Oligarki Global, Kapitalisme Gombal, dan Jeritan Palsu Kaum Demokrat
Oleh Bumi Yani
Lawakan ketoprak kalah lucu oleh lelucon para politisi partai Demokrat Amerika Serikat. Presiden Joe Biden, dalam pidato perpisahannya meninggalkan Gedung Putih yang digantikan oleh presiden terpilih Donald Trump, mengecam semakin berkuasanya para oligark di negeri Paman Sam.
Biden lupa atau pura-pura tidak tahu atau malah sama sekali tidak punya wawasan bahwa lahirnya oligarki atau penumpukan modal dan kekuasaan adalah konsekuensi logis dari kapitalisme, dan kapitalisme adalah ibu kandung dari demokrasi. Jadi Biden menangisi sesuatu yang tidak perlu ditangisi. Komplain Biden ibarat memprotes cabe yang rasanya pedas. Tidak perlu dan bikin geli.
Dengan nada penuh kekhawatiran Biden memberikan peringatan akan besarnya bahaya oligarki di Amerika yang tidak hanya cukup menguasai ekonomi tetapi juga telah merambah bidang politik. “Saat ini oligarki sedang terbentuk di Amerika dengan kekayaan, kekuasaan, dan pengaruh ekstrem yang benar-benar mengancam seluruh demokrasi kita, hak-hak dasar dan kebebasan kita,” kata Biden pada pidato terakhirnya beberapa hari sebelum meninggalkan Gedung Putih.
Namun Biden setidaknya dalam hati kecil mengakui bahwa partainya, yaitu partai Demokrat yang dikenal sebagai pengusung liberalisme tanpa batas serta kapitalisme murni, mengatakan oligarki yang sedang tumbuh di Amerika sekarang adalah buah hasil dari pekerjaan mereka-mereka juga. Kata Biden, oligarki sekarang adalah dampak “dari semua yang telah kita lakukan bersama”. Benih oligarki sudah ditanam, dan akan tumbuh serta berkembang dalam beberapa dekade mendatang, tambah Biden.
Tidak cuma itu, Biden juga mengkhawatirkan kompleks industri teknologi yang sangat kaya dengan topangan kapital super besar dapat memiliki kekuasaan yang tidak terkendali atas warga Amerika. Bisa jadi yang disindir kali ini oleh Biden adalah orang-orang terkaya di dunia seperti Elon Musk dan Mark Zuckerberg yang merapat ke Presiden Trump.
Sebagai orang terkaya di dunia dengan kekayaan sekitar 427,5 miliar dolar AS, Elon Musk dikabarkan menempati posisi penting dalam pemerintahan Trump dan berkantor di Gedung Putih. Kabar ini santer terdengar dan ditulis oleh media Amerika meskipun sampai sekarang posisi apa yang dijabat Elon belumlah jelas. Jumlah kenaikan kekayaan Elon cukup besar setelah Trump menang. Sebelumnya jumlah kekayaannya berkisar di angka 300 miliar dolar.
Elon tidak hanya akan berpengaruh di dalam negeri Amerika tetapi dia juga disebut-sebut akan memiliki pengaruh pada politik Eropa. Peran baru Elon dalam politik Amerika tidaklah mengejutkan karena dia membentuk organisasi bernama The America PAC (Political Action Committee) yang membiayai kampanye Trump dalam pilpres baru lalu. Organisasi ini melibatkan para pebisnis bidang teknologi yang kemudian mengumpulkan 277 juta dolar untuk kampanye Trump.
Hubungan Elon dan Trump sudah berlangsung lama. Hubungan ini mungkin juga disebabkan oleh karena mereka berasal dari almamater yang sama yaitu Sekolah Bisnis Wharton, Universitas Pennsylvania. Elon alumni tahun 1997, sementara Trump alumni tahun 1968 – jaraknya terpisah 29 tahun – dan kini mereka sama-sama menjadi pengusaha sukses Amerika.
Elon Musk dikabarkan bukanlah satu-satunya pengusaha yang akan diberikan jabatan oleh Trump dalam pemerintahannya, namun juga terdapat nama-nama pengusaha besar lainnya. Jika digabungkan kekayaan para pengusaha itu maka total aset mereka mencapai 383 miliar dolar AS – jumlah yang lebih besar daripada PDB 172 negara. Angka ini adalah taksiran sebelum kekayaan Elon meningkat tajam setelah kemenangan Trump. Sekarang tentu jumlah kekayaan para pebisnis itu sudah pasti meningkat pesat.
Tidak cuma Presiden Joe Biden dari partai Demokrat yang mengeritik semakin berkuasanya oligarki di Amerika. Bulan Desember 2024 lalu politisi Demokrat Bernie Sanders membuat pidato yang menjadi perbincangan publik Amerika yang berisi keprihatinan yang sama dengan Biden. Pidato Biden bagi sebagian kalangan di Amerika dianggap sebagai satu rangkaian dengan pidato Sanders.
Pidato Sanders, seorang politisi berdarah Yahudi, adalah pidato terakhirnya sebelum mengakhiri masa jabatan di senat Amerika. Sanders berbicara kepada konstituen yang memilihnya dan menjadi bentuk pertanggungjawaban ke publik.
Bernie Sanders memberikan peringatan kepada Amerika yang “dengan cepat” menjadi negara oligarki yang dipimpin oleh para triliuner untuk memperkaya diri mereka sendiri. “Kita sedang bergerak cepat menuju bentuk masyarakat oligarki,” kata Sanders.
Sanders mengeluhkan “masyarakat oligarki” yang muncul sekarang tidak pernah terjadi dalam sejarah Amerika sebelumnya. Dia mengatakan kini di Amerika ada begitu sedikit orang super kaya yang kekayaannya begitu fantastis. Tidak cuma itu, orang-orang kaya ini juga sekarang memiliki kekuasaan baik secara langsung atau tidak yang mengendalikan politik.
“Belum pernah terjadi begitu banyak konsentrasi kepemilikan, sektor demi sektor, kekuatan Wall Street,” kata Sanders. “Orang-orang di atas memiliki kekuatan politik sebesar itu. Kita tidak bisa keliling dunia dan berkata, ‘Oh, tahukah Anda, di Rusia Putin punya oligarki.’ Nah, oligarki juga ada di sini,” kata Sanders.
Bagi Sanders, yang tampak dalam kutipan pidatonya itu, bahwa sekarang Amerika tidak lebih baik daripada Rusia di bawah Putin yang telah berkembang menjadi negeri oligarki yang dalam. Yang menggabungkan kekuasaan ekonomi dan politik menjadi satu di tangan segelintir elit – elit yang sangat dekat dengan Putin, dan harus mendukung kekuasaan Putin tanpa syarat.
Sanders mengecam pengaruh orang-orang kaya pada pemilu lalu dengan mengatakan bahwa “miliarder menghabiskan banyak uang untuk memilih kandidat mereka”. Lanjutnya, “Pada tahun 2024, hanya 150 keluarga miliarder yang menghabiskan hampir 2 miliar dolar untuk membeli kandidat.”
Keprihatinan Biden dan Sanders dirasakan oleh banyak warga dan simpatisan Demokrat. Tapi apa mau dikata, nasi sudah jadi bubur. Amerika telah terperosok menjadi negara dengan kesenjangan yang sangat besar. Sedikit orang menguasai sumber daya yang sangat besar, sementara di banyak tempat banyak warga tidak punya asuransi kesehatan serta untuk bisa makan terpaksa harus menunggu kupon jatah ransum dari pemerintah.
Gerakan melawan kesenjangan yang meminggirkan mayoritas warga ini sudah lama muncul. Pada tahun 2011, misalnya, muncul gerakan bernama “Occupy Wall Street” selama hampir dua bulan di Kota New York yang dilakukan oleh kelompok kiri. Namun setiap kali ada gerakan atau opini yang berpihak pada orang miskin maka para pembela kapitalisme dan demokrasi liberal akan memberikan label kepada mereka sebagai “kaum sosialis”.
Kaum yang menamakan diri kelompok 99% ini – nama yang diambil dari mayoritas orang miskin dan menderita, yang dikontraskan dengan kaum 1% kelompok super kaya – mengecam dengan keras lebarnya jurang kaya-miskin yang terjadi di Amerika. Ketidakadilan ini bersifat struktural akibat kebijakan yang dibuat oleh negara. Sementara kelompok super kaya 1% semakin kaya, di pihak lain kelompok 99% kaum miskin semakin miskin dari hari ke hari.
Patut disayangkan, karena kaum kiri yang menginisiasi gerakan “Occupy Wall Street” itu tidak langsung membongkar dan menyerang sumber kesenjangan, maka gerakan mereka seperti tak berbekas. Terkesan aktivisme mereka hanya untuk mendapatkan liputan media tanpa mengubah secara mendasar bangunan yang memunculkan kesenjangan. Yang lebih ironis, setelah dua bulan berdemonstrasi dengan nama yang gagah, “Duduki Wall Street”, sebuah nama yang menjadi simbol pusat finansial dan kapitalisme global, gerakan itu hilang secara perlahan.
Mestinya mereka tidak hanya menyerang kapitalisme tetapi juga mengusulkan dibubarkannya demokrasi yang menjadi anak kandung kapitalisme. Anak kandung ini dalam perjalanannya memperkuat posisi kapitalisme melalui kebijakan yang berpihak ke kaum 1%. Bahkan tidak jarang anak kandung ini jauh lebih digdaya dan berkuasa daripada induknya.
Tapi itu tidak terjadi. Para aktivis memandang demokrasi merupakan entitas yang terpisah dan sama sekali tidak ada hubungannya dengan kapitalisme. Fokus mereka menyerang sistem ekonomi dan sama sekali tidak menyerang sistem politik yang memperkuat kedudukan sistem ekonomi yang melahirkan kesenjangan yang lebar.
Para aktivis yang mulai sadar bahwa kapitalisme ternyata cuma ideologi gombal yang melahirkan ketidakadilan ekonomi, paling tidak mereka turun ke jalan untuk mengubah keadaan dan memantik kesadaran publik dengan retorika ketidakadilan dan yel-yel yang heroik. Mereka jauh lebih nyata tindakannya daripada politisi Demokrat yang hanya bisa omon-omon dan
omon-omon mereka pun sangat palsu dan dangkal.
Jangan-jangan kaum Demokrat cuma iri saja ke partai Republik yang kini penuh diisi pengusaha-pengusaha super kaya seperti Elon Musk dan Mark Zuckerberg. Mungkin lain cerita bila para pengusaha kaya itu mendukung partai mereka. Dugaan ini sangat kuat muncul bila kita memperhatikan secara seksama isi kritik mereka ke oligarki.
Tidak ada hujan tidak ada angin, kok tiba-tiba komplain dengan munculnya oligarki. Seperti orang yang komplain bahwa cabe itu pedas. Pretlah!