Ilustrasi ai | WAW

Sedihnya Digaji 2M Sampai 5M

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Rindangnya pohon beringin tua yang akarnya menjulur laiknya jemari nenek tua yang minta tolong, membuat udara dibawah bayangannya sejuk dan menyegarkan. Dengan santai Karman duduk menikmati suasana sambil mengunyah pisang goreng dingin yang tadi sempat ia beli dengan gaji harian di jalan. Lega rasanya, hari ini, ia berhasil mengantar berkas milik bos perusahaan besar dari kantornya. Sebuah tugas yang katanya penting dan diberikan dengan janji “nanti saya kasih sesuatu yang menarik. Namun nyatanya, yang menarik hanyalah ucapan, “Mantap, Makasih Mas, Maaf Merepotkan,” batinnya getir.
Karman tertawa pahit. “Duh… Dunia ini benar-benar panggung teater,” pikirnya. “Semua orang sibuk memainkan peran mereka, tapi aku? Aku cuma jadi figuran tanpa dialog,” keluhnya dalam hati.
Setiap minggu, Karman berkumpul dengan rekan-rekannya di warung kopi Kafe Filosofi Kopong. Seringkali di sana ada Jaya, pengemudi ojek online yang gajinya tergantung ramalan cuaca. Hadir juga Fitri, lulusan S2 yang kurang beruntung dan kini bekerja serabutan. Hadir juga Sutarno, guru honorer yang mengajar semata demi “pengabdian”—sebuah kata yang terdengar mulia, sampai kita merasa ngilu Ketika tahu bahwa dia seringkali hanya dibayar dengan ucapan Makasih Mas.
“Karman, lo dapet apa dari bos lo kali ini?” tanya Jaya, sembari menyeruput kopi hitam.
“5M,” jawab Karman datar.
“Gila! Serius, Man? Lima miliar?!” teriak Fitri membelalakkan matanya.
“Hahaha…. Bukan, Fit. Lima M itu ‘Mantap, Makasih Mas, Maaf Merepotkan,” jelas Karman sambil mengangkat cangkir kopinya dengan gaya layaknya seorang filsuf mabuk.
Mereka meledak tertawa. Apa boleh buat, humor-humor semacam ini sudah jadi salah satu mekanisme bertahan hidup yang pahit bagi mereka.
Sutarno angkat bicara, “Gue baca filsuf Yunani, Plato pernah berkata, manusia itu adalah hewan sosial. Tapi kok gue rasa, manusia sekarang lebih kayak hewan eksploitasi ya?”
“Waduh, Tar! Jangan bikin kepala gue mendidih, dong,” sela Jaya. “Kita ini hidup bukan di era Plato, tapi di era paylater,” jawabnya ngotot.
Namun tercium aroma bahwa di balik tawa mereka, ada seutas kesedihan yang memanjang, laiknya bayangan senja yang enggan menghilang. Mereka tahu, dunia ini punya hierarki yang lucu, semakin besar jasamu, semakin kecil kemungkinan kau mendapat bayaran setimpal. Seperti Karman, yang pernah diminta menemani bosnya sampai malam untuk “brainstorming proyek besar.” Apa yang ia dapat? Ternyata cuma gaji 3M, Mantap, Makasih Mas.
Saat semua larut dalam lamunan masing-masing, Fitri tiba-tiba memecah keheningan, “Eh… kawan-kawan, lo sadar enggak, ucapan terima kasih itu kayak cinta pertama lho? Manis, tapi cuma sebentar. Sisanya bikin sakit.”
“Tapi kalau enggak ada cinta pertama, kita enggak belajar apa itu patah hati, Fit. Sama kayak kita, kalau enggak pernah dibayar 2M, kita enggak tahu betapa berharganya kata ‘terima kasih’ itu,” ujar Jaya menimpali dengan sok bijak.
Semua mengangguk, tapi kali ini tak ada tawa.
………..
Suatu hari, Karman memutuskan untuk membuat eksperimen sosial. Ia membeli kotak kecil dari pasar loak, menuliskan label “Kotak Terima Kasih,” dan membawanya setiap kali bekerja.
Ketika seseorang berkata, “Makasih Mas,” Karman akan membuka kotak itu dan berkata, “Silakan masukkan ucapan terima kasih Anda di sini. Nanti saya jadikan modal beli makan malam.”
Dus, reaksi orang-orang pun ternyata sangat bervariasi. Ada yang tertawa kikuk, ada yang kesal, dan ada juga yang benar-benar menuliskan “Terima kasih” di selembar kertas dan memasukkannya ke dalam kotak.
Sampai di suatu senja yang hangat, seorang pria tua dengan kemeja lusuh mendekati Karman dan berkata, “Nak, aku enggak punya apa-apa selain ucapan terima kasih. Tapi, ucapan itu tulus dari hati.”
Karman terpaku. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa 2M—atau bahkan 5M — memiliki nilai yang lebih besar daripada sekadar sindiran.
Akhirnya di dunia yang penuh lelucon pahit ini, Karman seperti mendapatkan pencerahan, hidup adalah soal memberi, menerima, dan kadang, menertawakan absurditas itu sendiri. Persis seperti yang dikatakan Albert Camus, “The struggle itself… is enough to fill a man’s heart. One must imagine Sisyphus happy.”
Meskipun sebagian besar orang tentu saja menganggap apa yang dilakukan Sisyphus yang dihukum dewa dengan pekerjaan menggelindingkan batu dari atas bukit, lagu mendorongnya lagi ke atas untuk digelindingkan lagi secara terus-menerus dalah pekerjaan sia-sia, namun seperti kata Albert Camus, “Perjuangan itu sendiri… sudah cukup untuk mengisi hati seorang pria. Kita harus membayangkan Sisyphus bahagia.”
Dan begitulah, Karman terus bekerja. Dengan kotak terima kasihnya, ia mengumpulkan sesuatu yang lebih berharga daripada uang yaitu cerita. Sebab di balik 2M, 3M, atau bahkan 5M yang didapatnya, ada satu M yang selalu ia pegang, yaitu Makna. []