Kalau Berdampak Pada Kehidupan Berbangsa Dan Bernegara, Etika Sosial Ini Tidak Layak Diberlakukan
Smith Alhadar
Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)
Kita lelah. Nyaris putus asa. Pemerintah tak punya wibawa karena “tak punya” pikiran atau the will. Kita mengira pasca era Mulyono yang durhaka pada negara, pemerintahan Prabowo akan melahirkan era baru, era yang diharapkan mengembalikan akal sehat dan moralitas bangsa yang hilang selama 10 tahun terakhir. Ternyata tidak.
Pemerintahan baru mengidap penyakit delusion sehingga urusan negara dan pemerintahan harus kita yang pikirkan. Capek kita! Sudah berkali-kali kita sarankan melakukan ini dan itu. Tapi tak berguna. Pemerintah bergeming dan segera saja para buzzer serta influencer melakukan konter dengan kesengajaan merasionalisasi kebijakan pemerintah yang keliru. Capek kita!
Kadang kita bersimpati pada Prabowo, figur cerdas dan patriotik yang terperangkap dalam labirin ciptaan Mulyono. Tapi lebih sering kita kecewa. Sebegitu hebatkah si tukang kayu sehingga seorang jenderal harus bertekuk lutut di hadapannya? Memang sulit dipercaya seorang presiden yang sedang berkuasa “dikendalikan” oleh orang yang telah menjadi sejarah. Sejarah hitam lagi.
Prabowo boleh saja berpegang pada budaya Jawa “mikul duwur mendem jero” — etika sosial yang menjunjung tinggi kehormatan keluarga, harga diri, serta rasa hormat pada orang lain (dalam hal ini Mulyono) – sepanjang hal itu terbatas pada hubungan pribadi. Kalau berdampak pada kehidupan berbangsa dan bernegara, etika sosial ini tidak layak diberlakukan.
Presiden Soeharto memang tidak memenjarakan Presiden Soekarno. Tapi ia bersihkan anasir Soekarno di eranya, era Orde Baru, dan mengucilkan Soekarno, yang merupakan political necessity (keniscayaan politik). Tidak mungkin Orde Baru bisa berlangsung dengan stabil dan berkemajuan selama 32 tahun tanpa menghancurkan tatanan Orde Lama. Ini hukum besi politik yang terjadi di semua negara sepanjang sejarah.
Dengan mempertahankan Mulyonoisme yang didasarkan pada Machiavellisme yang brutal sesungguhnya Prabowo melawan arus sejarah yang akan membawa pemerintannya pada stagnasi. Bahkan, pembusukan. Tanda-tandanya mulai nampak. Misalnya, pengukuhan Mulyono sebagai finalis tokoh terkorup di dunia oleh OCCRP. Ini akan melemahkan pemerintahan Prabowo. Stabilitas nasional yang dibutuhkan untuk membangun tak akan terjadi.
Kalau Soeharto yang tak dikenal mampu melengserkan strongman Soekarno, mestinya modal politik Prabowo lebih dari cukup untuk melucuti pemerintahan bayangan Mulyono. Rakyat berhak menuntut ini karena kita tidak mau menunggu sampai kegagalan pemerintah yang predictable jadi kenyataan. Capek kita. Strategi makan bubur panas yang mungkin sedang diterapkan Prabowo dalam membersihkan anasir Mulyono tidak tepat. Time is running out.
Bagaimana kita bisa berdiri gagah sebagai bangsa yang beradab di hadapan komunitas internasional kalau presiden kita memelihara “kekuasaan” dan kerangka berpikir tokoh yang oleh OCCRP dianugrahi gelar yang menjijikkan? Malu kita! Lebih malu lagi karena pemimpin ormas keagamaan terbesar dan pejabat negara menyudutkan lembaga internasional yang kredibilitasnya diakui dunia itu.
Energi kita habis mempertengkarkan hal-hal elementer yang kebenarannya diketahui semua orang. Capek kita. Masalah Hasto Kristiyanto, Sekjen PDI-P, akan juga menjadi bom waktu yang bisa meledakkan pemerintah. Pasalnya, isu ini sangat politis dan melibatkan Mulyono serta Megawati. Yang tak kurang kritis, bisa jadi KPK memang bekerja untuk kepentingan Mulyono meskipun tak menutup kemungkinan Hasto terlibat suap.
Kita tidak keberatan Hasto diusut, tapi dugaan kasus korupsi dan pencucian uang keluarga Mulyono dengan nilai ratusan miliar, jauh lebih besar daripada kasus suap Hasto yang kurang dari satu miliar, juga harus diusut. Tebang pilih kasus, yang mengistimewakan keluarga Mulyono, meresahkan masyarakat dan lebih jauh menggerogoti legitimasi pemerintahan Prabowo. Kita lelah menonton drama ini.
Dugaan Mulyono terkorup yang divonis OCCRP dan kasus korupsi, pencucian uang, serta gratifikasi anak-anak dan menantu Mulyono sebagaimana dilaporkan Dosen UNJ Ubedilah Badrun adalah pintu masuk untuk memulai proses penyingkiran tatanan Orde Mulyono. Jangan biarkan sesama anak bangsa saling menegasikan hanya untuk membela. Energi kita habis percuma saat tantangan nasional, regional, dan global terus menumpuk.
Tentu saja menata ulang negara dengan menyingkirkan pengaruh jahat Mulyono-Oligarki tidak semudah membalikkan telapak tangan. Tapi itu sangat bisa dilakukan demi kepentingan strategis jangka panjang bangsa yang lelah ini. Prabowo pasti tidak naif. Tapi obesitas pemerintahan yang penuh luka tanpa otoritas yang diperlukan untuk mengatasi masalah-masalah riil yang membahayakan negara hanya menunda kekalahan kita semua.
Kita sedih menyaksikan seorang menteri menyatakan Mulyono adalah putera terbaik bangsa untuk meredam kegelisahan sosial setelah OCCRP merilis laporan tahunannya. Mengapa kita harus berdusta? Mungkin kadang kita perlu membual demi kebaikan bersama, tapi bukan untuk menyembunyikan kejahatan yang terang-benderang. Pernyataan menteri era Mulyono ini hanya menegaskan pengaruh Mulyono memang masih kuat di pemerintahan Prabowo.
Dengan demikian, kita masih akan bertengkar sampai kita menyadari bahwa kita sengaja diadudomba biar pemerintah dengan komorbid ini bisa berjalan meskipun terseok-seok. Ketika kesadaran itu datang, semuanya sudah terlambat. Untuk pemerintahan Prabowo, kami menganjurkan untuk belajar dari sejarah kita sendiri bahwa ketidakmampuan pemimpin merespons dinamika sosial-politik yang sedang bekerja berdampak pada kejatuhan Soekarno, Soeharto, dan Gus Dur.
Tangsel, 9 Januari 2025