SIAPA YANG SESUNGGUHNYA HANTU LAUT?

Oleh Agung Marsudi

GERIMIS tak juga berhenti, cerita horor Connie belum selesai, kasus Hasto seperti kompetisi bola anak negeri, masih menggelinding ke sana ke mari. Megawati ulang tahun. Sebentar lagi PDIP kongres, FX Rudy usulkan kongres ditarik ke Solo. Wow!

Tak cukup disitu, sebelumnya kader PDIP Solo menggelar aksi cap jempol daerah sebagai tanda siap berkorban sampai titik darah penghabisan untuk menjadikan Ketua Umum Megawati pada Kongres 2025. Wow!

Apalagi, Ketum PDIP Megawati Soekarnoputri mencium adanya gelagat pihak-pihak tertentu akan mengganggu jalannya kongres tersebut. Wow!

Di acara Kenduri Cinta di Plasa Teater Besar Taman Ismail Marzuki, Rocky Gerung mengatakan tanah dan air yang dipisahkan dengan pagar 30,16 kilometer itu paradoks di negeri ini. Wow!

Kali lain, di akun resminya RG juga bilang, “Waktu jadi presiden nyusahin rakyat, waktu jadi rakyat nyusahin presiden”. Wow!

Pagar makan tanaman, biasa. Tanaman makan pagar, biasa. Lalu “Pagar makan lautan”, ini baru luar biasa. Apakah tidak paradoks, jika pagar makan lautan. Katanya, Aguan yang memerintahkan memagari laut, lalu presiden memerintahkan angkatan laut untuk mencabut pagar laut.

Siapa sesungguhnya yang hantu laut? Ingat semboyan “Jalesveva Jayamahe”. Justru, Di laut Kita Jaya.

Siapa yang tidak “Wow!” di negeri ini, sebab gerimis belum juga berhenti. Cerita tentang betapa paradoksnya negeri ini. Paradoks Indonesia.

Kehormatan seorang presiden adalah ketika ia benar-benar berani mentaati dan menegakkan konstitusi. Para pendiri bangsa ketika menyusun UUD 1945, baik di dalam naskah Pembukaan maupun barang tubuhnya tak pernah menyebut satupun kata “demokrasi”.

Para pendiri bangsa, menyusun UUD 1945 dengan cita-cita luhur untuk melindungi “segenap bangsa” bukan untuk segelintir “warga negara” yang kini justru menguasai seluruh sumberdaya alam milik “bangsa” Indonesia.

Indonesia didirikan untuk bangsa. Karena kemerdekaan diraih dengan tetesan darah, perjuangan hidup dan mati, jiwa dan raga. Karenanya pada pendiri bangsa menuangkannya dalam pasal 33 UUD 1945, ” Bumi dan Air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat”.

Ibu Pertiwi menangis, melihat anak-anaknya menjadi kuli di negeri sendiri, tersingkir dari tanah dan air”

Tak sepantasnya kita mereduksi cita-cita luhur para pendiri bangsa, dengan seenaknya mereduksi makna “bangsa” menjadi “warga negara”.

Lalu untuk apa “Indonesia Merdeka?” Jika janji kesejahteraan hanya dibayar dengan utang. Bangsa yang berjuang, tapi “mereka” yang kenyang menikmati kekayaan, mengatur para aparatur dengan uang.

Solo, 25 Januari 2025