PRESIDEN PRABOWO JANGAN BERMAIN-MAIN DENGAN EMOSI RAKYAT
S. Indro Tjahyono
Eksponen Gerakan Mahasiswa 77/78 dan Penggiat Jaringan Aktivis Lintas Angkatan (JALA)
Evaluasi 100 hari pemerintahan Prabowo Subianto ditandai dengan tingginya tingkat kepuasan terhadap kinerjanya sebesar 80,9 persen dan tingkat keyakinan ke depan sebesar 89,4 persen. Angka ini jauh lebih besar dari penilaian 100 hari atas kinerja Jokowi (Joko Widodo) yang hanya mencapai 65 persen. Penilaian terhadap Prabowo yang sangat positif mungkin terkait dengan sikap kerja keras para pembantunya yang tidak mengenal hari libur.
Penilaian yang tinggi ini berkejar-kejaran dengan rasa penasaran publik yang ingin melihat bagaimana ia bisa mengatasi “sampah-sampah” yang ditinggalan oleh rejim Joko Widodo sebelumnya. Salah satu pekerjaan rumah besar yang harus dihadapi adalah hutang yang harus dibayar sebesar Rp 800,33 triliun pada 2025 belum termasuk bunga.
Prabowo Harus Meredefinisikan Hubungan dengan Oligarki
Selain itu ia juga harus menghadapi banyaknya skandal korupsi dan kebocoran di berbagai bidang yang baru terbongkar. Termasuk banyaknya kebijakan yang dikeluarkan dengan memanipulasi ketentuan peraturan perundang-undangan. Kalau semua ini dikategorikan korupsi, maka betapa banyak pekerjaan yang harus diselesaikan oleh Prabowo yang telah sesumbar bertekad akan membrantas korupsi.
Prabowo juga harus meredifinisikan hubungan pemerintah dengan kekuasaan oligarki yang oleh Jokowi selama ini telah diberi peluang dalam mengembangkan bisnisnya secara sporadis. Bahkan para oligarki itu sudah menjadi entitas yang begitu powerfull dalam mempengaruhi kebijakan pemerintah, sampai-sampai mereka bisa bilang “mulutku adalah undang-undang”.
Keberadaan entitas para oligarki ini menciptakan adanya gejala “negara dalam negara” di Republik Indonesia tercinta ini. Tata negara dan tata kelola pemerintah bisa mereka atur sesuai kemauan mereka, bahkan mereka bisa membuat regulasi bersekongkol dengan para birokrat untuk melancarkan bisnisnya. Salah satu contoh adalah dibongkarnya kasus pensertifikatan kawasan laut oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan pemagaran laut secara ilegal.
Indikasi Kebohongan dalam Penegakan Hukum
Pensertifikatan bidang pada kawasan laut itu bukan hanya terjadi di Propinsi Banten, tapi ternyata tersebar di berbagai provinsi. Padahal pensertifikatan laut bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-VIII/2010 tentang Ruang Laut Tidak Dapat Diberikan Hak Kepemilikan. Luas bidang biasanya dipecah-pecah seluas 2,5 hektar agar pembuatan sertifikat masih menjadi kewenangan Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten , dan bukan Kantor Wilayah BPN Provinsi.
Terhadap pagar laut yang dibangun secara misterius sepanjang 30 kilometer di Kabupaten Tangerang Provinsi Banten, Presiden Prabowo Subianto telah mengeluarkan perintah kepada Angkatan Laut Tentara Nasional Indonesia untuk melakukan pencabutan walaupun ditentang oleh Menteri Kelautan dan Perikanan. Berikutnya Menteri ATR/Kepala BPN pada 22 Januari 2025 berujar akan mencabut dan membatalkan sertifikat 263 bidang tanah tanpa pengadilan berdasar Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021.
Namun pada tanggal 24 Januari 2025 diumumkan bahwa ternyata sertifikat yang dicabut atau dibatalkan secara resmi oleh Menteri ATR/Kepala BPN hanya berjumlah 50 sertifikat di desa Kohod, Kecamatan Pakuhaji, Kabupatan Tangerang, Provinsi Banten. Menteri ATR/Kepala BPN malah memecat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Tangerang, bukan membatalkan dan mencabut ratusan “sertifikat bodong SHM dan SHGB” yang telah dikeluarkannya. Informasi ini, jika benar, membuktikan bahwa Kementerian ATR/Kepala BPN terindikasi melakukan kebohongan publik.
Blunder Di Sana Sini
Bukan hanya soal pencabutan sertifikat kawasan laut, pemerintahan Prabowo juga blunder ketika menyatakan tak perlu takut dianggap lakukan deforestasi karena menanam sawit. “Namanya kelapa sawit, ya pohon, kan”, ujarnya. “Benar nggak, kelapa sawit itu pohon ada daunnya kan? Dia menyerap karbondioksida. Dari mana kok kita dituduh mboten-mboten saja oleh orang-orang itu”, tambahnya.
Kejanggalan-kejanggalan ini berlangsung menyusul blunder ketika menaikkan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12% untuk menutup defisit Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN). Berbagai indikasi kebohongan dan blunder dari Pemerintahan Prabowo dikhawatirkan merupakan hasil kongkalikong dengan mantan Presiden Jokowi. Termasuk tertunda-tundanya pertemuan Presiden Prabowo Subianto dengan Megawati Sukarnoputri.
Untuk mengatasi krisis keuangan yang berat, saatnya Presiden Prabowo Subianto berani bersikap tegas dan melepaskan berbagai komitmen tersembunyi (hidden agreement) dengan mantan Presiden Jokowi yang sudah menjadi rahasia umum itu. Ini sama ruwetnya seperti ketika Raja Louis XVI menghadapi krisis keuangan akibat pengeluaran membiayai perang antara Perancis dengan Inggris Raya serta akibat Perancis memberi bantuan untuk Kemerdekaan Amerika.
Krisis Keuangan dan Kesenjangan
Krisis keuangan di Indonesia selama 10 tahun pemerintahan mantan Presiden Jokowi terjadi akibat pembangunan infrastruktur yang ugal-ugalan, megakorupsi, kebocoran, dan angka investasi yang merosot tajam. Hutang yang ditinggalkan Jokowi berjumlah 8000-20.000 triliun rupiah. Kondisi ini telah menciptakan kewajiban pembayaran utang yang sangat besar di atas 800 triliun rupiah per tahun. Pembayaran utang ini ujung-ujungnya tentu akan menjadi beban bagi seluruh rakyat.
Di tengah-tengah situasi tersebut anehnya justru lahir kelas elit yang disebut crazy rich yakni “kaum 1%” yang menguasai mayoritas kekayaan nasional atau lebih dari 30,16% aset rumah tangga nasional (World Inequality Lab). Kesenjangan tercermin karena di satu pihak ada kelas yang bisa bepergian menggunakan jet pribadi, di lain pihak ada masyarakat yang masih hidup dari sampah. Sementara kelas menengah ke bawah juga terus mengalami proses pemiskinan dengan tingkat kemiskinan 9,03% per Maret 2024.
Menjelang lahirnya Revolusi Perancis terjadi juga terjadi kesenjangan antara tiga golongan (estates) yang ada di masyarakat. Golongan Pertama adalah golongan rohaniawan gereja, Golongan Kedua adalah golongan elit (para bangsawan), dan Golongan Ketiga adalah mayoritas kelas menengah dan rakyat jelata. Golongan Pertama dan Kedua (di Indonesia bisa disebut kroni rejim berkuasa) memiliki berbagai hak istimewa seperti pembebasan pajak, monopoli jabatan pemerintahan, dan memperoleh uang pensiun.
Rakyat Diharuskan Menanggung Defisit
Namun sama seperti di Indonesia, ketika Perancis mengalami krisis keuangan justru Golongan Ketigalah yang dijadikan sasaran untuk kenaikan pajak. Hal ini membuat Golongan Ketiga sebagai anggota Majelis Legislatif dan Konsultatif (Estates General) berdebat dan menuntut agar Golongan Pertama dan Golongan Kedua sebagai pemilik hak istimewa yang membayar pajak.
Setelah menemui jalan buntu ,Golongan Ketiga mengajak beberapa reformis dari Golongan Pertama dan Golongan Kedua mengadakan sidang sendiri dan membentuk Majelis Nasional (The National Assembly) untuk menyusun konsitusi baru Perancis. Pembentukan Majelis Nasional ini menambah kebencian massal kepada Kerajaan (Monarki), apalagi menyaksikan tingkah polah Golongan Kedua yang selalu pamer kekayaan di tengah krisis ekonomi yang memburuk.
Dualisme Majelis Legislatif dan Konsultatif (Estates General) dan Majelis Nasional (The National Assembly) di Perancis ini mencerminkan dualisme yang kini terjadi di Indonesia antara Negara (State) dan Masyarakat Sipil (Society) yang meruncing sejak rejim Jokowi berkuasa hingga saat ini. Konflik antara para cerdik-cendekia sebagai bagian masyarakat sipil yang kritis dengan pemerintah yang mengeluarkan kebijakan yang tidak etis dan bermoral telah terjadi dengan dahsyat.
Saatnya Tidak Ada Lagi Kebohongan Publik
Kini tuntutan emosional agar mantan Presiden Jokowi diadili menggema di mana-mana, apalagi dengan ditempatkannya Jokowi sebagai Presiden Terkorup Sedunia. Kemandirian pemerintahan Prabowo Subianto diuji dalam menghadapi tuntutan agar Jokowi diadili terkait dengan kejahatan atas hukum dan konstitusi serta kejahatan akibat kebijakannya yang merugikan rakyat.
Dalam hal ini Raja ataupun Presiden tidak boleh bermain-main dengan emosi publik, seperti ketika Raja Louis XVI berpura-pura melunak untuk meminta Golongan Pertama dan Kedua bergabung dengan Majelis Nasional yang diprakarsai Golongan Ketiga untuk bersama-sama merumuskan konstitusi baru pada Majelis Konstituante Nasional. Namun diam-diam Louis XVI ternyata berbohong karena di lain pihak justru mengkonsolidasi pasukan untuk membubarkan Majelis Nasional.
Kebohongan yang dilakukan oleh Luois ke XVI tersebut justru berujung fatal yang mencetuskan Revolusi Perancis. Hal inilah yang memicu rakyat pada 14 Juli 1789 melakukan aksi massa menyerbu penjara Bastille, bui di Kota Paris yang menjadi simbol tirani Raja Luois XVI. Sementara itu Majelis Konstituante Nasional berhasil menerbitkan Deklarasi Hak-hak Manusia dan Warga Negara yang kemudian ditolak oleh Raja.
Penolakan Raja Louis XVI ini lagi-lagi mendorong aksi massa yang sangat besar yang memaksa keluarga kerajaan keluar dari Istana Versailles. Setelah itu dibentuk Majelis Rakyat baru yang disebut Konvensi Nasional yang menghapus monarki dan mendeklarasikan Perancis sebagai republik, sehingga tamatlah kekuasaan Raja Louis XVI.
Kebohongan publik yang dilakukan orang perorang mungkin tidak ada artinya, tetapi kebohongan publik yang dilakukan oleh seorang kepala negara bisa berakhir fatal***