Bung Effe dalam Kenangan

Oleh Budiana Irmawan

Hidup ibarat naik  sepeda. Jangan pernah lelah untuk terus mengayuh jika kita tidak ingin terjatuh.

Makna hidup yang saya kira tepat menggambarkan Bung Effe. Ia seorang aktivis senior Bandung tanpa henti hingga akhir hayatnya menyuarakan pembelaan kepada kaum tertindas.

Penggusuran tanah rakyat Badega, Cimacan, Cibeureum sederet contoh kasus pada era rezim totaliter Orba berkuasa, Bung Effe berani tampil paling depan melakukan advokasi.

Dari proses intensif pendampingan itu lahir LBHN (Lembaga Bantuan Hukum Nusantara).

Bung Effe meyakini perlu organisasi bantuan hukum yang dilandasi semangat pro bono atau kesukarelaan. “Orang-orang tertindas mayoritas miskin tidak mungkin mampu membayar pengacara, dan LBHN hadir di tengah mereka”, tegasnya.

Pilihan hidup Bung Effe membedakan dengan para pengacara lain. Tidak terlalu silau oleh gemerlap kemewahan, kendati ia juga menyadari tuntutan biaya hidup sangat berat.

Jauh sebelum ramai kasus pagar laut. Tahun 2015 saya bersama Bung Effe memfasilitasi pelatihan paralegal warga Dadap Tangerang korban penggusuran. Lalu berkeliling mendampingi korban pinjaman online (Pinjol).

Dalam kondisi keterbatasan keuangan, Bung Effe terus melangkah.
Padahal, kalau sedikit saja mengabaikan gengsi relatif mudah meminta bantuan kepada junior- juniornya yang sudah memiliki jabatan penting.

Bagi Bung Effe, biar miskin tetapi harga diri harus dijaga.

Namun ia lupa menjaga kesehatan. Sinyal tubuh mulai rentan beberapa tahun terakhir yang Bung Effe keluhkan diabaikan.

Sampai Yang Maha Kuasa menjemputnya dan ia pun berhenti mengayuh sepeda kehidupan.

Bung, sampai jumpa dalam kenangan…