Microculture Konoha: Wanita yang Memasang Bulu Mata di atas Kereta Api
By Buni Yani
Praktik memasang bulu mata di tempat umum adalah microculture yang merupakan serpihan kecil dari macroculture kita sebagai bangsa.
Sebagai pengguna alat transportasi umum, saya, dan juga mungkin banyak orang, sering menemukan pemandangan yang unik dan aneh di atas bus, angkot atau kereta api. Pemandangan yang seharusnya tidak ditemukan dan tidak terjadi di tempat umum, karena hal ini seharusnya terjadi di tempat pribadi yang orang lain tidak perlu tahu.
Betul, orang lain sangat tidak perlu tahu dan tidak perlu melihatnya. Kalaupun orang lain dipaksa menyaksikannya karena berlangsung di tempat umum, maka orang menjadi kikuk dan ada yang bahkan sampai salah tingkah. Bukan pelakunya yang salah tingkah, tetapi orang yang menyaksikan.
Orang yang menyaksikan tidak bisa menegur karena pelaku tidak melanggar aturan mana pun. Ini soal layak dan tidak layak saja, sebuah pemahaman etiket di tempat umum sehingga khalayak nyaman berada di sana. Tempat umum adalah milik kita bersama, tempat kita melakukan kegiatan yang perlu dijaga kelayakan dan kenyamanannya.
Tetapi sebelum sampai soal ini, terlebih dahulu saya akan menceritakan tentang kasus yang jelas langsung bisa diberi teguran.
Suatu hari yang belum terlalu lama, saya naik kereta api jurusan Bogor-Kota untuk melakukan kegiatan. Di depan saya berdiri adalah tempat duduk khusus untuk penumpang prioritas ibu hamil, penyandang disabilitas dan orang sepuh. Di sana duduk mulai dari kiri, seorang nenek yang sudah lumayan berumur, lalu dua anak kecil, dan terakhir paling kanan seorang ibu yang tidak terlalu tua.
Ibu yang lumayan muda berdiri di samping saya kelihatannya ibu dari dua anak kecil itu. Sementara ibu yang duduk di paling kiri mungkin neneknya. Untuk menenangkan dua anak kecil yang masih sangat aktif itu, si ibu menyetelkan video kartun di hp yang suaranya sangat kencang. Hp dia sandarkan berdiri secara horizontal di jendela kereta api sehingga dua anak itu bisa leluasa menonton. Orang-orang di sekitar mau tak mau mendengar suara kencang dari hp.
Tetapi, penumpang di sekitar, termasuk saya, berusaha memahami pemandangan ini. Meskipun suara film kartun dari hp amat mengganggu, tidak ada yang berusaha menegur keluarga ini. Kadang kita memang harus memasang empati lebih dan berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Mungkin tanpa film kartun di hp, kedua anak kecil akan susah dikendalikan akibat tidak punya perhatian atau konsentrasi. Tentu para orang tua paham masalah ini sehingga memiliki empati berlebih.
Setelah sekian lama dua anak aktif itu tidak bisa diam sambil menonton kartun, salah seorang di antara mereka, yang tubuhnya lebih besar, tiba-tiba merengek minta buang air kecil. Si nenek dengan enteng mengeluarkan botol minuman yang sudah kosong dari dalam tas dan minta si kecil untuk jongkok kencing di depan dia. Saya spontan langsung bilang ke si nenek dan si ibu bahwa sebaiknya mereka turun dan mencari kamar kencil. Tidak boleh pipis di atas kereta api.
Seandainya saya tidak menegur keluarga ini, si anak kecil pasti sudah kencing. Tentu ini pemandangan yang sangat tidak mengenakkan, hal yang hanya bisa dilakukan oleh mereka yang tidak punya pemahaman mengenai kenyamanan bersama. Saya katakan ke si nenek yang tidak terima saya tegur bahwa “ibu harus menghormati penumpang lain, harus menjaga tempat umum karena kereta api adalah milik kita bersama”.
Pelan-pelan muka si nenek mulai berubah dan terdiam. Dia tidak lagi mencoba membantah teguran saya.
Saya merasa harus menegur saudara kita ini paling tidak karena dua alasan. Pertama, karena alasan tadi yaitu tempat umum harus dijaga bersama. Ya kalau air kencing semuanya masuk botol, bagaimana kalau tumpah ke atas lantai kereta api? Pasti akan membuat bau pesing yang menimbulkan ketidaknyamanan. Belum lagi bila air kencing yang mengandung najis tersenggol oleh penumpang lain, maka sudah pasti pakaian mereka tidak bisa dipakai shalat.
Kedua, penumpang seharusnya tidak melihat, maaf, kemaluan di tempat umum meskipun itu kemaluan anak kecil. Untuk hal ini, kita harus menjaga adab dan sopan santun bersama di tempat umum. Pelaku seharusnya paham etika dasar hidup bermasyarakat, tidak bisa berbuat semaunya tanpa mempertimbangkan kenyamanan orang lain.
Paling tidak saya sudah memberikan nasihat dan mencegah sesuatu yang seharusnya tidak perlu terjadi.
Pemandangan seperti ini atau kurang lebih sama merupakan pemandangan sehari-hari di daerah Jabodetabek bila kita berada di tempat umum.
Pemandangan yang hampir tidak ada orang yang mempedulikannya. Orang tidak peduli karena malas ribut atau ya sudahlah biarin saja asal tidak mengganggu hidup gue. Sebuah prinsip apatis, menyerah dan oportunis. Yang penting tidak merugikan diri saya! Begitulah kira-kira.
Di tempat umum kita akan sering bertemu orang yang menelepon dengan suara kencang, menyerobot antrean, membuang sampah sembarangan, meludah sembarangan, menaruh tas atau barang lainnya di atas bangku umum yang merupakan hak orang lain, dan hal-hal yang merugikan atau setidaknya mengganggu.
Bila hal-hal ini terjadi, kita bisa langsung tegur kalau kita cukup berani dan peduli mengenai tempat umum dan hak-hak orang lain. Namun ada juga pemandangan yang susah untuk kita intervensi dan komentari karena sama-sekali tidak mengganggu orang lain. Hanya tidak layak saja karena itu merupakan wilayah pribadi yang dipertontonkan di tempat umum.
Hal yang terakhir ini di antaranya adalah bila kita melihat seseorang yang berdandan berlebihan di tempat umum yang membuat orang yang berada di tempat itu jadi salah tingkah, pasangan yang memamerkan kemesraan di tempat umum tanpa sedikit pun mempedulikan orang sekitar, dan orang yang memperhatikan seseorang terus-menerus yang membuat orang yang diperhatikan tidak nyaman dan terganggu.
Hal-hal terakhir ini tentu saja sangat susah bisa dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu orang lain karena memang tidak secara langsung punya akibat atau dampak nyata. Namun di sinilah soalnya. Karena persoalan etika bukanlah persoalan sesuatu yang berdampak secara sosial langsung, namun lebih merupakan soal patut dan tidak patutnya sesuatu dilakukan, yang menunjukkan suatu masyarakat mempunyai budaya dan peradaban yang tinggi atau tidak.
Suatu hari, juga di atas kereta api, tepat di hadapan saya, seorang wanita berumur 30-an tahun tanpa memperhatikan orang di sekelilingnya asyik memasang bulu mata dengan cermin kecil di tangan kiri dan bulu mata di tangan kanan. Sehabis memasang bulu mata, dia mengambil bedak, gincu, dan alat-alat kecantikan lainnya. Dia berdandan seolah berada di kamar pribadi.
Mari kita berbaik sangka atas apa yang saya saksikan. Mungkin dia seorang karyawan sebuah perusahaan yang diwajibkan tampil dengan make-up penuh karena harus bertemu dengan pelanggan. Dan mungkin juga, hari itu, dia bangun terlambat sehingga harus bergegas ke stasiun kereta api dan tidak sempat berdandan di rumah.
Orang di atas gerbong kereta api hanya bisa menebak atas pemandangan yang mereka saksikan. Namun karena pemandangan yang kurang lebih sama hampir bisa kita temukan setiap saat, maka sangat susah juga kita katakan ini sebagai kejadian random yang tidak memiliki dasar sosial-budaya.
Karena kejadian sejenis sering kita temukan, kita bisa katakan bahwa rata-rata pelakunya, atau bisa juga “kita” sebagai anggota masyarakat, memang tidak paham mana yang patut kita pertontonkan di tempat umum dan mana yang tidak.
Seorang ahli etika dan pengembangan kepribadian yang sangat terkenal di kalangan sosialita pada tahun 1990-an mengatakan bahwa seorang wanita sebaiknya tidak berdandan di tempat umum karena bisa mengganggu dan menjadi tontonan orang di sekitarnya. Memoles dan memantaskan diri agar tampil layak adalah dapur kita sendiri yang tidak perlu diketahui oleh orang lain. Atas dasar prinsip inilah maka bila ada orang yang mempertontonkan rahasia dapurnya maka akan kelihatan aneh, mengganggu, dan jadi tontonan.
Karena seringnya kejadian seperti ini bisa kita temukan, kita bisa katakan ini bukanlah kejadian yang bersifat insidental. Namun ini adalah cerminan sosial kita yang merupakan refleksi dari isi pikiran bawah sadar kita. Dengan kata lain, ini adalah wajah budaya dan peradaban kita sebagai bangsa yang tercermin dalam perilaku dan praktik budaya sehari-hari.
Praktik memasang bulu mata di tempat umum adalah microculture yang merupakan serpihan kecil dari macroculture kita sebagai bangsa. Budaya dan tindakan sosial dimulai dari hal-hal kecil yang kemudian membentuk kebiasaan besar suatu masyarakat dan bangsa. Bila sebuah bangsa memiliki “budaya kecil” yang baik, kemungkinan besar “budaya besar”-nya juga akan baik. Atau bisa juga sebaliknya. Bila sebuah bangsa mempunyai “budaya besar” yang baik, kemungkinan “budaya kecil”-nya juga akan terimbas menjadi baik.
“Budaya kecil” kita mengenai etika di tempat umum mengkonfirmasi bahwa kita tidak mempunyai budaya dan keadaban publik yang berorientasi pada kepentingan masyarakat luas. Bagaimana “budaya kecil” bisa tumbuh dan dijiwai oleh masyarakat bila “budaya besar” dalam bentuk hukum yang punya sanksi sudah lama dimatikan oleh para pejabat untuk menghindari hukuman?
Bila hukum dilanggar dan dianggap tidak penting, maka etika otomatis juga mengikuti. Itu sebabnya budaya mundur dari jabatan tidak akan pernah terjadi di negeri ini. Budaya mundur itu wilayahnya etika, lebih tinggi dari hukum bila dilihat dari kaca mata moral. Tidak mungkin orang akan punya moral bila hukum saja tidak dia hormati dan taati.
Dosen melakukan plagiasi dianggap wajar, bahkan kelak dia bisa memegang jabatan di kampusnya, atau mungkin bisa juga menjadi pejabat publik setingkat menteri. Kenyataan ini sungguh menyayat hati karena kampus yang seharusnya menjadi penjaga moral dengan standar tinggi kini memasukkan diri ke dalam lumpur kehinaan.
Belum lagi kasus ijazah palsu bahkan yang dilakukan oleh pejabat dengan posisi paling tinggi yang belum ada titik terangnya hingga kini. Bagaimana mungkin seorang pejabat tertinggi bisa memalsukan ijazah untuk jabatan publik? Bila ijazah sebagai tanda paling dasar kejujuran tanda pernah sekolah dipalsukan, apa lagi hal-hal lain?
Kelak, bila hal-hal besar menyangkut hukum menjadi budaya yang dihormati lalu etika menjadi standar pergaulan sehari-hari, mungkin adegan orang memasang bulu mata di tempat umum tidak lagi kita temukan mengganggu pemandangan. Tidak akan kita temukan lagi orang menyerobot antrean, mengambil hak duduk orang lain, dan berbicara keras di tempat umum.
Budaya bersama di tempat umum adalah cerminan kita sebagai bangsa. Tidak mungkin pejabatnya jadi penjahat dan melanggar hukum tetapi rakyatnya baik dan taat hukum semua. Tidak mungkin. Apa lagi di masyarakat yang patriarkis yang cenderung meniru tindak-tanduk orang yang punya jabatan. Rakyat banyak cenderung meniru apa yang dilakukan oleh para pejabat yang dijadikan panutan dan standar moral.
Microculture mempengaruhi macroculture, begitu juga sebaliknya. Selalu ada dinamika saling mempengaruhi antara tatanan kecil dan tatanan besar.