Momentum
Oleh Taufan S Chandranegara, praktisi seni, penulis
Memohon ampunan-Mu dalam jiwa, ketika manusia dihadapkan pada kesadaran transendental menabrak kepala. Ada banyak hal tertulis maupun tidak tertulis segala hal keburukan maupun kebaikan. Manusia bisa apa, ketika Tuhan Yang Maha Esa, berkehendak membuktikan, membuka jendela kebohongan, membuka pintu kebenaran palsu. Laiknya wafat tanpa busana, hanya di kafankan lantas di kuburkan berbantal tanah. Ya Ilahi… Aku bersujud.
Barangkali hal ikhwal kesadaran sublim menyusul kemudian setelah penyesalan. Apa sesungguhnya kehendak manusia, mencapai kesadaran senantiasa terlambat. Apakah hal itu habitat dari sifat dasar manusia ataukah dengan sadar menunda kesadaran sakral, seharusnya telah tiba lebih awal.
Namun tampaknya terlupakan atau mungkin saja memang kesadaran sublim terlambat hadir atau datang lebih awal namun lupa menulis absensi; bahwa kehadiran kesadaran transendental tak harus menghadirkan perang nuklir atas kehendak arogansi manusia. Lupa bahwa senjata canggih sehebat apapun tak berguna, ketika amuk api membakar kota secara kehendak alami.
Kesadaran hidup kebaikan di antara kehidupan manusia senantiasa diuji waktu. Sempatkah rudal jelajah ditembakan ketika bencana hadir akibat perbuatan ataupun perilaku anonim manusia. Ketika api melahap satu kota. Sublimasi menyapa mungkin saja tak selalu perang nuklir mampu meluluhlantakkan. Bisa semirip tegur sapa mengingatkan pentingnya menjaga perdamaian dunia. Tak sekadar diplomasi basa-basi, akhirnya runtuh kepelimbahan jua.
Manusia makhluk terbatas; pada sebatas pengetahuannya. Manusia sesungguhnya tak memiliki kekuatan untuk mengetahui sebelum kejadian, sebuah peristiwa apapun itu. Namun tak semudah ramal meramal. Peliknya tatanan tata surya, barangkali serupa itu rumitnya rancangan penciptaan di isi kepala sains buatan manusia. Lantas menjadi sejarah beragam pola sejak masa prasejarah hingga perilaku multi-kompleks kehidupan sains kemodernan.
Adu adidaya, adu kuat kecanggihan teknologi perang. Lantas angin serupa badai menerjang hebat memantik setitik bara menjadi panas nyala api gigantik. Luluh lantak kekuatan kecanggihan automatisasi modernisme. Gagap, gegap gempita ketika amuk api mengalahkan perang setara nuklir. Teknologi peredam api linglung. Ketika Tuhan Yang Maha Esa, berkehendak di luar sangka nalar manusia. Lantas manusia bisa apa.
Penyesalan senantiasa datang terlambat. Barangkali bagian dari perjalanan sejarah panjang budaya perilaku manusia. Ketika kuasa usaha pengelolaan sebuah kegiatan negara menuju nation building, di antara sekian banyak cita-cita sang manusia. Namun ketika bencana atas kehendak kekuatan alam dipicu oleh perbuatan manusia, bersamaan dengan itu pula sebuah peristiwa tragis, mungkin saja tak mampu diatasi oleh manusia secepat badai kehendak alam memicu bencana.
Pada esensinya manusia makhluk lemah. Siapapun dimanapun selingkar bola dunia. Itu sebabnya pula berdamailah dengan nurani bening di hati; peace aja deh.
Barangkali perbedaan tak perlu memicu konflik menuju kehancuran. Lantas pertanyaannya.; Mengapa manusia gemar memicu peperangan. Momentum perdamaian dunia abadi nampaknya masih berada di lini abstraksi. Jreng!
***
Jakartasatu Indonesia, Januari 11, 2025. Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.