Didasari Praduga Tak Bersalah Megawati atau Hasto Dapat Melaporkan E. Simbolon ke Ranah Hukum
Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Diskursus politik yang dilakukan oleh seorang Presiden Jokowi, dengan menerapkan “metode politik sungsang” melalui pola sebagai kader atau Petugas Partai justru dari sisi logika politik, Jokowi mensuport seluruh kader partai PDIP melalui moral pressure (psikologis politik), terlebih disertai kalimat, “akan cawe-cawe” untuk memenangkan bakal calon presiden dan bakal calon wakil presiden pilihannya, saat menjelang pemilu pilpres 2024 yang justru bukan calon yang diusung partai dimana Jokowi menjadi salah seorang anggotanya, sehingga akrobatik pola politik Jokowi adalah bad leadership baik selaku presiden (pemimpin) dan selaku pribadi dari sisi moralitas, karena menjadikan Jokowi sebagai sosok yang bukan role model (bad behavior), karena lebih mengedepankan arogansi kekuasaan (abuse of politics and power) serta dilakukan tepat menjelang habis masa dua periode jabatannya. Selebihnya role model edukasi politik yang negatif bagi segenap bangsa ini. Dan langkah diskresi cawe-cawe politik Jokowi (selaku presiden) dipastikan sebagai bukti yang melanggar asas ketidakberpihakan yang terdapat pada asas-asas good government dan melanggar prinsip tatanan sistim hukum Jo. TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001. Tentang Etika Kehidupan Berbangsa.
Sehingga, penampilan diskursus politik Jokowi, dari sisi adab dan moral serta budaya bangsa identik “menginjak-injak harkat martabat Partai selain mengkhianati Ketum PDIP Megawati Soekarno Putri” dan mutatis mutandis berkhianat terhadap seluruh kader dan simpatisan (konstituen) yang loyal terhadap partai PDIP dan telah terbukti dari historis politik, nyata merupakan pengusung utama dirinya terpilih sebagai Presiden RI selama 2 periode.
Maka gejala-gejala dari beberapa eks kader PDIP yakni Effendi Simbolon dan Maruarar Sirait, yang tranparansi melakukan manufer politik dengan mempublish statemen ketidaksukaan terhadap para tokoh utama PDIP dengan alasan pribadi, bukan argumentatif hukum, adalah dampak negatif perilaku bad politics dari sosok Jokowi sebagai figur seorang pemimpin.
Walau Hasto selaku Sekjen PDIP dan Megawati selaku Ketum, nyata sah mengemban jabatannya merujuk AD/ ART Partai, dan tentunya dahulu (saat masih di PDIP) kedua tokoh Efendi dan Maruarar dapat diklaim diantaranya kader (pengurus) yang turut serta menyepakati susunan kepengurusan DPP-PDIP.
Namun kenapa setelah di luar partai malah ingin mengotak atik keabsahan jabatan dari Megawati dengan didasari Hasto menyandang status Tersangka/ TSK oleh KPK, tentu benang merah politik ada misi tertentu, misi merusak partai, baik langsung maupun tidak langsung.
Dan publik tengarai ada faktor kekesalan, apakah penyebabnya, “misi penerapan teori politik awal Moeldoko” demi merebut sebuah partai MENJADI GAGAL?
Lalu, nampak transparan wujud gerakan manifesto politik kedua eks kader dimaksud (Efendi dan Maruarar) menggunakan pola hilir status hukum yang disandang Hasto, lalu muara hukumnya sama-sama kepada pucuk pimpinan tertinggi partai yaitu Megawati, dan manufer kedua eks kader bak gayung bersambut dengan gejala-gejala yang kentara
1. Statemen Maruarar Sirait, yang mempublikasi siap memberikan reward 8 milyar bagi warga masyarakat yang dapat “menangkap” Harun masiku, sebagai sarkastik (majas kejam) spesial untuk Sang Sekjen PDIP yang berstatus TSK?
2. Manufer politik Efendi Simbolon, yang mempublis sarannya, “agar Megawati mundur dari jabatan Ketumnya, karena Hasto ditetapkan jadi tersangka”. Dan keduanya diyakini lari dari PDIP dan atau “berkhianat demi semata agar lebih dekat” kepada sosok yang juga eks pecatan PDIP. Jokowi.
Terhadap semua gejala gejala-gejala politik yang menerpa PDIP dengan status hukum TSK nya Hasto, tentunya harus diantisipasi oleh seluruh kader, baik secara politik maupun dengan langkah hukum yang berkepastian, semata demi mengantisipasi terhadap intrik-intrik politik dari para individu eks kader yang menunjukkan gejala-gejala perkembangan diskursus politik yang tidak sehat, dengan wujud “paket politik” karna disertai intrik-intrik untuk berusaha “membuang” Megawati (Ketum) dan mencampakkan Hasto selaku Sekjen.
Dan analisa pure hukum, terhadap posisi Effendi selaku “penyerang” kedua tokoh PDIP maka Efendi patut diduga melanggar presumption of innocence atau asas praduga tak bersalah,
Pendapat penutup, berdasarkan perspektif hukum, Megawati dan atau siapapun kader PDIP yang memiliki kejelasan identitas selaku anggota partai, dapat melaporkan Efendi, karena ucapan aksi Efendi sebagai sosok jati diri yang tidak dapat dijustifikasi baik secara moralitas dan hukum karena Efendi bukan sebagai kader partai PDIP. namun dirinya telah sengaja melakukan intervensi hukum dengan kriteria hate speech merujuk unsur-unsur pada Pasal 28 UU. ITE Jo. Pasal 156 KUHP.