Gambar seekdar Ilustrasi pemanis | WAW AI

Sukseskan Program Makan Bergizi Gratis, Jangan Sampai Ada Ironi

Oleh WA Wicaksono, Storyteller
Tepat seiring dengan pelaksanaan hari pertama masuk sekolah (6/1)usai para siswa menikmati libur semester gasal, program unggulan pemerintah, Makan Bergizi Gratis (MBG) mulai dijalankan cara serentak di beberapa Provinsi Indonesia. Dus keseruan pelaksanaan program ini pun segera mewarnai semua pemberitaan media massa dan konten-konten sosial media masyarakat.
Tentu saja sebagai program yang bertujuan mulia bagi masa depan bangsa, semua masyarakat wajib mendukungnya. Tak perlu nyinyir yang tidak berguna, toh jika benar-benar bisa berjalan dengan baik, yang diuntungkan adalah anak-anak penerus masa depan bangsa ini.
Sayangnya, ketika para pejabat negeri ini tengah sibuk mendiseminasikan program MBG tersebut, sebuah tragedi kecil namun memilukan mencuat dari Medan, Sumatera Utara. Mendadak berita mengenai seorang siswa sekolah dasar berusia 10 tahun dengan inisial MI, yang dipaksa duduk di lantai kelas dalam mengikuti pelajaran selama beberapa hari, hanya karena orang tuanya belum mampu melunasi uang SPP dipublikasikan media-media. Bahkan dari postingan di sosial media, kisah ini pun menjadi lebih viral, menggugah banyak pihak, dan menampar keras wajah sistem pendidikan kita.
Di tengah euphoria program MBG, yang dirancang untuk memastikan anak-anak mendapatkan asupan nutrisi terbaik, digadang-gadang sebagai langkah besar menuju generasi emas. Mendadak memunculkan ironi, apa artinya makanan bergizi jika anak-anak seperti MI dipermalukan di depan teman-temannya, kehilangan martabat hanya karena kemiskinan? Makan kenyang di satu sisi, tetapi dihancurkan harga dirinya di sisi lain. Ini bukan kemajuan; ini ironi.
Kamelia, ibu dari MI, dengan lantang menyuarakan ketidakadilan ini. Baginya, hukuman itu lebih dari sekadar tindakan disiplin – itu adalah bentuk penghakiman terhadap kondisi ekonomi keluarganya. Bagaimana seorang anak bisa belajar dengan tenang jika setiap tatapan teman sekelas mengingatkannya pada ketidakmampuan keluarganya?
Ayah MI bekerja keras sebagai buruh serabutan, sementara ibunya mengais rezeki sebagai penjual makanan kecil. Mereka bukan malas; mereka terjebak dalam sistem yang mengutamakan statistik dan laporan manis ketimbang keadilan sejati. Mereka mencintai anaknya, sama seperti orang tua lainnya, namun sering kali cinta saja tidak cukup di hadapan aturan yang buta terhadap kemanusiaan.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Nelson Mandela, “Pendidikan adalah senjata paling ampuh yang bisa kita gunakan untuk mengubah dunia.” Tapi, bagaimana senjata ini bisa digunakan jika akses terhadapnya ditentukan oleh kemampuan membayar? Pendidikan yang seharusnya menjadi hak, berubah menjadi barang mewah yang sulit dijangkau oleh mereka yang membutuhkan.
Program-program seperti MBG seharusnya tidak hanya menjadi proyek pencitraan, tetapi juga mencerminkan kesadaran terhadap akar masalah. Nutrisi memang penting, tetapi pendidikan yang adil jauh lebih mendesak. Anak-anak seperti MI tidak butuh belas kasihan; mereka butuh sistem yang mengerti bahwa kemiskinan bukanlah dosa.
Pemerintah dan masyarakat harus bercermin. Setiap kotak nasi bergizi yang dibagikan harus diiringi dengan komitmen untuk memastikan tidak ada anak yang dipermalukan karena keadaan keluarganya. Seperti kata Mahatma Gandhi, “Kemiskinan adalah bentuk kekerasan paling kejam.” Dan kekerasan itu harus dihentikan, mulai dari ruang-ruang kelas yang seharusnya menjadi tempat lahirnya mimpi, bukan luka.
Kisah MI bukan hanya berita. Ia adalah cermin dari sistem yang perlu diperbaiki. Jika kita terus membiarkan anak-anak seperti MI dihukum atas kemiskinan yang bukan kesalahan mereka, maka apa arti dari semua janji pembangunan dan keadilan sosial yang sering digaungkan?
Yang lebih mengejutkan, kepala sekolah menyalahkan wali kelas atas insiden ini, seolah masalah selesai dengan menunjuk satu kambing hitam. Padahal, kasus seperti ini tidak bisa diselesaikan dengan mencari korban tunggal. Ini adalah tanggung jawab renteng yang melibatkan semua pihak: guru, wali kelas, kepala sekolah, dinas pendidikan, bahkan pemerintah daerah dan pusat. Mereka semua harus bertanggung jawab atas tragedi ini.
Pengawasan pemerintah harus lebih dari sekadar formalitas. Kita tidak bisa terus hidup dalam pola “no viral, no justice; no viral, no attention.” Apakah keadilan hanya datang jika kasus seperti ini menjadi sorotan publik? Seharusnya tidak. Pemerintah, yang mengaku berkomitmen pada pendidikan dan kesejahteraan rakyat, harus memastikan sistem berjalan tanpa perlu tekanan dari media atau masyarakat.
Seperti yang pernah dikatakan oleh Martin Luther King Jr., “Ketidakadilan di mana pun adalah ancaman bagi keadilan di mana pun.” Ketidakadilan yang dialami MI adalah hasil dari sistem yang gagal melindungi yang paling lemah. Jika kita membiarkan kasus ini berlalu tanpa tindakan nyata, maka kita semua turut bersalah atas keruntuhan keadilan sosial.
Kita butuh perubahan yang sistematis. Setiap anak berhak mendapatkan pendidikan tanpa rasa takut atau malu. Program-program pemerintah harus disertai dengan pengawasan ketat, bukan hanya laporan yang indah di atas kertas. Sebab, jika satu anak terpaksa duduk di lantai karena miskin, maka seluruh bangsa telah gagal memberikan keadilan yang sesungguhnya. Tabik.