Ilustrasi ai | WAW

FOMO Fatale Koin Jagat: Ketika Perburuan Cuan Mengancam Rasionalitas Kolektif

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller
Bayangkan Anda sedang berjalan santai di taman, lalu mendadak sebuah kerumunan melintas, berlarian dengan ponsel di tangan. Mereka bukan sedang mencari sinyal Wi-Fi, melainkan berburu “koin jagat.” Dengan iming-iming hadiah menggiurkan hingga ratusan juta rupiah, aplikasi bernama ‘Jagat’ ini berhasil memetakan kegilaan kolektif baru di Indonesia. Namun, di balik euforia tersebut, tersembunyi sisi gelap yang mengusik: kerusakan fasilitas umum, kecelakaan, dan keramaian yang tak terkendali. Fenomena ini saya sebut sebagai “FOMO Fatale,” sebuah bentuk ketakutan ketinggalan tren yang tidak hanya mengancam rasionalitas, tapi juga keselamatan.
Koin Jagat adalah permainan berbasis aplikasi yang menantang pemain untuk mengumpulkan koin virtual di berbagai lokasi dunia nyata. Terdapat tiga jenis koin — emas, perak, dan perunggu — dengan nilai hadiah mulai dari Rp 300.000 untuk koin perunggu hingga Rp 100 juta untuk koin emas. Cara bermainnya sederhana: kunjungi lokasi yang ditentukan, temukan koin, unggah bukti melalui aplikasi, dan hadiah pun cair. Namun, di balik mekanisme ini, muncul pertanyaan: apakah semua usaha ini sepadan dengan dampaknya?
Mari kita bicara fakta. Dalam perburuan koin jagat, pragmatisme cuan sering kali mendikte perilaku. Dari melompati pagar taman hingga membongkar pot bunga di trotoar, tak sedikit yang rela melakukan apa saja demi koin virtual. Bahkan, ada laporan pengguna yang hampir tersambar kendaraan saat mencoba menangkap koin di tengah jalan.
Salah satu pemain, sebut saja Andi, mengaku menghabiskan delapan jam sehari untuk berburu koin ini. “Awalnya cuma iseng, tapi lama-lama jadi kayak misi hidup. Kalau nggak ikut, rasanya kayak FOMO banget,” ujarnya. Ketakutan ketinggalan inilah yang menjadi bahan bakar utama dari fenomena ini. Tapi, apa yang sebenarnya kita kejar?
Ubah Cuan Jadi Kontribusi Positif
Bayangkan jika energi kolektif yang sama diarahkan untuk sesuatu yang lebih konstruktif. Para pengembang aplikasi memiliki peluang besar untuk menciptakan platform yang tidak hanya menghibur, tetapi juga membangun.
Berikut beberapa ide aplikasi yang dapat menciptakan euforia positif:
Trivia Nusantara: Sebuah aplikasi kuis berbasis lokasi yang mengajak pengguna menjelajahi sejarah, budaya, dan keunikan lokal Indonesia. Setiap jawaban benar memberikan poin yang bisa ditukar dengan tiket museum atau donasi sosial.
Eco Hunt: Permainan berbasis augmented reality yang mengarahkan pengguna untuk membersihkan sampah di lokasi tertentu. Setiap kantong sampah yang dikumpulkan dihitung dan diubah menjadi kredit belanja atau sumbangan lingkungan.
SkillBuilder Arena: Aplikasi kompetisi keterampilan berbasis komunitas yang menantang pengguna dalam aktivitas kreatif seperti menggambar mural, menulis puisi, atau menciptakan resep masakan. Hadiahnya? Kesempatan untuk dipromosikan di platform kreatif nasional.
“Fenomena seperti ini sering kali terjadi karena ketidakmampuan masyarakat memisahkan kebutuhan aktual dan keinginan yang dipicu oleh tekanan sosial. Efeknya, individu lebih rentan terhadap impulsivitas,” ungkap Dr. Amanda Wijaya, psikolog sosial.
Sementara itu, seorang pakar pendidikan, Prof. Rizal Gunawan,  menekankan pentingnya pembelajaran berbasis gamifikasi. “Jika aplikasi seperti ini diarahkan untuk membangun pengetahuan atau keterampilan, kita tidak hanya menghibur, tetapi juga mendidik generasi muda.”
Konsultan kreatif Laila Putri menambahkan, “Aplikasi viral harus punya tanggung jawab moral. Jika tujuannya hanya memicu euforia sesaat tanpa mempertimbangkan dampak sosial, itu artinya kita gagal memanfaatkan teknologi untuk kebaikan.”
Menuju Budaya Digital yang Produktif
Fenomena koin jagat adalah cermin betapa kuatnya teknologi memengaruhi perilaku masyarakat. Namun, kita memiliki pilihan: membiarkan tren ini berlalu sebagai catatan destruktif, atau mengubahnya menjadi inspirasi untuk inovasi yang lebih baik. Pengembang aplikasi, pemangku kepentingan, hingga pengguna, semua memiliki tanggung jawab untuk memastikan teknologi berfungsi sebagai alat pembangun, bukan perusak.
Dengan mengarahkan semangat berburu ini ke arah yang lebih positif, kita tidak hanya menciptakan tren baru, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih kritis, kreatif, dan konstruktif. Jadi, lain kali Anda mendengar tentang aplikasi viral, tanyakan pada diri sendiri: apakah kita sedang berlari menuju kemajuan, atau justru ke arah sebaliknya? Tabik.