Bukankah Ini Sebuah Elegy, Syair Ratapan, Yang Akan Menyertai Bangsa Ini Sepanjang Sejarahnya?
Smith Alhadar, Institute for Democracy Education (IDe)
Dalam waktu dekat, dua politisi lansia (aging politician) yang punya pengaruh besar dalam perpolitikan RI – Presiden ke-8 Prabowo Subianto adalah Ketum Partai Gerindra dan Presiden ke-5 Megawati Soekarnoputri adalah Ketum PDI-P — akan bertemu. Prabowo telah berusia 74 tahun dan Megawati 78 tahun. Usia keduanya sudah melampaui angka rata-rata usia orang Indoneaia yang 73 tahun.
Sudah lama mereka bersahabat. Bahkan, pada pilpres 2009 keduanya berpasangan sebagai capres-cawapres. Tapi pertemuan mereka kali ini tidak semata-mata terkait pilpres 2029 melainkan nasib mereka ke depan. Juga, menurut kubu PDI-P, pertemuan Prabowo-Megawati tidak untuk membicarakan bagi-bagi kekuasaan, melainkan masalah kebangsaan.
Pernyataan kubu PDI-P ini harus dilihat sebagai upaya menepis kekhawatiran publik bahwa bergabungnya PDI-P ke dalam Kabinet Merah Putih berpotensi mengancam demokrasi karena tak ada lagi partai oposisi. Padahal, demokrasi meniscayakan adanya checks and balances. Kendati negosiasi soal kursi kabinet dan portfolionya untuk PDI-P tak dapat diabaikan, sangat mungkin tema utama yang akan dibicarakan adalah isu-isu yang terkait dengan Mulyono.
Megawati — yang punya pengalaman pahit soal pembegalan parpolnya di era Orde Baru – merasa insecure terkait pemilihan ketua umum PDI-P dalam Kongres VI pada April mendatang. Sebagaimana dikatakan Megawati, ia mencium ada gelagat pihak tertentu akan membegal partainya. Siapa lagi kalau bukan Mulyono? Ingat, Mulyono pernah menggunakan Kepala Staf Presiden Moeldoko untuk pembegalan yang gagal terhadap Partai Demokrat.
Sebagai langkah awal untuk melemahkan peran Mulyono di PDI-P, Megawati telah memecatnya. Walakin, di dalam partai pasti ada orang-orang yang melihat pentingnya regenerasi agar partai lebih adaptif dengan perkembangan kekinian. Dalam kancah ilmu politik, terminologi gerontokrasi lebih umum digunakan, yang merujuk pada keadaan politik dan pemerintahan di mana yang berkuasa orang-orang yang lebih tua ketimbang rata-rata populasi dewasa.
Gerontokrasi secara saintifik mengacu pada bentuk organisasi politik primitif, yaitu dikuasai orang-orang tua. Dampak gerontokrasi terhadap partai politik adalah terhalangnya mobilitas vertikal politik politisi generasi lebih muda. Mereka berusia 40-an tahun yang sudah aktif pula bertahun-tahun dalam partai tidak dapat menembus dominasi atau sedikitnya hegemoni pemegang gerontokrasi.
Keadaan ini memunculkan otokrasi dalam partai politik. Otokrasi yang lama, pada tingkat partai, bisa memicu perlawanan diam-diam yang akhirnya dapat memunculkan eksploitasi politik yang bukan tidak mungkin mencabik-cabik partai (Azyumardi Azra, 2015). Sejauh ini belum terlihat kader PDI-P yang hendak menantang Megawati. Tetapi sebagai kader PDI-P dan presiden dua periode, tentu Mulyono tahu orang-orang yang tidak puas pada kepemimpinan Megawati, yang dapat ia manfaatkan untuk menyingkirkan mantan boss-nya itu yang ia sebut terlalu ideologis dan banyak maunya sebagaimana diungkap kader PDI-P Rieke Dyah Pitaloka dalam podcast Akbar Faisal.
Dus, dalam pertemuan dengan Prabowo, yang juga seorang gerontokrasi, Megawati akan meminta jaminan Kongres PDI-P berjalan aman dan tertib. Apakah Prabowo akan bersedia? Sudah “pasti”. Imbalannya, mungkin, PDI-P akan bergabung dengan KMP pasca Kongres. Tetapi jaminan Prabowo belum tentu dapat diwujudkan. Bukankah Mulyono punya mata dan tangan di mana-mana? Dan Prabowo takut kepadanya?
“Jangan main-main dengan ini barang,” kata Bahlil Lahadalia. Bahaya, ia raja Jawa. Maksudnya, mungkin ia jahat. Dan pendendam. Pemecatan dirinya dari keanggotaan partai telah menyakitinya. Padahal, status kader PDI-P sangat penting baginya untuk menjaga dukungan loyalisnya, yang mayoritas adalah simpatisan PDIP. Tak heran, sebagaimana diungkapkan Tempo, ia mengutus seorang perwira parcok untuk menemui Megawati untuk tidak memecatnya.
Prabowo sendiri terpasung rancangan politik Mulyono yang diniatkan untuk menyelamatkan diri dan keluarganya, memastikan Prabowo melanjutkan legasinya, dan menjaga kepentingan oligarki. Maka, sebagaimana Megawati, Prabowo juga tak merasa nyaman dan aman dalam menavigasi negara dan pemerintahan. Setiap hari waktu dan tenaganya habis hanya untuk memikirkan jalan keluar dari jeratan Mulyono agar program dan kebijakannya dapat direalisasikan tanpa hambatan.
Dus, ada titik temu antara Megawati dan Prabowo: keduanya ingin mengusir hantu Mulyono yang gentayangan siam-malam. Dalam pertemuan nanti mereka akan berbagi keluh kesah tentang situasi dan kondisi yang mereka hadapi. Sangat mungkin Megawati akan mengungkap banyak pelanggaran dan kejahatan Mulyono selama 10 tahun memerintah — yang mungkin disertai ancaman akan dibuka ke publik – kalau Prabowo tak bersedia menggunakan kekuasaannya untuk membebaskan pemerintahannya dari pengaruh Mulyono.
Prabowo tidak akan terlalu terkejut karena mestinya ia juga tahu, paling tidak sebagian dari apa yang dikatakan Megawati. Tapi, lagi-lagi Prabowo akan meminta waktu untuk “membereskannya”. Bisa jadi benar isu yang beredar bahwa Megawati akan meminta Prabowo merekruit Hasto Kristiyanto yang sedang menghadapi masalah suap sebagaimana dituduhkan KPK – yang sangat boleh jadi atas desakan Mulyono — sebagai menteri di portfolio yang strategis (misalnya, sebagai Jaksa Agung) untuk mengejek sekaligus menjerat Mulyono terkait kejahatannya.
Kalau analisis ini tak jauh meleset, sulit membayangkan Prabowo akan memenuhinya meskipun ia menyukai gagasan ini. Bukankah Prabowo juga ingin tampil sebagai dirinya sendiri, bukan sebagai kacung Mulyono? Tapi, kalaupun ia bersedia, tidak sekarang. Melakukan reshuffle sekarang dengan mengganti menter-menteri loyalis Mulyono dengan kader PDI-P bukan pilihan yang logis dalam konteks menjaga stabilitas pemerintahan.
Bagi Megawati, permintaannya tak dapat ditawar demi kelangsungan hidup PDI-P. Sebagai aging politician, Megawati sedang memasuki momentum kritis. Sebelum pilpres 2029, ia telah uzur. Karena itu, penting baginya untuk membawa PDI-P ke dalam pemerintahan Prabowo, terutama terkait dengan calon penggantinya. Dalam hal ini Puan Maharani – kalau dia yang diproyeksikan Megawati melanjutkan estafet kepemimpinan partai – harus bergabung dengan KMP dengan portfolio yang strategis.
Bila PDI-P menjadi oposisi, harapan Megawati tersebut tak akan terpenuhi. Bahkan, sebelum 2029, mungkin PDI-P telah berantakan karena pemberontakan dari dalam tanpa perlu intervensi Mulyono. Memang berada di luar pemerintahan sampai lima tahun mendatang di bawah kepemimpinan Megawati yang tidak lagi efektif dan berwatak otokratif akan melemahkan partai.
Pada tahap “keinginan” Prabowo, permintaan Megawati tak ada masalah. Toh, Prabowo juga ingin PDI-P, yang secara ideologis identik dengan Gerindra, tetap eksis sebagai mitra kerja sama yang genuine. Ini demi menjamin kubu nasionalis-sekuler tetap berperan menentukan dalam perjalanan RI ke depan. Melihat usia Prabowo, yang saat pilpres 2029 telah berusia 78 tahun, juga telah memasuki usia kritis, yang dapat memicu gejolak di internal partai.
Dengan kata lain, sebagaimana PDI-P, Gerindra juga terancam berantakan. Bukankah baik Megawati maupun Prabowo telah menjadi cult partai masing-masing? Lengser keduanya dari panggung politik nasional akan membawa dampak besar pada PDI-P dan Gerindra yang kelangsungan hidupnya sangat bergantung pada dua figur ini. Dus, harus ada jalan keluar yang masuk akal untuk memastikan PDI-P dan Gerindra tetap menjadi partai besar tanpa keduanya.
Jalan keluar itu akan ditentukan hasil pertemuan dua singa tua ini, yang keduanya ingin dicatat sejarah sebagai negarawan yang dibanggakan bangsa. Sayangnya, hal itu tak mudah. Bahkan kedua politisi gaek ini terancam dikenang sebagai tokoh-tokoh kerdil hasil permainan Mulyono, seorang tukang mebel yang dibesarkan keduanya. Bukankah ini sebuah elegy, syair ratapan, yang akan menyertai bangsa ini sepanjang sejarahnya?
Tangsel, 18 Januari 2025
Smith Alhadar, Institute for Democracy Education (IDe)