JAKARTASATU.COM– Forum Dekan Fakultas Hukum dan Ketua Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Perguruan Tinggi Muhammadiyah Se-Indonesia (Fordek FH dan Ketua STIH PT Muhammadiyah Se-Indonesia) menyatakan bahwa tidak ada landasan yang memperbolehkan penerbitan sertifikat hak atas tanah di wilayah laut atau pesisir laut.

“Apabila sertifikat tanah diterbitkan di wilayah tersebut dan ternyata melanggar Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) baik di tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota, maka sertifikat tersebut dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Penataan Ruang,” demikian pernyataan sikap Fordek FH dan Ketua STIH PT Muhammadiyah Se-Indonesia, Sabtu (18/1/2025) yang disampaikan Ketum Faisal Piliang.

“Hal ini merujuk pada ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang tidak mengatur pesisir pantai dan pesisir laut sebagai objek pengaturan. Semua bentuk sertifikat hak atas tanah seperti Hak Milik (HM), Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Pakai (HP), dan Hak Pengelolaan (HPL) hanya dapat diberikan untuk tanah daratan.”

Disampaikan bahwa sebagai daerah yang memiliki ekosistem kompleks dan signifikan bagi kehidupan manusia, pesisir pantai dan pesisir laut dilindungi oleh berbagai peraturan perundang-undangan. Salah satu aturan utama yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir dan laut adalah Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Dalam Pasal 17 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa setiap pemanfaatan wilayah pesisir dan laut wajib mendapatkan Izin Pemanfaatan Ruang Laut (IPRL). IPRL merupakan izin resmi yang harus diperoleh untuk memastikan bahwa aktivitas yang dilakukan di wilayah pesisir dan laut tidak merusak ekosistem dan tetap sesuai dengan prinsip pengelolaan yang berkelanjutan.

“Jika terjadi pelanggaran, seperti pemagaran wilayah laut yang menghalangi akses nelayan atau merusak fungsi ekosistem tanpa izin, maka tindakan tersebut jelas melanggar peraturan yang berlaku. Dampak kerusakan ekosistem dan terganggunya keberlanjutan ekonomi nelayan juga berpotensi bertentangan dengan prinsip pengelolaan berkelanjutan sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.”


Selain itu, Pasal 36 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup juga menjadi dasar hukum penting dalam melindungi pesisir pantai dan laut. Pasal ini mensyaratkan bahwa setiap kegiatan yang berpotensi memberikan dampak penting pada lingkungan harus memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Kegiatan seperti pemagaran laut yang dapat menyebabkan gangguan ekosistem, terganggunya aliran air, rusaknya habitat laut, atau bahkan pencemaran, memerlukan AMDAL sebagai bentuk mitigasi risiko. Jika pelaku kegiatan melanggar ketentuan ini, sanksi hukum dapat diberlakukan.


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan juga memberikan perlindungan khusus kepada nelayan kecil. “Dalam Pasal 7, disebutkan bahwa setiap kegiatan yang merugikan nelayan kecil atau menghalangi akses mereka ke wilayah penangkapan ikan dapat dianggap melanggar hukum.”

Oleh karena itu, pemagaran wilayah laut yang membatasi akses nelayan tidak hanya melanggar prinsip keadilan sosial, tetapi juga bertentangan dengan ketentuan hukum yang ada. (RIS)