Interpretasi Hukuman Mati Jokowi Sebagai Projek Percontohan Hukum Nasional? 

Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)

Pengantar

Peristiwa seluruh dugaan pelanggaran dan atau kejahatan Jokowi dengan pemahaman  asas hukum mala in se, yaitu perilaku yang melanggar kewajaran dan bertentangan dengan moral dan adab serta norma-norma ketentuan dan melanggar prinsip umum yang ada dan hidup serta berkembang ditengah masyarakat.

Perbuatan yang tergolong mala in se tidak dapat merubah pandangan, artinya dalam ruang dan waktu kapanpun, tindakan amoral tersebut tetap dianggap sebagai perbuatan jahat atau perilaku yang dilarang oleh undang-undang maupun tidak, karena disadari oleh pandangan hidup manusia bahwa “sesuatu hal” jika dilaksanakan merupakan tindak pelanggaran atau kejahatan, terlebih si pelaku adalah orang yang seharusnya melaksanakan fungsi atau tujuan hukum (role model), sehingga terhadap model sosok eks Presiden RI penyelenggara negara yang anomali (kontradiktif) sepatutnya penguasa negara kontemporer memenuhi nilai-nilai factor tujuan dan fungsi hukum yakni, kepastian hukum (Rechtmatigheid/ legalitas), daya guna (doelmatigheid/utilitas dan keadilan (rechtmatigheid/ justice).

Maka penyelesaian terhadap peristiwa mala in se harus melalui kekuatan dan atas dasar perintah penguasa tertinggi kontemporer kepada pembantunya Kapolri dan atau Jaksa Agung RI dan kelak hakim pemilik putusan harus berlaku progresif dan penegakan hukum mesti di awali oleh goodwill dengan pola objektif atau apa adanya (due process of law) terhadap Jokowi mantan presiden RI atas tuduhan public diberbagai media social dan juga melalui gugatan di pengadilan negeri, bahwa Jokowi telah dengan sengaja atau dolus/ opzet menggunakan ijazah palsu untuk berkehendak  (mens rea) mengikuti beberapa kontes pemilu diawali dengan ikut Pilkada Walikota Surakarta, kemudian Pilgub DKI Jakarta, lalu ikut pemilu Pilpres dan setelah menjabat banyak melakukan obstruksi sistim hukum dan melakukan banyak peristiwa KKN dalam bentuk disobedient dan atau intervensi keberpihakan (kolusi dan nepotisme)

Sehingga andai konsep penegakan hukum tidak merujuk rule of law,  mungkin saja prestasi produk reject made in Jokowi bakal kembali menjadi finalis dari OCCRP/Organized Crime and Corruption Reporting lalu masuk dalam lembaran catatan book of record atau Guinness World Records, tertuang sebagai referensi yang berisi kumpulan rekor dunia, namun terkait keburukan prestasi dengan berlapis halaman dengan catatan hitam yang  “ter-” atau yang “paling”.

Dan segala sesuatu yang menuju keadilan tentu tidak semudah berkata-kata, karena sesuai data sosiologis politik dan hukum yang sedang terus berlangsung, Jokowi tepat ada dibelakang Presiden Prabowo, disertai fakta hukum putra mahkotanya, Gibran adalah Wapres dari Sang Presiden, dan dikelilingi berapa banyak para pembantu setia Jokowi eks pejabat di Kabinet Indonesia Maju (KIM).

Dan hendaknya Para Hakim menggunakan metode petunjuk undang -undang yang mengatur fungsi dan kewenangan mereka yakni UU Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, dan  mesti objektif dalam berpikir dan bertindak, sesuai moralitas dan hukum (rule of law) dengan segala hak-hak yang hakim miliki yaitu, conviction in time sebagai wujud nyata implementasi terhadap metode asas atau prinsip  progresivitas (Jo. KUHAP dan UU. Nomor 48 Tahun 2009) serta alasan hukum Jokowi terikat dengan asas fiksi hukum, atau semua orang dianggap tahu (presumptio iures de iur) tentang keberadaan undang-undang dan sanksi hukumnya walau selama hidupnya tidak tamat sekolah dasar/ SD  dan tinggal di daerah pegunungan. Sedangkan Jokowi paling tidak lulus SMA?

Pendahuluan

Terkait dugaan kejahatan Jokowi dengan status sesuai asas hukum adalah mala in se, karena dari sudut perspektif hukum, semua perilaku Jokowi dengan berbagai peristiwa dugaan delik yang menyertainya menjadi kategori delik concursus realis (vide Pasal 65 KUHP) atau dengan kata lain berbagai ragam delik yang Jokowi lakukan dengan tempo dan suasana atau kondisi peristiwa hukum atau kasuistis dan kepentingan yang berbeda-beda. Maka  mengakibatkan tuntutan terhadap tuduhan dilakukan dengan metode split dan berlapis pada setiap tuntutan yang ada pada masing-masing (berbagai) nomor perkara.

Seorang teman nongkrong saat di warung kopi, ingin Jokowi dihukum mati melalui cara digantung, karena menurutnya begitu super dahsyatnya dan beragamnya kategori kasuistis atau beberapa perisitwa delik dari sisi kuantitatif dan kualitatif pelanggaran yang telah selesai dilakukan, sehingga Jokowi dianggap sosok pemimpin abnormal selain selalu ingin dianggap hebat, amat berkuasa dan serba bisa (delusional) serta menganggap dirinya sukses (megalomania), sehingga nomenklatur dari mala in se atau malum in se, terhadap sosok Jokowi tidak boleh diabaikan, kelak bakal menjadi historis sosiologis politik hukum termasuk tinjauan dari sector ekonomi dari factor kepemimpinan buruk bangsa dan bahkan bisa berkelanjutan tanpa akhir.

Hal Tentang Eksekusi Gantung

Walau publik keliru memaknai terkait proses eksekusi terhadap terpidana mati dari pola hukuman  ditembak menjadi eksekusi dengan pola digantung, namun ini dapat dijadikan wacana pola pelaksanaan eksekusi mati apakah polanya melalui dipancung atau dengan pola menggunakan sejenis guillotine ala hukuman francis, sebagai fungsi jera bagi pemimpin calon pelaku?

Namun sebenarnya secara legalitas, KUHP (Wetboek van strafrecht) pada Pasal 11 KUHP UU. NO. 1 Tahun 1946 sudah dicabut oleh U-U No. 2/PNPS/1964 tentang Pelaksanaan Pidana Mati. Sehingga pola dan persyaratan hukuman mati beralih menjadi:

1. Eksekusi pidana mati dijalankan dengan cara ditembak sampai mati oleh satu regu penembak.
2. Pelaksanaan pidana mati harus dilakukan di daerah hukum pengadilan yang menjatuhkan putusan tingkat pertama.
3. Pelaksanaan pidana mati harus dihadiri oleh komisariat daerah (Kapolres) atau perwira yang ditunjuknya bersama dengan Jaksa Tinggi/Jaksa yang bertanggung jawab.
4. Regu Penembak diharuskan membidik pada jantung terpidana mati.

Jokowi super ordinary crime

Di negara ini apa yang tidak bisa dilakukan? UUD.45 saja sebagai sumber hukum, hampir semua berhasil dikangkangi oleh Jokowi, Pancasila yang kramat saja oleh pasukan Jokowi di BPIP mau diperkecil 5 jadi 1. Lembaga Negara KPU dan UU KPU harus nurut, anaknya yang belum usia 40 bisa menjadi peserta kontestan Pemilu Pilpres dan lain-lain, termasuk TSK moord (pembunuhan) dan TSK korupsi tidak ditahan, pelaku gratifikasi dengan barang bukti sebuah pesawat terbang, bisa melenggang bebas sambil cengengesan, bahkan Jokowi inkonstitusional maruk menjadi presiden 3 periode, UUD 45 kecil bagi Mr. Jokowi, dan fungsi dirinya sebagai eksektutif malah merusak tatanan hukum pada lembaga KPK, juga terbukti  yudikatif Mahkamah Konstitusi/ MK dan Mahkamah Agung/ MA dan legislatif DPR RI dan DPD RI demi kepentingan anak kandung atau kroninya menjadi disfungsi, karena nunut apa katanya atau terdiam, semua sistim politik hukum bahkan sistim ekonomi (oligarki) overlapping dibuatnya, oleh karenanya sungguh Jokowi otoritarian dan amazing, spektakuler kejahatannya (Mr. Jokowi is a very evil leader).

Namun era telah berganti musim, kini Presiden RI adalah Prabowo, maka andai mau bangsa ini merubah proses eksekusi hukuman mati menjadi hukuman gantung, sesuatu hal yang bukan prinsip, karena hanya sekedar geser pola atau tehnis, yang prinsip justru hasilnya yakni terpidana yang digantung harus mati? Serta pastinya pola tehnis eksekusi gantung, maka harus lebih dulu dikaji dari sisi perspektif ekonomi, apakah bakal sederhana, cepat dan biaya lebih ringan (Jo. Asas constante Justiti) atau speedy trial sesuai Pasal 2 UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman. Dan mengingat asas yang berasal dari adagium “justice delayed justice denied” atau peradilan yang lambat tidak memberi keadilan.
Maka kunci hukumnya adalah kepada Presiden RI Prabowo Subianto, dan mendapat persetujuan legislatif tidak pasif/DPR ri mesti aktif “jangan lazim seperti biasanya”. Lalu mau kah Prabowo mendorong agar Jokowi mempertanggungjawabkan segala super ordinary crime yang pernah Ia lakukan, oleh sebab mala in se karena sosok Jokowi bak kejahatan, sehingga patut diadiil dan dihukum, dan secara “matematika” hukum amat banyak ditemukan faktor KKN yang Jokowi lakukan, dengan berbagai ragam peristiwa delik concursus yang berbeda waktu ( tempus) dan beda kepentingan, bahkan menurut Fadli Zon anggota DPR RI. saat ini Menteri Kebudayaan, “Jokowi telah berdusta 100 kali lebih.”

Jokowi sumber perilaku kejahatan Pejabat Publik atau semua gara gara Jokowi, Jokowi berencana melakukan kejahatan (delik) sejak awal, dimulai dengan pola menipu dengan cara- cara memalsukan surat ijasah dan surat keterangan lainya yang dibutuhkan  yang diawali dengan membuat dan menggunakan  ijasah palsu S. 1 Fakultas Kehutanan UGM. untuk digunakan alat menipu seluruh bangsa dan Negara Republik Indonesia, maka kelak harus berprinsip, Jokowi adalah mala in se (Jokowi berwatak dan berperilaku jahat) dan kelak dalam  berpikir  dan bertindak para penegak hukum mesti progresivitas pada setiap tahapan acara (KUHAP), kemudian andai tuntutan oleh Para JPU. dikabulkan para hakim atas peristiwa kejahatan yang multi dimensi tuntutan dengan berbagai banyak persidangan (split) serta kausalitas hukumnya dari berbagai super ordinary telah berimplikasi banyak korban dan kerugian bagi bangsa dan negara, baik kerusakan moral, kejahatan HAM ( factor kematian), kriminalisasi dan penjara, akibat praktek KKN secara terang-terangan, obstruksi kepada kroni terlapor korup, gratifikasi sehingga kesemuanya selain kerugian konstitusi bangsa ini juga berakibat pada kerugian ekonomi milik negara sebagai milik rakyat, dan kerusakan sistim penegakan hukum dan politik. Maka sederhana dan berkeadilan Jokowi harus diadili serta mendapat vonis seberat-beratnya atau maksimal hukuman mati agar fungsi manfaat hukum dari sisi efek jera kepada bakal pemimpin nasional kelak (tak berulang), dan sehingga hukum benar benar berkepastian dan berkeadilan bagi rakyat bangsa dan negara RI.

Jokowi patutkah? apa dasar dapat dihukum mati?

Pertanyaan untuk kesimpulan hukum, apakah Jokowi dapat dihukum mati? Apa dasar konsep hukum Jokowi dihukum mati? Maka untuk menjawab frase pertama, kucinya adalah goodwill dari Sosok Presiden Prabowo Subianto selaku ”penguasa tunggal tertinggi di Negara RI.” Sehingga menjadikan Prabowo bakal dewa penolong bangsa ini dan juga otomatis berfungsi sebagai dewa penolong bagi Jokowi, maka kemana kedua kaki sang presiden hendak berpijak?

– Pertama harus diingat, tampuk kekuasaan Negara RI. ada ditangan Prabowo selaku Presiden RI.
– Kedua, Jokowi super multple crimes (segala macam kejahatannya, sehingga bakal membekas dalam lembaran sejarah dokumentasi rakyat bangsa Indonesia sampai kapan pun dan dalam perpustakaan dunia  (historis sosiologis politik dan hukum), dan ”factor jas merah diskresi dalam sejarah politik hukum berisi catatan (behavior leadership) karakter kepemimpinan setelahnya”.

Lalu menjawab pertanyaan pada frase kedua, Bahwa dihadapan ratusan juta bangsa ini, Prabowo telah bersumpah atas nama dirinya kepada Tuhan yang Esa yang menciptakan dirinya dan seluruh langit dan bumi dengan seluruh mahluk hidup dan segala isi diantara serta didalamnya, serta berjanji kepada bangsa ini, “melaksanakan sumpah janjinya dengan bekerja selaku presiden dengan menjalankan tugas selaku presiden secara sungguh sungguh dan seadil-adilnya. Maka jawabannya adalah Jokowi atas kesalahannya yang super ordinary crime berdasarkan objektifitas dan kredibilitas tidak subjektif dan apriori melainkan profesionalitas berdasarkan data dan fakta (empirik), proporsional dan transparansi serta akuntabel dari kesungguhan para JPU/ penuntut umum dan khusunya para pemutus vonis ingin mendapatkan matereile waarheid atau kebenaran yang sebenar-benarnya kebenaran, serta segala pertimbangan menggunakan hak progresifitas Jo. Vide KUHAP dan UU. Tentang Kekuasaan Kehakiman, sehingga tidak harus konvensional (Mala Prohibita) ketergantungan memutus oleh dan sebab asas legalitas, untuk karakter tipikal Jokowi. majelis hakim butuh pertimbangan hukum dengan menggunakan naluri keyakinan hakim (conviction in time), sesuai hak progresivitas, disertai pertimbangan hukum dengan pola extra ordinary crime dalam setiap putusan terkait sosok Jokowi yang memang sengaja dan berencana terkait tuduhan ijazah palsu dan kebohongan (schuld/ dolus) 100 kali lebih,  termasuk melupakan asas hukum kadaluwarsa 12 tahun terhadap tuntutan perkara yang berhubungan dengan kriteria delik pemalsuan, penipuan dan penggelapan  (Pasal 264 Jo. 372, 378 KUHP dan UU. Diknas yang lama)  sejak delik dilakukan andai terhalang terbentur Pasal Jo. 79 KUHP (yang tidak tersentuh secara final and binding oleh vonis MK. Jo. Putusan nomor 118/PUU-XX/2022), mengingat serta mempertimbangkan seorang Jokowi dari sudut pandang yuridis formal asas fiksi hukum, serta berdasarkan keadaan sebenar-benarnya dan sepengetahuan umum karakter dan perilaku buruk Jokowi ( notoire feiten notorius), serta dengan latar belakang berawal niatan atau dengan sengaja opzet (mens rea atau dolus) menggunakan ijazah palsu untuk menipu ratusan juta bangsa WNI dan Negara RI, dan saat menjadi Presiden RI melakukan praktik disobedient, obstruksi terhadap banyak factor temuan disegala sector penegakan hukum dengan unsur-unsur KKN (korupsi, kolusi dan nepotism) dan demi hakekat fungsi keadilan Jo. Sila Pancasila yang ke 5 serta UUD 1945 semua orang sama dihadapan hukum (asas equalitas), serta demi antisipatif dan faktor subtansial fungsi peran para penegak hukum yang sejatinya inline dengan fungsi bahwa hukum ditegakkan hanya semata-mata demi keselamatan rakyat bangsa (salus populi supreme lex esto) dan agar pola kepemimpinan Jokowi yang buruk ( poor leadership character) tidak terus berlanjut (mengkontaminasi) anak cucu calon pemimpin bangsa Indonesia-

Maka Penulis meyakini jika Jokowi diberlakukan secara adil dan bijaksana serta beradab oleh Para Hakim Wakil Tuhan di Muka Bumi, maka  projek (interpretasi) percontohan hukuman mati akan dimulai dengan prototip Jokowi yang spektakuler kejahatannya dan segala wujud dan dimensi negatif perilakunya. Dan mengingat untuk menemukan dan mendapatkan keadilan pasti selalu ada jalan dari Tuhan. Salam penulis ”jangan kendurkan perjuangan melawan penjahat bangsa di setiap era”.