Politik Meja Makan

Oleh Taufan S. Chandranegara, praktisi seni, penulis.

Berpolitik, sebagai ahli politik alias politikus. Barangkali sebutan tertepat jadi keren deh. Niccolo Machiavelli, masih menjadi nomor satu kalau mendekati ranah tindakan politik bernalar filosofi, sekalipun di sisi lain Francis Bacon, salah satu tokoh penetapan dasar-dasar empirisme melalui metode induktif, berdasarkan fakta-fakta dan seterusnya. Duh pengejawantahannya jadi ribet dong. Belok aja deh. Jreng!

Lantas ada politik perdamaian, sebut saja politik jabat tangan, maka bertemulah politik perdamaian bagi kemaslahatan publik sebuah negara manapun, misalnya, ada pula politik gencatan senjata sesuai kebutuhan politik meredakan sementara waktu karena kebutuhan komunikasi perdamaian, untuk kembali ke meja perundingan menuju penyelesaian perang lewat seni politik dialogis.

Apa bedanya sih politik jabat tangan dengan politik gencatan senjata atau pun politik dialogis, hiks. Sama aja kale, kalau menilik ranah demi kepentingan kemaslahatan publik sebuah negeri dimanapun. Alangkah indahnya kalau dunia tanpa peperangan fisik di tekno perang makin canggih mengerikan, konon pula ngerinya membayangkan ledakan bom nuklir Hirosima dan Nagasaki, sungguh membuat dunia tafakur prihatin, demikian singkatnya di kesejarahan sebagaimana tertulis peristiwa tersebut.

Konotasi perang, horor, mengerikan, menjengkelkan terkadang juga menggemaskan. Apalagi ketika melihat tokoh sebuah negara loyo karena kalah perang, akibat kesadaran dalam perlawanan publik secara terbuka, tokoh tersebut mendadak seperti ayam saos asem manis. Menunduk lesu seolah-olah menyesal telah melakukan kejahatan perang.; Apa iya begitu.

Sang tokoh perang biasanya baru sadar setelah kalah total, lantas mendadak menjadi pecundang, pesakitan. Ini terjadi dalam sejarah pemimpin negara pemicu perang dengan negara tetangganya menjadi perang turun temurun lantas menjadi komoditi berita dunia; ada banyak tokoh kemudian dipermalukan oleh rakyatnya sebab sang tokoh dulunya sangat tak toleran alias diktator, fasis nan rasis di negerinya sendiri apalagi di negeri jajahannya.

Ada banyak pendapat apa arti perang. Lantas tujuan berpolitik apakah saling mengepalkan tangan untuk berperang dalam arti beragam, entahlah. Apa sesungguhnya tujuan perang bagi manusia. Apa betul untuk memerangi ketidak adilan. Yakin tuh. Ataukah  dalam rangka isme ini itu guna pencapaian tujuan kekuasaan; memperluas ranah abstraksi kelain sebagainya; tengah sembunyi di balik kedok kekuasaan untuk kemaslahatan publik, misalnya loh, ehem.

Diponegoro, marah pada kolonial. Berkobar perang Jawa di masa Diponegoro (1828-1830) akibat terancam terampas hak tanahnya oleh kaum kolonial. Untuk Pangeran Diponegoro, bukan soal sejengkal tanah miliknya akan dicatut kolonial. Esensial, arti cinta kepada negerinya; sekalipun sejenkal, tanah negerinya ini, tidak boleh dikangkangi kolonial pada masanya. Kolonial perdagangan modern, ada enggak ya.

Seluas langit penetrasi pandangan pangeran Diponegoro. Sejarah itu pula kekinian memberi pemandangan luas kepada sutradara, Teguh Karya, pada eranya.; Jadilah epos film November 1828, (1979).

***

Jakartasatu Indonesia, Januari 20, 2025.

Salam NKRI Pancasila. Banyak kebaikan setiap hari.