Yang Salah Pagar Laut, Bukan Mulyono

Smith  Alhadar
Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)

Setelah isu pagar laut di Banten lama terkatung-katung, Presiden Prabowo Subianto memerintahkan TNI Angkatan Laut membongkar pagar yang masih diliputi misteri itu. Tak tanggung-tanggung  600 marinir dari pasukan katak pimpinan Brigjen Harry Indarto membongkar pagar illegal yang membentang sepanjang 30,16 km. Kendati untuk sementara Prabowo mendapat credit point yang sangat ia butuhkan untuk menepis anggapan bahwa ia tak berdaya menghadapi oligarki yang bersekongkol dengan Mulyono, pembongkaran pagar laut belum menjawab pertanyaan publik tentang siapa pelakunya.

Pembongkaran pagar laut yang harus dilakukan pasukan katak dari TNI AL – sementara kementerian terkait bungkam atas isu ini – mengisyaratkan ada kekuatan besar yang menyeret banyak pihak di balik proyek ini. Tindakan Prabowo membongkar pagar tanpa merasa perlu mencari dalangnya justru merupakan langkah mundur, seolah yang salah adalah pagar. Bambu-bambu dari hutan berbondong-bondong datang ke perairan Banten untuk berendam secara illegal selama tujuh bulan di sana. Dan seolah mereka adalah para bandit yang harus berhadapan dengan pasukan elite AL.

Langkah Prabowo harus dilihat hanya sebagai upaya meredam gejolak sosial yang terus bereskalasi, bukan untuk membongkar pelaku kejahatan di baliknya yang pasti diketahui Prabowo. Ia takut kalau isu pagar laut di Banten – yang akan dijadikan proyek Pondok Indah Kapuk 2 (PIK 2) tak segera ditangani, masalah serupa akan menjalar ke isu pemugaran laut di Pulau Sangiang, Pulau Pari, Wawoni, hingga Serdang Bedagai, sebagaimana diungkap LSM Setara. Menurut Bocor Halus Tempo, sebelum Presiden memerintahkan AL membongkar pagar itu, terlebih dahulu utusan Prabowo bertemu Sugianto Kusuma alias Aguan.

Memang selama ini para aktivis menghubungkan proyek PIK 2 dengan Agung Sedayu Grup milik Aguan dan perusahaan milik Antony Salim. Masalah jadi eksplosif karena pemugaran laut yang dilakukan di era Mulyono bertentangan dengan perundang-undangan, merusak lingkungan, dan merugikan nelayan. Hasil tangkapan ikan merosot, sementara mereka harus mengeluarkan biaya operasi yang lebih besar karena pagar laut menyulitkan akses mereka ke laut. Dus, tidak masuk akal argumentasi yang menyatakan pagar laut yang berbiaya mahal dibuat oleh penduduk lokal guna mencegah abrasi dan memudahkan  penangkapan ikan.

Kepemilikan lahan darat dan laut juga didapat melalui berbagai muslihat, seperti menelikung perundang-undangan, manipulasi administratif, intimidasi terhadap pemilik lahan agar menjualnya dengan harga yang sangat murah. Semuanya dilakukan dari pusat yang melibatkan penguasa, badan pertanahan, mafia pertanahan, para preman, hingga kelurahan di tingkat lokal. Persekongkolan besar ini menggambarkan besarnya nilai bisnis yang dipertaruhkan. Laut yang dipugar akan diintegrasikan ke lahan darat sehingga PIK 2 yang akan dihuni kaum kaya dari kelompok minoritas menjadi lebih luas dan strategis.

Batas laut yang dipagari akan direklamasi sehingga lebih banyak fasilitas dan perumahan yang akan dibangun di sana. Dus, menambah keuntungan berlipat ganda. Untuk memudahkan pencaplokan tanah dan laut, Mulyono menjadikannya  Proyek Strategis Nasional (PSN). Proyek ini, menurut Ketua Riset dan Advokasi Publik, LBH PP Muhammdiyah, Ghufroni, terindikasi proyek balas budi Presiden Jokowi alias Mulyono kepada Agung Sedayu Grup. “Ini proyek di zaman Jokowi, karena utang budi Jokowi dengan Aguan memberi kontribusi kompensasi IKN,” katanya saat berbicara pada podcast Abraham Samad, 17 Januari 2025.

Memang Tempo pernah memuat pernyataan Aguan bahwa ia dan oligark lain “dipaksa” Mulyono ikut membangun IKN, proyek ambisius yang tidak masuk akal secara ekonomis.  Kini pembangunan IKN terbukti tidak dapat dilanjutkan karena bermasalah dari berbagai aspek. Aguan menyatakan demi menjaga wibawa Presiden, mereka terpaksa memenuhi keinginannya. Biar begitu, Mulyono memberi kompensasi kepada para oligark itu dengan sejumlah proyek menggiurkan yang dilabeli sebagai PSN. Salah satunya, PIK 2. Keterkaitan dengan Mulyono inilah yang kiranya membuat isu pagar laut dibiarkan menjadi misteri.

Prabowo sendiri lebih memilih menyalahkan pagar, bukan Mulyono, guru politiknya. Padahal, pagar takt ahu apa-apa, sementara mereka harus bertarung melawan pasukan katak. Seharusnya Prabowo membiarkan dulu pagar yang tak bisa lari sebagai barang bukti sampai para aktor diungkap. Mencabut pagar, yang dimaksudkan untuk membereskan masalah ini, justru menegaskan ketakberdayaan Prabowo menghadapi Mulyono. Dus, bukan credit point yang akan ia peroleh, melainkan kapasitas leadership-nya kian diragukan. Publik semakin yakin Prabowo tak mampu keluar dari lingkaran setan Mulyono.

Apalagi diturunkannya pasukan katak untuk bertempur melawan pagar, dan bukan kementerian terkait yang seharusnya bertanggung jawab atas skandal yang mengabaikan fungsi negara ini, jelas membuktikan cengkeraman Mulyono atas negara dan pemerintahan bukan khayalan. Peran Mulyono adalah elephant in the room. Karena itu, saya tak ingin berharap banyak pada Prabowo untuk menuntaskan isu ini secara objektif dan fair. Yang ingin saya katakan, isu pagar laut di Banten bak api yang akan merambah ke isu pagar laut lain yang  akan membakar sebagian legitimasi pemerintahan Prabowo. Cinta kita kepada Prabowo adalah cinta yang membuat kita menderita karena cinta kita bertepuk sebelah tangan.

Tangsel, 20 Januari 2025
Smith  Alhadar, Penasihat Institute for Democracy Education (IDe)