Gerakan Masyarakat Sipil dan Peringatan MALARI

S. Indro Tjahyono,
Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78 dan Penggiat Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA)

Pada tanggal 15 Januari 2025 diselenggarakan acara Peringatan MALARI (Malapetaka Lima Belas Januari) di Hotel Green Forest , Bogor, Jawa Barat. MALARI setiap tahun diperingati dan selalu menjadi ajang pertemuan para aktivis sosial dan politik ,termasuk para tokoh politik sepuh yang selama ini masih aktif di gerakan oposisi yang kritis terhadap kebijakan pemerintah yang dzolim. Peringatan MALARI telah menjadi acara yang tidak bisa dilewatkan oleh para aktivis yang merasa terlibat dalam setiap gerakan masyarakat sipil (Civil Society) di

Jangan Lupakan Prolog Malari

Kehadiran para aktivis yang merasa terpanggil setiap Peringatan MALARI diselenggarakan perlu dianalisis sejenak, kenapa mereka harus hadir dan sejauh mana persepsi mereka tentang Peristiwa MALARI itu sendiri. Beberapa versi cerita tentang MALARI padahal dibuat sehingga gerakan mahasiswa itu terkesan “ditunggangi” oleh dinamika elit seputar Suharto. Tetapi rupanya cerita itu tidak berhasil menutup fakta bahwa MALARI muncul karena inisiatif mahasiswa dan merupakan gerakan masyarakat sipil dalam menyikapi kebijakan Suharto yang dirasakan makin melenceng.

MALARI seharusnya tidak bisa dilepaskan dari prolog sebelum peristiwa itu meletus berupa kerusuhan dan pembakaran gedung-gedung di Jakarta. Jauh sebelum itu telah terbentuk jaringan aktivis mahasiswa Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta yang kritis terhadap kebijakan Suharto yang semakin melenceng. Rejim Suharto semakin menunjukkan wajah fasisnya dengan menempatkan perwira tinggi militer di jabatan sipil strategis dan membangun gurita bisnis militer.

Ada Jaringan Aktivis Kampus

Di lain pihak kebijakan ekonomi Suharto juga mengkhawatirkan dengan mengandalkan  banyak hutang luar negeri dan menjalankan skema investasi yang didominasi oleh modal asing dari Jepang. Sedangkan ketimpangan pendapatan terus berlangsung sebagai akibat sistem yang kapitalistik dan liberal. Materi inilah yang mewarnai wacana yang hidup dalam diskusi-diskusi di kampus (termasuk kampus di Bandung dan Yogyakarta) menjelang MALARI.

Di kampus Universitas Indonesia (UI), didirikan Group Diskusi  Universitas Indonesia (GDUI) yang memotori lahirnya isu-isu sosial ekonomi yang dijadikan platform gerakan mahasiswa sebelum MALARI. Jadi di balik Peristiwa MALARI ada visi dan misi besar yang melatar-belakangi yang dimanifestasikan dalam aksi besar menolak kedatangan Perdana Menteri Jepang Kakkoi Tanaka di Jakarta. MALARI jelaslah bukan sekedar malapetaka atau kerusuhan yang dijadikan dasar untuk  menyeret tokoh-tokoh mahasiswa yang terlibat di belakangnya.

Rakyat Punya Hak Mencabut Mandat

Persepsi inilah sebenarnya yang memotivasi dan mendorong mengapa para aktivis dan tokoh masyarakat yang pernah terlibat dalam gerakan mahasiswa atau gerakan masyarakat sipil tetap hadir dalam setiap acara Peringatan MALARI. Kehadiran mereka seolah menggarisbawahi bahwa Indonesia masih membutuhkan masyarakat sipil yang terkonsolidasi dan mampu melakukan suatu gerakan massal apabila negara sudah tidak lagi menjalankan mandat  rakyat. Partai politik seringkali sulit dipercaya sebagai pembawa aspiasi rakyat ketika menjadi bagian dari negara, karena itu masyarakat harus kembali menempatkan diri dalam relasi negara (state) dan rakyat (society) secara hakiki.

Negara tidak lebih adalah instrumen bagi rakyat untuk memenuhi harapan dan kebutuhannya. Jika negara tidak lagi mampu menjamin terpenuhinya harapan dan kebutuhan rakyat. Partai-partai politik pun  tidak mendengar aspirasi rakyat apalagi bersekongkol dengan partai berkuasa, maka masyarakat melalui satu gerakan rakyat (people movement) berhak mencabut mandatnya.

Gerakan Melawan Despotisme

Oleh karena itu setiap kali  peringatan MALARI diselenggarakan, seolah ingin mengingatkan bahwa masyarakat itu mampu dan masih punya kekuatan di tangannya untuk bertindak apabila pemerintah sebagai pelaksana  negara dijalankan secara otoriter, tirani, dan semena-mena. Kekuatan itulah yang harus dijalin dan dipersatukan sebagai satu modal sosial (social capital) dengan menghilangkan ego sebagai seorang aktivis yang merasa  bisa bertindak sendirian.

Sejak 2014, selama sepuluh tahun negara Indonesia berada di tangan seorang despotis. Despotisme adalah bentuk pemerintahan dengan satu penguasa, baik individual atau oligarki. Menurut Montesque, perbedaan antara monarki dan despotisme adalah bahwa dalam monarki, penguasa memerintah dengan hukum yang ada. Sementara dalam despotisme penguasa memerintah berdasar keinginannya sendiri.

Sekarang despot itu masih mengatur di balik pemerintahan rejim Prabowo – Gibran bak masih berkuasa untuk ketiga kalinya. Ia melakukan peninjauan kesana-kemari masih mendapat kawalan jajaran POLRI, walau telah dinobatkan sebagai raja kriminal dan koruptor oleh lembaga internasional. Kondisi ini membutuhkan satu gerakan masyarakat yang besar untuk mengamankan agar pemerintahan saat ini tidak terus dicengkeram oleh despotisme.***