Takdir Partai Banteng: Refleksi Kegagalan Partai Politik Di Indonesia

Oleh: Radhar Tribaskoro dan Adhie Massardi

THE BRAIN INSTITUTE

Di tengah hiruk-pikuk politik Indonesia, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan simbol banteng bermoncong putih menjadi salah satu ikon politik paling dikenal. Namun, di balik simbol itu, ironi besar melingkupinya. Jika banteng dalam Corrida de Toros digiring ke arena untuk bertarung dengan gagah, pada akhirnya ia ditakdirkan untuk kalah, mati di ujung pedang matador. Demikian pula nasib PDIP. Dalam setiap arena politik yang diikutinya, partai ini kerap terlihat kuat, penuh semangat, dan membawa simbol perlawanan, tetapi pada akhirnya ia malah menyerahkan dirinya pada kekuatan yang menghancurkan esensinya sendiri.

PDIP lahir dari semangat perjuangan wong cilik, kelas sosial yang selalu dimarjinalkan. Warisan ideologisnya yang dekat dengan ajaran Sukarno menjadikan partai ini alat perlawanan rakyat kecil terhadap penindasan struktural. Namun, perkembangan pascareformasi menunjukkan pergeseran yang signifikan. PDIP, yang dulu menjadi simbol harapan wong cilik, perlahan berkompromi dengan oligarki. Layaknya banteng dalam adu matador, ia digiring ke dalam arena kekuasaan yang telah diatur untuk melayani mereka yang memiliki pengaruh dan modal.

Keputusan-keputusan politik PDIP dalam dekade terakhir semakin menegaskan paradoks ini. Partai yang mengklaim dirinya sebagai partai perjuangan rakyat justru menjadi bagian dari arsitektur politik yang mengesampingkan aspirasi rakyat kecil. Pembentukan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK) yang melemahkan lembaga antirasuah, pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja (UUCK) yang kontroversial, hingga pembiaran atas sentralisasi kekuasaan di tangan presiden adalah beberapa contoh nyata. Semua itu menunjukkan bahwa PDIP kini lebih nyaman berpihak pada kepentingan oligarki daripada memperjuangkan wong cilik yang dulu menjadi fondasinya.

Ketika PDIP mendukung revisi UU KPK pada 2019, banyak pihak melihatnya sebagai bentuk pengkhianatan terhadap semangat pemberantasan korupsi yang menjadi cita-cita reformasi 1998. KPK, yang selama ini dianggap sebagai lembaga independen yang efektif, menjadi lemah setelah revisi. Argumen yang digunakan PDIP adalah untuk meningkatkan akuntabilitas dan transparansi, tetapi realitas menunjukkan bahwa revisi tersebut justru mempersulit KPK untuk bertindak secara bebas. Dalam hal ini, PDIP tidak hanya gagal memperjuangkan aspirasi rakyat kecil yang paling terdampak oleh korupsi, tetapi juga menjadi alat bagi penguasa untuk memperkokoh kekuasaan mereka tanpa gangguan.

Pengesahan UUCK pada 2020 menjadi babak lain yang menunjukkan bagaimana PDIP berkompromi dengan kepentingan elit ekonomi. UUCK yang disebut sebagai omnibus law disusun dengan tujuan menyederhanakan regulasi dan meningkatkan investasi. Namun, proses penyusunannya yang minim partisipasi publik dan substansinya yang dinilai banyak pihak lebih menguntungkan pemodal besar daripada buruh dan masyarakat kecil, menjadi cerminan bagaimana PDIP gagal membela konstituen utamanya. Wong cilik yang seharusnya menjadi prioritas partai ini justru terpinggirkan oleh kebijakan yang menguntungkan kelas atas. Pengesahan UUCK juga memicu gelombang protes besar dari kelompok buruh dan masyarakat sipil, tetapi PDIP tetap mempertahankan posisinya sebagai pendukung utama kebijakan tersebut.

Kesediaan PDIP untuk mendukung kebijakan-kebijakan yang menguntungkan oligarki menunjukkan bagaimana partai ini telah terseret ke dalam logika kekuasaan yang pragmatis. Dalam logika ini, mempertahankan posisi dalam pemerintahan dan menjaga hubungan baik dengan kelompok ekonomi kuat menjadi lebih penting daripada memperjuangkan ideologi dan visi politik yang selama ini mereka deklarasikan. Keputusan-keputusan politik PDIP mencerminkan bagaimana kekuatan oligarki telah merasuk ke dalam struktur partai dan mengarahkan kebijakan mereka sesuai kepentingan elit.

Namun, yang lebih menyakitkan bagi banyak pendukung PDIP adalah pembiaran mereka terhadap sentralisasi kekuasaan di tangan presiden. Pemerintahan Joko Widodo, yang pada awalnya diharapkan menjadi pemerintahan rakyat kecil, telah beralih menjadi pemerintahan yang semakin tersentralisasi. Jokowi, meskipun diusung oleh PDIP, sering kali mengambil keputusan yang menunjukkan loyalitasnya pada oligarki. Maraknya pembangunan politik dinasti, pembatasan ruang gerak masyarakat sipil, dan penguatan kekuasaan presiden adalah beberapa contoh dari arah pemerintahan ini. PDIP, yang seharusnya menjadi pengawas pemerintah, justru menjadi pendukung tanpa syarat, membiarkan praktik-praktik tersebut terjadi tanpa perlawanan berarti.

Keberpihakan PDIP pada pemerintahan yang menguatkan oligarki bukan hanya menodai warisan ideologisnya, tetapi juga menjadi bukti kegagalan partai politik di Indonesia untuk membangun demokrasi yang substantif. Michael Ross (2001) dalam studinya tentang sumber daya dan demokrasi menunjukkan bahwa negara-negara dengan sistem politik yang dikuasai oleh elite ekonomi cenderung mengalami kemunduran demokrasi. Dalam konteks Indonesia, oligarki memainkan peran sentral dalam menentukan arah kebijakan publik. PDIP, yang seharusnya menjadi partai penyeimbang, justru beradaptasi dengan struktur kekuasaan ini, alih-alih melawan.

Ironi PDIP semakin mencolok ketika kita melihat retorika mereka yang terus menegaskan kedekatan dengan wong cilik. Simbol banteng, warna merah, dan slogan perjuangan masih digunakan sebagai alat mobilisasi politik, tetapi substansi perjuangan tersebut semakin sulit ditemukan. Wong cilik, yang menjadi bagian penting dalam kemenangan PDIP pada pemilu legislatif, tidak lagi menjadi pusat perhatian dalam pengambilan kebijakan mereka. Dalam hal ini, PDIP tidak berbeda dengan partai-partai lain yang lebih peduli pada kekuasaan daripada prinsip.

Jika kita kembali pada analogi Corrida de Toros, PDIP mungkin tidak sadar bahwa arena yang mereka masuki dirancang untuk menghancurkan mereka. Banteng yang kuat dan gagah selalu menjadi pusat perhatian dalam arena, tetapi matador dan struktur arena telah dipersiapkan untuk memastikan kemenangan matador. Demikian pula, PDIP berada di dalam sistem politik yang dirancang oleh oligarki untuk mempertahankan dominasi mereka. Partai ini, meskipun memiliki basis massa yang besar, tetap tidak dapat melawan logika kekuasaan yang mendikte arah kebijakan mereka.

Namun, nasib PDIP tidak harus berakhir tragis seperti banteng di Plaza del Toro. Refleksi mendalam dan keberanian untuk kembali pada nilai-nilai perjuangan dapat menjadi awal dari perubahan. PDIP perlu menyadari bahwa kekuatan mereka terletak pada rakyat kecil, bukan pada elit yang mereka coba akomodasi. Jika partai ini terus mengorbankan ideologinya demi pragmatisme politik, mereka tidak hanya akan kehilangan dukungan, tetapi juga akan menjadi bagian dari sejarah kegagalan politik Indonesia.

Penting untuk menekankan bahwa perubahan dalam partai politik tidak hanya bergantung pada kepemimpinan, tetapi juga pada struktur kelembagaan dan budaya politik yang dibangun di dalamnya. PDIP perlu menata ulang arah perjuangannya dengan memperkuat akuntabilitas internal, memberdayakan basis massa, dan memperkuat kapasitas ideologis kader-kadernya. Dalam demokrasi yang sehat, partai politik harus menjadi alat perjuangan rakyat, bukan alat bagi elit untuk mempertahankan kekuasaan.

Bagi Indonesia, pelajaran dari nasib PDIP adalah pentingnya membangun sistem politik yang lebih inklusif. Demokrasi tidak akan bertahan jika partai-partai politik terus menjadi alat oligarki. Reformasi politik yang lebih mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa partai-partai politik dapat berfungsi sebagai perwakilan rakyat, bukan sebagai perpanjangan tangan elit. Dalam pandangan Levitsky dan Ziblatt (2018), demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat dan berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi. Tanpa itu, demokrasi akan terus terkikis oleh pragmatisme dan kepentingan jangka pendek.

PDIP memiliki peluang untuk mengubah arah politiknya. Sebagai partai yang memiliki sejarah panjang dalam perjuangan rakyat, PDIP masih memiliki basis massa yang kuat dan potensi untuk menjadi kekuatan perubahan. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika partai ini berani melepaskan diri dari belenggu oligarki dan kembali pada nilai-nilai perjuangan yang menjadi fondasinya. Jika tidak, PDIP hanya akan menjadi simbol dari ironi politik Indonesia, partai besar yang kehilangan jiwanya di tengah arena politik yang dirancang untuk menghancurkannya.===