Pagar Laut Tangerang: Pagar Laut ‘Misterius’ Sepanjang 30 Kilometer, Apakah Lelanjutan Proyek Reklamasi di Jakarta?

JAKARTASATU.COM Pemerintah Indonesia menyegel barisan bambu tak bertuan sepanjang lebih dari 30 kilometer di perairan Tangerang, Banten. Apa fungsi pagar laut misterius itu dan apa dampaknya bagi lingkungan serta masyarakat sekitar?

Hingga kini belum ada pihak yang mengeklaim memiliki dan membangun barisan bambu dengan tinggi sekitar enam meter dan sepanjang 30,16 kilometer tersebut.

Otoritas Banten dan pemerintah pusat mengaku tak mengeluarkan izin atas pemagaran laut itu, seraya mengeklaim tak tahu siapa pemilik pagar bambu tersebut.

Kementerian Kelautan dan Perikanan akhirnya menyegel pagar laut itu, Kamis (09/01) karena pemagaran tersebut diduga tidak memiliki izin dasar Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

“Kalau tidak ada izin KKPRL, tidak boleh dilakukan, itu namanya pelanggaran,” kata Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono di Karawang, Kamis (09/01).

Keberadaan pagar laut itu telah dilaporkan oleh masyarakat setempat sejak Agustus 2024 silam ke Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten.

Investigasi telah dilakukan namun aktivitas tanpa izin itu terus berlangsung. Semula pagar itu hanya berdiri sepanjang 7 km, namun kini telah mencapai lebih dari 30 km.

Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Nasional, Dwi Sawung, menduga pagar laut yang menyerupai labirin itu adalah kelanjutan dari reklamasi Jakarta yang masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).

Ombudsman pun turun tangan dengan melakukan investigasi, untuk menelusuri dugaan adanya maladministrasi dalam pembangunan pagar laut itu.

Berikut sejumlah fakta penemuan pagar bambu yang ‘tak bertuan’ di laut Tangerang itu.

‘Saya dengar itu proyek pemerintah, jadi kita semua ini cuma bisa diam’

Dari pinggir pantai di Desa Karang Serang, Kecamatan Sukadiri, Kabupaten Tangerang, dapat terlihat jelas barisan bambu yang tersusun rapi di tengah laut.

Bambu setinggi kira-kira enam meter itu berdiri tegak satu dengan lainnya, seakan tidak tergoyahkan ketika dihempas ombak.

Kemunculan pagar laut itu membuat resah beberapa warga pesisir di desa tersebut.

Salah satu adalah Alia, 18 tahun, yang membuka usaha warung kopi untuk wisatawan di pinggir pantai.

Alia bercerita dia mendapatkan informasi bahwa pagar laut itu “menandakan bibir pantai hingga hampir ke tengah laut akan ditimbun dengan tanah”.

Jika itu terjadi, Alia mengeluh bahwa warung kopinya akan sepi dari pembeli.

“Walau tempat saya kerja enggak kena gusur, tapi kan jadi sepi pembelinya,” kata Alia kepada wartawan Erik S yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, Rabu, (08/01).

“Karena kalau udah diuruk, pembeli yang datang untuk melihat pantai juga akan pergi,” ujarnya saat ditemui di kawasan Edu Wisata Karang Serang.

Alia mengatakan akan ada puluhan usaha yang mati jika proyek itu terjadi.

“Saya berharapnya tidak ada pembangunan, seperti sebelumnya saja. Biar kami di sini juga dapat rezeki,” ungkapnya.

Alia mengingat pembangunan pagar bambu itu telah berlangsung sejak enam bulan terakhir.

Bahkan, Alia menambahkan, penancapan pagar bambu itu tidak diinformasikan ke warga sekitar.

“Enggak ada kabar pemasangannya. Yang saya dengar itu proyek pemerintah, jadi kita semua ini cuma bisa diam,” ucap dia.

Di lokasi yang tak jauh dari warung Alia, seorang nelayan dari Desa Karang Serang, Trisno, 45 tahun, menuturkan bahwa pemasangan pagar bambu itu dilakukan oleh beberapa orang dengan menggunakan kapal berukuran kecil.

“Seperti kapal kecil, untuk pemasangan bambunya pakai manual, orang-orang di kapal yang menancap,” kata Trisno.

Pemasangan pagar bambu itu, kata Trisno, dilakukan saat pagi hari.

“Kalau lihat kapalnya itu dari Tanjung Kait. Patroli laut juga enggak kelihatan saat pemasangan.”

“Kita pun takut kalau kena pagar itu, nanti kita diminta ganti, makanya kita selalu hati-hati banget lewat di sana,” jelasnya.

Apa dampak pagar laut bagi warga sekitar?

Trisno menjelaskan, pagar laut dari bambu itu mengharuskannya memutar jauh saat mencari ikan di tengah laut.

Selain itu, pagar itu juga menyebabkan nelayan di Kampung Bahari Karang kini sulit mendapat ikan kecil di pinggir laut.

“Jadi saat angin kencang kita takut ke tengah laut karena ombak besar, jadi kita mencarinya ke pinggiran dulu.

“Tapi sekarang enggak bisa karena ada pagar itu. Lewatnya saja susah, jadi kita untuk menebar jaring enggak bisa,” tuturnya.

Trisno mengatakan, pagar laut itu menyebabkan pemasukannya turun. Selain itu, dirinya pun perlu menyiapkan bahan bakar lebih agar bisa melewati pagar yang membentang jauh itu.

“Contohnya jika biasa isi solar lima liter, sekarang harus dilebihkan dua liter,” katanya.

Dia pun berharap, jika pagar bambu tersebut segera dicabut.

“Kita enggak tahu pemerintah mau bikin apa itu [pagar laut]. Harapannya enggak ada kayak itu lagi [pagar laut], biar kita cari makannya seperti biasa lagi.”

“Tapi kalau pemerintah mau bikin apa, ya bagaimana terserah saja. Orang kecil seperti kita enggak bisa apa-apa,” ungkapnya.

Anggota Ombudsman, Hery Susanto, mengeklaim pagar bambu yang dipasang tanpa izin itu telah menghambat aktivitas masyarakat nelayan di sekitarnya dalam mencari nafkah.

Johan menegaskan, jika pagar didirikan tanpa izin atau tanpa memperhatikan dampak ekologis dan sosial, maka tindakan ini berpotensi melanggar hukum dan pelakunya dapat dikenai sanksi administratif hingga pidana.

Bagaimana rupa pagar laut itu?

Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, Eli Susiyanti, bercerita bahwa pagar laut itu menggunakan bambu setinggi rata-rata enam meter.
Eli mengatakan pagar laut itu membentang di 16 desa, dalam enam kecamatan di perairan Kabupaten Tangerang, mulai dari Desa Muncung hingga Desa Pakuhaji.

Di wilayah itu, tambah Eli, terdapat sekitar 3.888 nelayan dan ada 502 pembudidaya yang menggantungkan hidup mereka pada laut.

Zona vital itu antara lain pelabuhan laut, perikanan tangkap, pariwisata, pelabuhan perikanan, pengelolaan energi, perikanan budi daya.

Area perairan dengan pagar laut itu juga juga beririsan dengan rencana waduk lepas pantai yang diinisiasi oleh Bappenas.

Hasilnya, ditemukan bahwa pagar itu disusun berlapis, menyerupai labirin.

Ditambah, ada pintu yang dapat dimasuki perahu di setiap 400 meter pagar itu berdiri.

Siapa yang memasang pagar laut itu?

Eli dari DKP Banten bercerita, pihaknya awalnya mendapatkan laporan masyarakat terkait pembangunan pagar itu pada 14 Agustus lalu.

Lima hari kemudian, tim DKP Banten lalu meninjau lokasi dan menemukan panjang pagar masih sekitar 7 kilometer.

Kemudian, kata Eli, total ada empat kali investigasi atas pagar laut itu yang dilakukan DKP Banten bersama instansi terkait.

Hasilnya bahwa tidak ada izin dari camat maupun kepala desa atas pemagaran itu.
Dari temuan terakhir, pagar laut itu pun semakin panjang, hingga kini mencapai sekitar 30 kilometer.

Sementara itu, menurut penelusuran Ombudsman wilayah Banten, pagar itu dipasang oleh warga dengan imbalan sekitar Rp100.000 per orang.

“Mereka sampaikan masyarakat malam-malam disuruh pasang dikasih uang Rp100.000 per orang. Cuma itu yang memerintahkan siapa, kita belum sampai situ,” lanjutnya

Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pun belum bisa memastikan siapa pemilik pagar itu.

Selain itu, Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) juga tak mengetahui pagar laut itu.

Namun, Manajer Kampanye Tata ruang dan Infrastruktur Walhi Nasional, Dwi Sawung, merasa aneh jika otoritas negara tidak mengetahui aktivitas dan pihak yang bertanggung jawab atas pembangunan itu.

“Sudah jelas sih sebenarnya [pihak yang bertaunggung jawab]. Cuma mereka lagi ngeles saja, pura-pura tidak tahu. Itu yang disuruh pasang pagar kan subkontraktor, tapi kan ada bohirnya,” katanya kepada BBC News Indonesia.
Ditambah lagi, kata Sawung, di sepanjang lokasi pagar laut itu terdapat pos-pos penting milik negara.
“Di sana ada pos-pos aparat keamanan, pertahanan ibu kota, hingga pelelangan ikan.”
“Masa sih pemerintah tidak tahu pemasangan itu dan siapa pemiliknya? Menurut saya, mereka itu sedang pura-pura tidak tahu dan tidak melihat,” kata Sawung.

‘Tak berizin hingga dugaan punya SHM’

Walaupun hingga kini belum jelas siapa aktor di balik pemasangan pagar laut itu, Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP, Suharyanto, menyatakan bahwa aktivitas pemagaran itu tidak mempunyai izin.

Suharyanto merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Penataan Ruang.

Sementara Ketua Umum Himpunan Ahli Pengelolaan Pesisir Indonesia (HAPPI) Rasman Manafi menjelaskan bahwa penggunaan ruang laut di atas 30 hari, seperti pemasangan pagar laut, wajib membutuhkan sejumlah persyaratan.

Keterangan gambar, Penampakan pagar laut di pesisir Kabupaten Tangerang sepanjang 30,16 kilometer.
Salah satunya, izin Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (KKPRL).

Ombudsman Banten kini tengah melakukan investigasi atas prakasa sendiri (IAPS) dengan memanggil pihak-pihak terkait untuk menelusuri dugaan pelanggaran maladministrasi dalam pembangunan pagar laut itu.

Salah satu hal yang akan ditelusuri, kata anggota Ombudsman, Hery Susanto, adalah informasi bahwa sebagian wilayah perairan yang dipagari itu ternyata telah memiliki surat hak milik (SHM).

Hery mengatakan, wilayah perairan memang bisa memiliki sertifikat SHM, namun harus melewati proses KKP untuk mengeluarkan izin KKPRL.

“Lalu dilakukan kajian analisis dampak lingkungan [amdal], kemudian ke ATR/BPN untuk dikeluarkan SHM. Itu tahapannya,” kata Hery.
“Tapi informasi yang saya terima dari Ombudsman Banten, ternyata belum dilakukan tahapan itu, langsung pada pemagaran. Berarti kan ilegal,” kata Hery.
Selain itu, Hary menyebut aksi pemagaran laut di Banten menunjukkan karut-marutnya penataan regulasi di Indonesia dalam kasus penataan ruang laut.

“Yang terjadi di Banten adalah fenomena gunung es.”

“Kami ingin peristiwa di Banten ini bisa menjadi entry point untuk menertibkan penanganan kasus-kasus serupa di tanah air, di daerah lain, khususnya terkait dengan proses yang berkaitan dengan reklamasi,” katanya.

Apa fungsi pagar laut dan apakah ini kelanjutan proyek reklamasi di Jakarta?

Kusdiantoro mengatakan hak itu akan menjadikan mereka berkuasa penuh dalam memanfaatkan, menutup akses publik, privatisasi, merusak keanekaragaman hayati, dan perubahan fungsi ruang laut.

Lebih tegas, Dwi Sawung dari Walhi melihat pemagaran laut itu merupakan perpanjangan dari proyek reklamasi di Jakarta.

“Jelas banget pagar laut ini untuk reklamasi. Pagar itu semacam tanda wilayah yang akan ditimbun,” kata Sawung.

“Kalau dilihat di peta rencana reklamasi dari ujung Teluk Jakarta ke arah barat maka mirip banget dengan peta rencana reklamasi yang dibuat oleh pengembang di Jakarta,” ujarnya kemudian.

Masifnya pengerjaan pagar laut di Tangerang itu, klaim Sawung, karena masuk dalam proyek strategis nasional (PSN).

“PSN itu seperti karpet merah. Ketika masuk PSN maka semuanya boleh dilakukan, dan bisa menerobos segala macam aturan.

“Untuk itu status PSN ini harus dicabut dan dievaluasi. Masa proyek swasta bisa dapat perlakukan PSN, itu kan privat, bukan untuk publik,” katanya.

Namun, Direktur Perencanaan Ruang Laut KKP Suharyanto mengatakan pihaknya hingga saat ini belum menerima pengajuan izin tentang kegiatan reklamasi di wilayah perairan itu.

“Tidak hanya soal pemagarannya, tapi kita bicara ke depan pemagarannya untuk apa? Kalau ngomongin itu untuk batas reklamasi, ya saya bilang tunggu dulu,” jelas Suharyanto.

“Karena di dalam proses perizinan ruang laut, harus ada persyaratan ekologi yang harus ketat dipenuhi, termasuk ada ahli oseanografi yang tahu itu bahaya tidak.”

Senada, Kepala Perwakilan Ombudsman Provinsi Banten, Fadli Afriadi juga menyoroti kurang transparansi PSN di wilayah pagar laut itu.

“Pemerintah harus transparan dan memberikan penjelasan kepada publik mengenai PSN.”

“Utamanya terkait luasan, lokasi, peruntukan, dan proses pelibatan masyarakat yang bermakna, dalam arti yang langsung terdampak,” ujar Fadli. (Yoss)

Sumber :BBCIndonesia