Foto: dok. ist

Pegawai PT Timah Tak Ber-AKHLAK Akhirnya Dipecat, Bagaimana Dengan Pejabat yang Tak Berakhlak?

Oleh: WA Wicaksono, Storyteller, Analisis Iklan dan Pencitraan
Pada akhirnya, ia dipecat. Dunia seakan runtuh, masa depan yang dibangga-banggakannya dan telah dibangun bertahun-tahun itu akhirnya musnah dalam hitungan hari. Seorang karyawan PT Timah itu, kini berdiri di persimpangan hidup, menatap surat pemecatan yang dingin dan tak bernyawa. Bukan tanpa sebab, unggahannya di media sosial sudah terlalu keterlaluan, menghina pegawai honorer dan pengguna BPJS—mereka yang bekerja keras dengan penuh keterbatasan. Publik bertepuk tangan, merayakan keadilan yang ditegakkan. “Pantas,” kata mereka. “Pelajaran untuk yang lain.”
Namun, di balik gelombang dukungan publik terhadap pemecatan ini, ada satu hal yang patut direnungkan. Perusahaan negara itu begitu hebat dan cepat dalam menindak karyawan yang menghina rakyat kecil, tetapi mengapa mereka, juga pemerintah kerap begitu lambat, atau bahkan abai, saat petinggi-petinggi mereka yang berada di atas sana melakukan kesalahan yang setara—atau lebih besar lagi?
Seorang karyawan PT Timah mencibir pegawai honorer, dan ia dipecat. Tapi bagaimana dengan pejabat yang membiarkan para honorer bekerja bertahun-tahun tanpa kepastian diangkat menjadi pegawai tetap? Tidak ada pemecatan.
Seorang karyawan PT Timah menghina pengguna BPJS, dan sudah selayaknya demi citra perusahaan ia dipecat. Tapi bagaimana dengan mereka yang merancang kebijakan yang membuat layanan BPJS berbelit-belit, rumah sakit menolak pasien, dan rakyat kecil harus menunggu ajal karena aturan yang tak berpihak? Tidak ada pemecatan.
Seorang karyawan PT Timah meremehkan golongan tertentu, dan ia bisa segera dipecat. Tapi bagaimana dengan pejabat yang memainkan kebijakan distribusi gas melon, yang membuat rakyat kecil harus antri panjang, bahkan meregang ajal karena harus berebut tabung demi memasak nasi di dapur mereka? Tidak ada pemecatan?
Dan yang lebih menyakitkan, bagaimana dengan mereka yang menilep uang negara dengan korupsi berjilid-jilid? Yang membangun pagar laut bernilai triliunan yang hanya menghadang angin, sementara nelayan tak bisa mencari makan? Yang tersenyum saat tertangkap, masuk bui sesaat, lalu kembali menikmati hasil jarahan? Tidak ada pemecatan, hanya rotasi jabatan, pengurangan hukuman, dan mungkin tawaran komisaris di tempat lain.
Victor Hugo pernah berkata, “If the soul is left in darkness, sins will be committed. The guilty one is not he who commits the sin, but he who causes the darkness.” (“Jika jiwa dibiarkan dalam kegelapan, dosa akan dilakukan. Yang bersalah bukan hanya dia yang berbuat dosa, tetapi juga mereka yang menyebabkan kegelapan itu.”)
Tentu saja tidaklah salah jika karyawan PT Timah ini harus menerima konsekuensi yang sangat pahit atas ucapannya yang kebablasan. Namun, bagaimana dengan mereka yang menciptakan sistem dan yang membuat begitu banyak orang jatuh dalam ketidakadilan? Haruskah kita memberikan apresiasi untuk satu orang yang kehilangan pekerjaannya, sementara ada jutaan rakyat yang kehilangan harapan setiap hari akibat keputusan segelintir orang di atas sana?
Empati kita diuji bukan hanya kepada mereka yang kita anggap korban, tetapi juga kepada mereka yang kita anggap bersalah. Sebab, sebagaimana kata Dostoevsky, “To love someone means to see them as God intended them to be.” (“Mencintai seseorang berarti melihat mereka sebagaimana Tuhan menciptakan mereka untuk menjadi.”)
Hari ini, satu orang kehilangan pekerjaannya. Esok, mungkin ribuan orang kehilangan kehidupannya akibat kebijakan yang abai. Siapa yang akan menangis untuk mereka? Entahlah, tabik. []