MATERI KULIAH ONLINE
UNIOL 4.0 Diponorogo
Senin, 3 Februari 2025
Diasuh oleh: Prof. Pierre Suteki
———————————————

Menjadi Advokat Progresif dalam Penyelesaian Kasus Pagar Laut di Tengah Hegemoni Kekuasaan Oligarki: Mungkinkah?

Oleh: Pierre Suteki dan Puspita Satyawati

I. PENGANTAR

Bongkar! Ahmad Khozinudin, pengacara sekaligus Koordinator Tim Advokasi Melawan Oligarki Rakus Perampas Tanah Rakyat (TA-MOR PTR), kini menjadi sorotan. Gegara keberaniannya membongkar aktor di balik pembangunan pagar laut sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten. Ia memastikan, pagar laut itu tidak dibangun swadaya oleh nelayan seperti ungkapan Jaringan Rakyat Pantura (JRP).

Lebih lanjut, ia menyebut Mandor Memet sebagai pimpinan proyek di lapangan. Ia pun mengungkap nama Ali Hanafi Lijaya, bawahan pendiri PT Agung Sedayu Group sekaligus pengembang PIK-2, Sugianto Kusuma (Aguan). Khozinudin menegaskan, sosok yang berkepentingan adalah Aguan dan pengusaha Salim Group Anthony Salim. Ia membeberkan, pagar laut ditujukan untuk meng-kavling per peta bidang agar steril dari aktivitas nelayan. Berikutnya, peta bidang ini akan diklaim lewat sertifikat dan ditransaksikan terhadap perusahaan properti (tribunnews.com, 22/1/2025).

Keberanian Khozinudin tentu dengan risiko. Ia dikeroyok sejumlah preman tanpa pembelaan aparat saat menghadiri aksi rakyat menolak proyek PIK-2 di Desa Munjung, Kecamatan Kronjo, Kabupaten Tangerang (Sabtu, 1/2). Khozinudin, advokat yang lugas membela kepentingan rakyat dan melawan oligarki. Dialah sosok advokat progresif, di tengah fenomena pengacara hitam (black advocate) yang bertugas sebagai makelar kasus atau mafia kasus, suruhan polisi/jaksa/hakim, atau kaki tangan oligarki.

II. PERMASALAHAN

Untuk mendedah di balik kebutuhan advokat progresif dalam penyelesaian kasus pagar laut, penulis merumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Mengapa dibutuhkan advokat progresif dalam penyelesaian kasus pagar laut?
2. Bagaimana dampak pasifnya para lawyer di Indonesia terhadap proses penyelesaian kasus pagar laut?
3. Bagaimana strategi pembelaan terhadap kaum marginal (nelayan miskin) yang mampu melindungi hak-haknya dalam mencapai kesejahteraannya melalui pengelolaan laut yang benar?

III. PEMBAHASAN

A. Advokat Progresif Mampu Menyelesaikan Kasus Pagar Laut karena Membela yang Benar Bukan yang Bayar

Miris. Ketika kita menemui banyaknya lulusan dan ahli hukum di negeri ini yang tidak linier dengan peningkatan kualitas penegakan hukum. Hal ini disinyalir oleh Brian Tamanaha dalam bukunya: “Failing Law Schools” (2012). Terkait tugas advokat, masihkah mereka menjadi penegak hukum progresif agar kualitas penegakan hukum dapat linier dengan membanjirnya advokat “handal”?

Terkait ragam karakter pengacara, mengutip pernyataan Arteria Dahlan (Anggota Komisi III DPRRI) di forum Rapat Kerja Komisi III DPR bersama Menkumham, Selasa (8/6/2021), “Advokat yang ‘sukses’ hanya satu persen. Sisanya makelar kasus (markus) atau mafia kasus, kaki tangan penegak hukum, suruhannya polisi/jaksa/hakim, narikin duit, lobi kiri-kanan. Bahayanya Advokat tempat simpan uang para penegak hukum”.

Jadi, 99% pengacara itu dapat disebut sebagai pengacara hitam (black advocate) yang bertugas sebagai makelar kasus (markus), penghubung klien dengan penegak hukum (negosiator), tempat menyimpan uang “haram”, dan lain-lain. Hanya ada sekitar 1 % yang disebut sebagai pengacara baik (good advocate) atau sebut saja advokat progresif.

Disebut sebagai advokat progresif karena berani membela kebenaran dan keadilan secara lugas. Ia memiliki karakter “braveness” and “vigilante”. Bukan advokat yang berprinsip maju tak gentar membela yang bayar.

Progresif itu bukan hanya persoalan penegakannya (behavior) tetapi juga materi/substansi (rules), termasuk cara menggunakan logika (logic) hukumnya. Sejak UU Kekuasaan kehakiman 1970 ada, materi hukum sudah progresif, memberikan ruang kepada hakim untuk tidak terpaku pada bunyi undang-undang, melainkan diwajibkan juga untuk menggali nilai-nilai dan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat. Hal itu terus diusung hingga UU Kekuasaan terbaru yaitu UU No. 48 Tahun 2009, Pasal 5 ayat (1).

Sesuai Pasal 5 UU No. 18 Tahun 2003 Advokat berstatus sebagai penegak hukum, bebas dan mandiri yang dijamin oleh hukum dan peraturan perundang-undangan. Dalam proses penegakan hukum di Indonesia, seringkali ditemukan anomali. Anomali itu bisa berupa misteri dalam pencarian keadilan. Irsyad Thamrin mengatakan ada misteri yang harus dipecahkan karena hingga kini kepercayaan masyarakat terhadap penegakan hukum masih rendah.

Menurut Ketua DPC Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Kota Yogyakarta (2014) itu, ada lima misteri yang harus dipecahkan, yakni:

(1) Misteri informasi yang hilang,
(2) Misteri keadilan,
(3) Misteri kepekaan politik,
(4) Misteri pelajaran yang hilang dari Sejarah Negara-negara maju;
(5) Misteri kegagalan reformasi hukum.

Untuk mengurai misteri itu dibutuhkan hukum yang tidak konvensional lagi serta dibutuhkan keberanian untuk menjadi mujahid (pejuang kebenaran dan keadilan) melalui rule breaking. Hukum progresif merupakan salah satu jawaban atas pemecahan misteri itu. Mengapa? Hukum progresif menerobos kejumudan (kekakuan) berpikir, hukum progresif  memandang manusia lebih tinggi dibanding hukum buatan manusia. Hukum progresif diabadikan untuk manusia, bukan hukum untuk hukum apalagi manusia untuk hukum.

Pertanyaannya, bagaimana advokat mengejawantahkan hukum progresif dalam kehidupan profesionalnya? Advokat dapat memaknainya di level gerakan, yaitu di ranah praktek penelitian hukum, pembelaan terhadap kasus-kasus. Terutama membela kepentingan masyarakat miskin yang banyak tak tertangani, orang lemah, termarginalkan dari sisi kekuasaan. Tinggal bagaimana membangun spirit pembelaan terhadap masyarakat miskin itu.

Memahami hukum progresif membawa advokat melakukan pembelaan atas kasus-kasus kaum marjinal, melakukan terobosan-terobosan hukum dalam pembelaan itu. Orang yang tidak mampu seharusnya tidak menerima hambatan; dan sebaliknya perlu difasilitasi advokat agar memperoleh sumber daya hukum yang sama dengan orang kaya atau berkuasa.

Salah satu media yang paling tepat untuk mengejawantahkan hukum progresif dalam penegakan hukum kita adalah melalui pemberian bantuan hukum, baik di dalam maupun di luar pengadilan oleh advokat, cara yang ditempuh dapat berupa pemberian bantuan hukum struktural.

Melalui bantuan hukum struktural, advokat dapat melakukan pendekatan hukum progresif. Ia dituntut mampu mengkombinasikan antara hukum, nilai keadilan, pendekatan ke masyarakat, pengorganisasian, dan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Semua itu digunakan advokat dalam ranah pembelaan hukum.

Para advokat sudah saatnya untuk mengubah mindset ‘maju tak gentar membela yang bayar’  menjadi ‘maju tak gentar membela yang benar.’ Marc Galanter pernah mensinyalir adanya advokat “hitam” yang pekerjaannya sering melakukan pembelaan kepada siapa pun yang penting membayar cukup apalagi lebih. Para advokat ini sudah kehilangan idealisme dan kemanusiaannya. Pelayanan hukum sudah berubah menjadi produk jasa yang dijual. Para klien diharuskan membayar (charged) sesuai dengan waktu (the fraction of the hour) yang digunakan oleh para lawyer untuk melayani kliennya.

Maka, para advokat mesti ada dalam satu barisan advokat progresif untuk bersama-sama menegakkan kebenaran dan keadilan. Sebaiknya “orang hukum” terus mendorong agar penegakan hukum di negeri ini dijalankan dengan ilmu hukum bukan “ilmu amplop”. Amplop-amplop itu sungguh bisa membuat bifurkasi hukum, bahkan akan terjadi keadaan “imanuhum fi amplofihim”.

Dengan demikian, dalam kasus pagar laut, jelas dibutuhkan advokat progresif untuk menyelesaikannya. Bukan cuan yang dicari tapi menjalankan fungsi sebagai pembela kebenaran dan keadilan. Terlebih dalam kasus ini rakyat lemahlah yang menjadi korban dari keserakahan oligarki. Bila hanya mengejar amplop, bukankah membela oligarki lebih menjanjikan daripada melindungi para nelayan miskin?

B. Dampak Pasifnya Advokat di Indonesia terhadap Penyelesaian Kasus Pagar Laut

Dampak dari pasifnya advokat dalam membela kepentingan rakyat terhadap penyelesaian kasus Pagar Laut di perairan Tangerang, dapat berpengaruh signifikan dalam beberapa aspek, baik terhadap proses hukum, hak-hak rakyat, maupun keadilan yang dijalani. Berikut beberapa dampak yang mungkin timbul:

Pertama, kurangnya akses pada keadilan. Advokat yang pasif mengakibatkan masyarakat menjadi korban dan bisa kehilangan akses pada keadilan. Pun proses hukum yang tepat dan transparan sulit tercapai, sehingga hak-hak rakyat terabaikan tanpa penyelesaian yang adil.

Kedua, penyelesaian kasus lambat atau tidak efektif. Pasifnya advokat menyebabkan keterlambatan dalam proses penyelesaian kasus. Misalnya, advokat yang tidak mempersiapkan pembelaan dengan baik atau tidak menghadiri sidang secara rutin menyebabkan berlarut-larutnya proses hukum. Tidak hanya mempengaruhi waktu untuk mencapai keputusan, tetapi juga menciptakan ketidakpastian hukum bagi pihak-pihak yang terlibat.

Ketiga, kehilangan bukti penting. Advokat yang tidak proaktif dalam mengumpulkan bukti bisa menyebabkan hilangnya bukti krusial dalam mendukung klaim para pembela rakyat. Dalam kasus yang melibatkan sengketa lahan atau sumber daya alam (SDA) seperti pagar laut, bukti-bukti terkait pemanfaatan SDA dan hak-hak rakyat sangat penting.

Keempat, kehilangan hak-hak rakyat. Pasifnya advokat juga mengarah pada pengabaian hak rakyat, terutama dalam kasus yang melibatkan kepentingan publik. Kemungkinan untuk mendapatkan kompensasi yang adil atau penyelesaian yang menguntungkan bagi masyarakat menjadi lebih kecil. Selain itu, masyarakat mungkin kehilangan kesempatan untuk mendapatkan perlindungan hukum yang lebih kuat.

Kelima, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum berkurang. Jika masyarakat melihat advokat tidak membela hak mereka dengan sepenuh hati, akan menyebabkan penurunan kepercayaan terhadap sistem hukum dan profesi hukum secara keseluruhan. Masyarakat bisa merasa bahwa sistem hukum tidak berpihak pada rakyat, yang pada gilirannya merusak legitimasi hukum di mata publik.

Keenam, kehilangan kesempatan penyelesaian damai. Dalam beberapa kasus, advokat yang aktif dapat memfasilitasi penyelesaian di luar pengadilan melalui negosiasi atau mediasi. Jika pengacara pasif, kesempatan untuk mencapai kesepakatan damai atau solusi alternatif yang lebih menguntungkan bagi rakyat akan berkurang, sehingga masalah hukum berlarut-larut tanpa solusi praktis.

Ketujuh, pengabaian dampak lingkungan dan sosial. Kasus pagar laut yang melibatkan perairan dan kemungkinan dampak lingkungan, sering kali memerlukan perhatian khusus pada aspek lingkungan dan sosial. Advokat pasif akan mengakibatkan potensi kerusakan lingkungan atau ketidakadilan sosial akibat keputusan hukum yang tidak adil.

Kedelapan, oligarki kian berkuasa. Pasifnya para advokat membela rakyat akan menguatkan kedudukan oligarki. Dalam kasus pagar laut, laut adalah kepemilikan umum (rakyat). Ketika izin penguasaan laut di tangan oligarki dan tidak ada yang melawannya, maka oligarki akan semakin sewenang-wenang menguasai SDA.

Secara keseluruhan, pasifnya advokat dalam membela kepentingan rakyat, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan SDA atau lingkungan seperti di pagar laut, bisa berdampak buruk terhadap keadilan sosial, hak-hak rakyat, dan kelangsungan hidup masyarakat terdampak. Pembelaan hukum yang aktif sangat penting untuk memastikan proses hukum berjalan secara adil dan efektif.

C. Strategi Pembelaan terhadap Kaum Marginal (Nelayan Miskin) yang Mampu Melindungi Hak-haknya dalam Mencapai Kesejahteraan Melalui Pengelolaan Laut yang Benar

Strategi pembelaan terhadap kaum marginal, seperti nelayan miskin, yang dapat melindungi hak-hak mereka dalam mencapai kesejahteraan melalui pengelolaan laut yang benar perlu dilakukan secara terpadu dengan memperhatikan berbagai aspek, seperti keadilan sosial, perlindungan hak atas SDA, dan pemberdayaan ekonomi. Berikut adalah beberapa langkah strategi yang dapat diambil:

Pertama, penguatan perlindungan hukum bagi nelayan. Nelayan miskin seringkali rentan dari pelanggaran hak, termasuk eksploitasi pihak luar atau perusahaan besar. Oleh karena itu, penting untuk memperkuat perlindungan hukum terhadap nelayan, baik melalui penyediaan layanan hukum yang terjangkau atau melalui pembaruan peraturan yang mengatur hubungan antara nelayan dengan pihak lain.

Kedua, advokasi dan partisipasi dalam pengambilan keputusan. Nelayan miskin perlu dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan terkait pengelolaan laut. Yaitu dengan memperkuat peran mereka dalam forum konsultasi publik atau memperjuangkan kebijakan yang mencerminkan kepentingan mereka melalui lembaga-lembaga yang mewakili mereka.

Ketiga, penguatan hak atas akses dan pengelolaan SDA. Nelayan miskin sering kali mengalami ketidakadilan dalam mengakses sumber daya laut. Pemerintah dan lembaga terkait harus mengupayakan pemberian hak pengelolaan perikanan yang adil dan berbasis pada masyarakat setempat. Hal ini bisa dilakukan melalui pengakuan terhadap hak tradisional nelayan atau pembentukan kawasan konservasi perikanan yang melibatkan mereka dalam pengelolaannya.

Keempat, kebijakan yang mendukung pengelolaan laut yang berkelanjutan.
Pemerintah harus merumuskan kebijakan yang mendukung pengelolaan laut yang berkelanjutan dan tidak merugikan nelayan miskin. Kebijakan yang tepat dapat berupa perlindungan terhadap kawasan perikanan, pengaturan kuota tangkapan yang tidak merusak ekosistem laut, serta penyediaan jaminan sosial bagi nelayan yang rentan.

Kelima, pemberdayaan kelompok nelayan melalui organisasi sosial. Nelayan miskin seringkali terisolasi secara sosial dan ekonomi. Pembentukan  organisasi nelayan dapat memperkuat posisi tawar mereka dalam negosiasi dengan pihak lain, termasuk pemerintah dan perusahaan besar. Organisasi ini juga bisa menjadi saluran untuk menyuarakan aspirasi mereka dalam hal kebijakan laut yang adil.

Dengan mengimplementasikan strategi ini secara sinergis, nelayan miskin dapat memperoleh perlindungan hak-haknya serta memanfaatkan sumber daya laut dengan cara berkelanjutan, yang pada gilirannya meningkatkan kesejahteraan mereka. Meski demikian, strategi semacam ini mungkin sulit diwujudkan dalam pemerintahan demokrasi kapitalis liberalistik yang membuka ruang seluas-luasnya bagi oligarki menguasai sumber daya laut.

IV. PENUTUP

Berdasarkan pembahasan di atas, penulis mengajukan kesimpulan sebagai berikut:

1. Advokat progresif dibutuhkan dalam penyelesaian kasus pagar laut karena hanya advokat yang tulus menegakkan kebenaran dan keadilan sajalah yang mau dan mampu membela kepentingan rakyat (nelayan). Sekaligus melawan keserakahan oligarki menguasai sumber daya laut milik rakyat.

2. Dampak pasifnya para lawyer di Indonesia terhadap proses penyelesaian kasus pagar laut antara lain; kurangnya akses keadilan, lambatnya penyelesaian kasus, bisa kehilangan bukti krusial, hak rakyat hilang, tingkat kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum berkurang, kehilangan kesempatan penyelesaian damai, pengabaian dampak lingkungan dan sosial, serta oligarki kian berkuasa.

3. Strategi pembelaan terhadap kaum marginal (nelayan miskin) yang mampu melindungi hak-haknya dalam mencapai kesejahteraannya melalui pengelolaan laut yang benar yaitu; penguatan perlindungan hukum bagi nelayan, advokasi dan partisipasi nelayan, penguatan hak atas akses dan pengelolaan SDA, kebijakan yang mendukung pengelolaan laut berkelanjutan, serta pemberdayaan kelompok nelayan melalui organisasi sosial.

#LamRad
#LiveOppressedOrRiseUpAgainst