dipahami dalam sejumlah cara. Salah satu cara membacanya adalah dengan mengatakan bahwa manusia secara alamiah mudah bergaul (garis Pufendorf-Grotius) dan bahwa mereka secara alamiah tertarik pada berbagai asosiasi politik untuk memenuhi kebutuhan sosial mereka.
Cara membaca lain, yang melihat kata “politik” dalam sudut pandang yang kurang baik, mungkin menyatakan bahwa, karena politik didasarkan pada kekerasan dan ancaman kekerasan, frasa tersebut menekankan sisi “binatang” dari sifat manusia daripada sisi rasional dan kooperatifnya. Mereka yang berpaling dari kekerasan yang melekat dalam politik, dalam pandangan Aristoteles, juga berpaling dari masyarakat – mereka menyatakan diri mereka sebagai penjahat, tanpa “suku”, dan tanpa hati.
Penggambaran Aristoteles tentang mereka sebagai “burung yang terbang sendiri” mengingatkan saya pada cerita Rudyard Kipling dalam The Just So Stories (1902) tentang “Kucing yang Berjalan Sendiri”, karena dari semua hewan liar ia menolak untuk dijinakkan oleh manusia. Tentu saja, ada juga puisi Robert Frost “The Road not Taken” (1920) dengan baris tentang memilih “jalan yang jarang dilalui”. Apakah ini hal yang buruk ?
Burung dan Kucing, Jalan yang jarang dilalui, akhirnya menjadi pilihan untuk menjadi penguasa yang seperti perumpaan diatas. Mencari jalan pintas untuk selalu berkuasa dan menghalalkan segala cara, termasuk berbohong.
Dalam istilah yang digunakan oleh filsuf Immanuel Kant, ketika Anda berbohong kepada saya, Anda memperlakukan saya sebagai sarana atau alat, bukan sebagai orang dengan status moral yang setara dengan Anda.
Kant sendiri mengambil prinsip ini sebagai alasan untuk mengutuk semua kebohongan, betapapun bergunanya – tetapi filsuf lain berpendapat bahwa beberapa kebohongan begitu penting sehingga mungkin sesuai dengan, atau bahkan mengekspresikan, rasa hormat kepada warga negara.
Plato, khususnya, berpendapat dalam “The Republic” bahwa ketika kebaikan publik mengharuskan seorang pemimpin untuk berbohong, warga negara harus bersyukur atas tipu daya para pemimpin mereka.
Michael Walzer, seorang filsuf politik modern, menggaungkan gagasan ini. Politik membutuhkan pembangunan koalisi dan pembuatan kesepakatan – yang, dalam dunia yang penuh dengan kompromi moral, mungkin memerlukan penipuan tentang apa yang direncanakan seseorang dan mengapa.
Seperti yang dikatakan Walzer, tidak seorang pun berhasil dalam politik tanpa bersedia mengotori tangan mereka – dan para pemilih seharusnya lebih suka politisi mengotori tangan mereka, jika itu adalah biaya agensi politik yang efektif.
Hitam tetaplah hitam, putih tetaplah putih, biarlah waktu yang membuktikannya.