Ilustrasi ai | WAW

Wakil Rakyatku Konten Kreator

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono

Seperti lelah karena dimakan usia, sinar lampu jalan itu tidak lagi terang. Namun dibawah temaram remang-remangnya, suara kriuk-kriuk gorengan memenuhi udara. Pakde Karyo, sang penjaja gorengan paling legendaris di jalan kampung itu, berdiri di depan wajan super besarnya yang penuh dengan minyak panas. Setengah mengelilingi Pakde Karyo, beberapa pelanggan nampak setia nongkrong di bangku kayu sambil menggigit gorengan yang asapnya masih mengepul dan menyeruput kopi sachet dengan penuh kenikmatan.

“Ayo, siapa lagi yang mau bakwan, mendoan, atau risol? Cepetan, mumpung minyaknya masih semangat nih!” seru Pakde Karyo dengan gaya khasnya, laiknya influenser sosmed yang diangkat menjadi BuzzerRp.

Di pojok meja, Jumadi si tukang ojek online mengelap keringat di jidatnya. “Pakde, udah denger soal Rapi Ahad belum? Katanya lagi viral bikin video pamer mobil baru lagi, diiringi patwal pula.”

“Ah, itu yang nyebut patwal kayak soundtrack kehidupannya itu, ya?” timpal Rina, penjual pulsa yang selalu bawel soal gosip terbaru.

Jumadi tertawa. “Bener! Judul videonya aja sok-sokan: ‘Jimny, Jiwa Saya. Negara Bantu Saya Menggapai Impian.’ Padahal rakyat susah, dia sibuk ngonten soal mobil Jimny.”

Sembari menambahkan risol ke piring pelanggannya yang lain, Pakde Karyo ikut nyeletuk, “Kalau kayak gitu, patwal itu bagaikan garam di minyak goreng, Ndul. Seharusnya bikin sedap, eh… malah bikin mblenger!”

“Betul, De,” ujar Jumadi agak berlepotan karena sambil mengunyah bakwan. “Tapi dia bilang, viral itu asset lho. Katanya, tiap FYP, elektabilitasnya naik. Joss tho?”

Rina mendecak sewot. “Elektabilitas naik? Yang jelas yang naik itu darah rakyat, Ndul.”

Semua yang nongkrong geleng-geleng kepala sambal tersenyum getir. Tetiba, percakapan pun beralih ketika Tuti, anak kost yang kerja di minimarket, membuka ponselnya. “Eh, tapi kelakuan Unyah Kunyah lebih parah lho, udah pada tau gak?”

“Apa lagi?” tanya Rina dengan mata berbinar, haus gosip.

“Dia ngonten di Amerika, di depan rumah bekas kebakaran besar-besaran yang menimpa LA kemarin. Cuap-cuap ambil video bareng istri dan anaknya, tapi gak izin sama pemilik rumah. Nah orang bule-nya tuh ngamuk, sampe teriak-teriak: ‘This is my house!This is my property!’”

Pakde Karyo tertawa terbahak-bahak. “Wah, itu Unyah Kunyah kayak mendoan dingin yang nyelonong ke wajan panas aja. Niatnya sih untuk bikin sedap, eh malah bikin orang mendidih!”

Tak mau ketinggalan, Jumadi pun turut menimpali. “Netizen luar negeri sampe bilang begini: ‘Wakanda, what’s happening with your people?’”

Seperti dongkol karena mendengar hal itu, Rina geleng-geleng kepala. “Kita ini kan bangsa yang katanya santun dan adi luhung. Tapi liat, duuuh… gara-gara wakil rakyat kayak gitu, kita malah jadi bahan tertawaan dunia.”

Di tengah seru-serunya obrolan itu, sebuah motor berhenti, dan Arif, seorang kuli bangunan, turun. Seraya meluruskan punggungnya yang pegal, ia berujar, “Eh, kalian tau gak si Parel Bramakumbara? Bikin video flexing di Gedung DPR lho!”

“Flexing apaan lagi?” tanya Tuti penasaran.

Arif nyengir. “Dia jalan-jalan di tangga DPR, sambal bilang, ‘Ini tangga demokrasi! Tangga sejarah!’ Hehehe kocak kan, padahal itu tangga udah diinjak ribuan OB sama office boy tho.”

“Pantesan rakyat makin gak percaya,” ujar Rina. “Tangga doang diframing, dibikin kayak monumen kemerdekaan.”

Pakde Karyo menimpali sambil kembali menuang adonan gorengan ke loyang. “Tangga demokrasi itu semestinya buat rakyat naik tho, bukan malah buat nambah views YouTube.”

Tuti yang makin penasaran bergegas ikut membuka-buka video di ponselnya, namun dia justru menemukan kasus lainnya. “Eh, lihat nih, si Dedek Macan Ompong juga gak mau kalah lho! Ini juga lagi viral kemarin dia pamer steak seharga dua juta lebih, pas pemerintah baru saja memulai program makan bergizi gratis.”

“Apa!” jerit Jumadi yang hampir saja tersedak bakwan yang tengah dikunyahnya. “Dua juta? Itu duit segitu bisa buat traktir satu kampung makan gorengan di sini kan?!?”

Sambil tersenyum tipis yang agak sinis, Pakde Karyo mengangguk-angguk bijak. “Itu kayak makan risol di restoran bintang lima. Rasanya sama, tapi harganya bikin nyesek.”

Makin bersemangat, Rina mengangkat ponselnya, ia pun mulai membacakan komentar netizen. “Liat nih, ada buruh yang nulis: ‘Kami kerja keras juga, Pak, tapi cuma bisa makan nasi sama garam.’”

Semua terdiam sejenak. Hanya suara minyak yang mendidih mengisi keheningan.

Senyap sejenak menyelimuti, hanya terdengar nafas orang-orang yang terdengar sesak dan berat. Mereka seperti membayangkan betapa bertolak belakangnya kehidupan dan kesejahteraan mereka dibandingkan parapara wakilnya yang di parlemen. Sampai akhirnya, Pakde Karyo memecah keheningan sesaat itu, suaranya pelan tapi penuh makna. “Kalian semua ngerti gak? Medsos itu kayak bensin lho. Nah konten itu bara apinya. Kalau isi konten itu sensasi semua, ya rakyat kayak kita ini yang kebakar. Angus, angus deh, sampai gosong!”

Sambil mengangguk-angguk setuju, Tuti mengimbuhi, “Dan mereka, wakil rakyat itu, sepertinya lupa kalau bensin itu juga gampang meledak tho? Sewaktu-waktu, kemarahan rakyat pasti bisa meledak!”

Nanar, Jumadi menatap gorengan di piringnya. “Tapi, De, kenapa ya mereka masih tetap saja terpilih?”

Pakde Karyo tersenyum getir. “Karena kita, rakyat kecil, seringnya cuma liat bungkusnya aja, bukan isinya. Padahal, gorengan yang enak itu bukan karena bungkusan plastiknya tho, tapi karena adonan yang matang dan gak kebanyakan minyak.”

Semua orang mengangguk, menikmati filosofi sederhana dari sang tukang gorengan yang diaggap legendaris tersebut. Lalu, mereka melanjutkan ngemil gorengan dan ngopi. Bagaimanapun, hidup harus terus berjalan, walau bara api keadilan masih menyala-nyala di hati rakyat kecil. Sampai nanti nyala itu akan padam, atau justru meledak meluluh lantakkan negeri ini. []