ilustrasi ai | WAW

Tragedi Simpanan Aktivis

Cerpen
Wahyu Ari Wicaksono
Aku pernah percaya, dengan segenap otot dan urat idealisme, bahwa dunia ini bisa diubah dengan pidato lantang dan aksi massa. Aku pernah yakin, dengan setengah gila, bahwa jika seorang pemuda umur di bawah tiga puluh tahun tak berteriak “hidup rakyat!”, maka ia gila. Namun, aku juga tahu, dengan sisa-sisa kesadaran yang masih tersisa, bahwa jika masih berteriak “hidup rakyat!” setelah umur di atas tiga puluh tahun, maka akulah yang gila.
Aku, seorang aktivis veteran dimana di usiaku yang sudah di atas tiga puluh tahun sekarang, telah kenyang menelan gas air mata, merasakan panas aspal demonstrasi, dan berkali-kali menghitung jumlah pasal yang bisa menyeret tubuhku ke bui. Namun, ada satu hal yang tak pernah diajarkan dalam diskusi-diskusi revolusioner itu, yaitu bagaimana caranya membayar SPP anak, membeli beras, dan menghadapi rengekan istri yang bosan menanak air tanpa tahu kapan bisa menanak nasi.
Jadi, aku menyusun siasat. Aku tidak menyerah. Aku hanya bermetamorfosis. Aku mulai berpikir layaknya oligarki kecil—memiliki investasi untuk masa depan. Maka, lahirlah ide untuk memulai simpanan sebagai investasi kesejahteraan. Seekor kambing betina. Atau, lebih tepatnya, lima kambing betina. Kucicil dari hasil honor mengisi seminar, kumasukkan ke peternakan kawanku. Sebuah jaminan masa depan, sebuah harta yang bisa berkembang biak, sebuah rencana pensiun tanpa perlu berkhianat pada idealisme. Begitulah aku menghibur diriku sendiri.
Namun, dunia memiliki cara kejam untuk mempermainkan logika. Dan, istri memiliki cara lebih kejam lagi untuk menggali rahasia suami.
Aku sedang tergesa-gesa menghadiri rapat akbar, sebuah pertemuan yang akan menentukan langkah besar pergerakan peduli rakyat. Dalam keterburuan dan ketergesaan, ponselku tertinggal di meja dapur. Saat itu pula, istriku yang biasanya tak tertarik dengan hal-hal yang kusebut “perjuangan” mendadak tergelitik dan memiliki semangat investigasi seorang jurnalis kawakan. Iseng Ia membuka-buka ponselku, membaca santai pesan-pesan yang masuk, sampai akhirnya menemukan kalimat sialan itu.
“Bro, simpananmu udah hamil. Kayaknya sebentar lagi lahiran.”
Dhuarrr!!! Langit mendadak runtuh. Atau setidaknya, itulah yang terjadi di benak istriku.
Aku pulang larut malam, lelah setelah berdebat berjam-jam soal strategi pergerakan yang akan dilakukan. Malam itu terasa ganjil. tak seperti biasanya, saat membuka pintu, tak ada sapaan hangat atau teh manis. Yang ada hanyalah raut wajah istri yang merah padam dan sebentuk benda logam yang sekilas sempat kulihat melayang dengan kecepatan tinggi.
PANNG!!!
Panci mendarat telak di kepalaku. Sontak segalanya menjadi gelap. Revolusi macam apa yang bisa menyelamatkanku dari amukan seorang istri yang marah karena suaminya dianggap punya simpanan hamil? Tidak ada. Tidak Karl Marx, tidak juga Soekarno, bahkan tidak juga Che Guevara. Aku tumbang, kalah tanpa bisa bernegosiasi.
Aku siuman keesokan paginya, dengan kepala berdenyut dan wajah istriku yang masih menyala seperti api unggun revolusi.
“Aku bisa jelasin…” ujarku lemah.
“Oh, bisa?! Jelaskan padaku, siapa perempuan simpananmu yang sudah hamil itu!?!”
Aku menarik napas panjang. “Sabar dulu. Itu bukan perempuan dik. Itu kambing,” jelasku lirih.
Dus, ia terdiam. Matanya menyipit. Logikanya mencoba mengejar kenyataan yang melesat terlalu cepat. Aku segera mengambil ponselku, menunjukkan foto-foto si kambing betina yang memang sedang bunting besar. Lalu, menunjukkan bukti transaksi pembelian kambing-kambing tersebut.
Sepuluh detik sunyi.
Lima belas detik kemudian, amarahnya berubah. Kini ia tidak marah karena dugaan perselingkuhan. Ia marah karena aku lebih dulu memikirkan investasi kambing ketimbang mengisi tabungan rumah tangga kami.
“Jadi kamu bisa beli kambing tapi nggak bisa beliin aku perhiasan?!”
PANNG!!!
Panci kedua mendarat.
Tirai hitam kembali turun.
Aku akhirnya sadar. Jika berumur di atas tiga puluh tahun dan masih idealis itu gila, maka menikah dan punya istri tanpa jaminan kesejahteraan itu jauh lebih gila lagi. []