IST

Presiden Prabowo Mengintip, Awal Sebuah Strategi Incognito?

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller & Analis Pencitraan
Dalam dunia politik modern, seorang pemimpin yang hanya mengandalkan laporan dari bawahannya ibarat seorang pelaut yang menavigasi kapal tanpa melihat langsung lautan. Di sinilah strategi incognito—atau penyamaran—memegang peran krusial dalam memastikan pemimpin tetap terhubung dengan realitas rakyatnya. Seorang presiden yang melakukan kunjungan secara incognito bukan sekadar mencari sensasi, tetapi memperkuat otoritas moral dan efektivitas pemerintahannya.
Presiden dan Strategi Incognito di Era Modern
Kepemimpinan modern sering kali terjebak dalam birokrasi yang lamban, dengan informasi yang telah difilter sebelum sampai ke meja eksekutif. Seorang pemimpin yang ingin memahami denyut nadi rakyatnya secara autentik harus turun langsung, tanpa protokoler yang berlebihan.
Contoh nyata strategi ini adalah Presiden Prabowo Subianto yang baru-baru ini mengintip sebuah kelas agar tidak mengganggu aktivitas siswa dalam kunjungan ke sekolah. Di luar negeri, Presiden Rusia Vladimir Putin pernah melakukan kunjungan mendadak ke berbagai fasilitas negara untuk mengecek kondisi lapangan. Bahkan, Presiden AS Franklin D. Roosevelt dikenal dengan pendekatan Fireside Chats, yang meskipun tidak secara fisik incognito, tetapi berhasil menciptakan kedekatan emosional dengan rakyatnya.
Pendekatan ini sejalan dengan pemikiran Niccolò Machiavelli dalam The Prince, yang menekankan bahwa seorang pemimpin harus memahami realitas di lapangan untuk mempertahankan kekuasaannya. “The wise prince must act both as a lion and a fox,” tulisnya, menegaskan pentingnya kecerdikan dalam membaca situasi politik.
Namun, incognito semestinya bukan sekadar dilakukan untuk tujuan pencitraan. Sejarah menunjukkan bahwa banyak pemimpin yang menggunakan strategi ini untuk membangun persepsi, tetapi tidak benar-benar berniat mendengar suara rakyatnya. Presiden Jokowi, misalnya, yang dulu sering melakukan blusukan, kini oleh sebagian rakyat dianggap sebagai sekadar aksi yang penuh dengan kebohongan dan kepentingan politik semata. Incognito yang ideal adalah aktivitas alami, genuine, dan ikhlas dilakukan oleh seorang pemimpin untuk mengetahui kondisi sebenarnya rakyatnya, bukan sekadar upaya membangun citra.
Filsuf Tiongkok Laozi pernah mengatakan, “A leader is best when people barely know he exists, when his work is done, they will say: we did it ourselves.” Ini menekankan bahwa pemimpin sejati adalah mereka yang hadir bukan untuk mencari pujian, tetapi benar-benar memahami dan memberdayakan rakyatnya.
Pelajaran dari Khalifah Umar bin Khattab
Jauh sebelum era kepemimpinan modern, Khalifah Umar bin Khattab telah menerapkan strategi incognito sebagai bagian dari tata kelola pemerintahannya. Beliau sering menyamar sebagai rakyat biasa di malam hari, berjalan dari satu sudut kota ke sudut lainnya untuk melihat langsung kondisi rakyatnya.
Salah satu kisah paling terkenal adalah ketika Umar menemukan seorang ibu yang sedang memasak batu untuk menenangkan anak-anaknya yang kelaparan. Setelah mendengar langsung penderitaan tersebut, ia segera kembali ke gudang perbekalan, mengangkut sendiri karung gandum, dan membagikannya tanpa diketahui jati dirinya.
Strategi ini mencerminkan konsep “Rule by Presence”, yang oleh sejarawan Inggris Arnold J. Toynbee disebut sebagai metode kepemimpinan yang paling efektif dalam memastikan keadilan sosial. Toynbee menekankan bahwa pemimpin yang turun langsung ke rakyatnya menciptakan legitimasi politik yang jauh lebih kuat dibandingkan sekadar mengandalkan laporan administratif.
Pentingnya Incognito dalam Pemerintahan Modern
Di era informasi yang serba cepat, persepsi publik terhadap pemimpin semakin dipengaruhi oleh media dan pencitraan. Namun, sebagaimana dikatakan oleh Edward Bernays, bapak propaganda modern, “The public has its own instinct; it perceives insincerity faster than any politician realizes.” Maka, pemimpin yang hanya mengandalkan pencitraan tanpa keterlibatan nyata akan kehilangan kepercayaan rakyat.
Incognito bukan hanya soal mendengarkan keluhan, tetapi juga melihat keefektifan kebijakan secara nyata. Peter Drucker, pakar manajemen ternama, menyatakan bahwa “The most dangerous leadership myth is that leaders are born. The reality is that leaders are made by experience.” Seorang presiden yang hanya duduk di balik meja tidak akan memahami urgensi persoalan yang dihadapi rakyatnya.
Strategi incognito bukan hanya warisan kepemimpinan klasik tetapi juga kebutuhan dalam pemerintahan modern. Pemimpin yang turun langsung tanpa formalitas akan lebih memahami rakyatnya secara nyata, menghindari laporan yang bias, serta menciptakan legitimasi politik yang lebih kuat. Seperti yang dikatakan oleh filsuf Prancis Michel Foucault, “Power is not an institution, it is a relationship.” Kepemimpinan yang efektif bukan hanya soal struktur politik, tetapi juga keterhubungan nyata dengan rakyat.
Jika seorang presiden ingin memastikan kebijakannya tepat sasaran, maka ia harus keluar dari istana, turun ke jalan, dan menyaksikan sendiri bagaimana rakyatnya hidup. Sebab, sebagaimana Khalifah Umar tunjukkan berabad-abad lalu—dan para pemimpin besar dunia pahami—kekuasaan yang sejati lahir dari keberanian mendengar langsung suara rakyat. []