Komunisme Mulai Mengalahkan Demokrasi Liberal, Indonesia dan Islam Posisi di Mana?

By Buni Yani

Nada bicara intelektual Amerika mulai berubah seiring semakin tak terbendungnya Cina menjadi negara adidaya di dunia. Bandul bergoyang ke arah sebaliknya dengan berhembusnya angin ke arah komunisme/sosialisme. Fundamentalisme pendukung demokrasi liberal plus kapitalisme pasar bebas mulai semakin terdengar samar-samar dan tidak relevan.

Jeffrey Sachs, seorang luminari dunia akademi di Universitas Kolumbia New York, adalah salah satu intelektual yang kritis dan kerap mengeritik kebijakan pemerintah Amerika yang dia pandang tidak masuk akal. Dia mengeritik keterlibatan Amerika dalam perang di Ukraina melawan Rusia karena akan memicu perang nuklir yang akan menghancurkan bumi secara keseluruhan.

Sachs adalah pakar dalam bidang ekonomi pembangunan, makroekonomi global, dan kemiskinan. Dalam hal semakin redupnya Amerika yang semakin disalip kemajuan Cina, Sachs mengatakan hal ini adalah konsekuensi logis saja dari fokus masing-masing negara dalam kebijakan dalam dan luar negerinya.

Sachs mengatakan dalam 40 tahun terakhir, Cina fokus membangun ekonominya yang membuatnya kaya, sedangkan Amerika pada saat yang sama menyibukkan diri untuk menjadi penguasa dunia. Sementara Cina melakukan pembangunan dengan skala dan kecepatan yang tinggi, Amerika terus menyibukkan diri menjadi imperialis dan hegemon, lalu memerangi siapa saja yang dianggap sebagai lawan dan saingan, termasuk Cina.

Potongan wawancara Sachs dengan TV Turkiye, TRT, baru-baru ini kembali viral setelah start-up Cina, DeepSeek, secara tiba-tiba menghentak dunia artificial intelligence (kecerdasan buatan) yang merontokkan saham perusahaan-perusahaan teknologi informasi di Amerika. Aplikasi chatbot DeepSeek diunduh banyak pengguna karena dianggap alternatif untuk menyelesaikan banyak masalah, dan inilah yang menyebabkan popularitasnya meroket yang kemudian merontokkan saham perusahaan teknologi informasi di Amerika.

Produsen chip Amerika Nvidia kehilangan hampir US$ 600 miliar atau Rp 9.731,7 triliun (dengan nilai kurs Rp16.219 per dolar AS) pada Senin, 27 Januari. Kekayaan pendiri Nvidia Jensen Huang ikut menurun sejumlah US$ 20,1 miliar atau 20 persen. Merosotnya nilai Nvidia disebabkan karena terjadinya aksi jual di pasar saham. Pelaku pasar pindah melirik DeepSeek yang sedang naik daun.

Media melaporkan yang mengalami kerugian tidak hanya Nvidia tetapi juga perusahaan-perusahaan teknologi sejenis. Larry Ellison dari Oracle Corp disebut kehilangan US$ 22,6 miliar, atau sekitar 12 persen dari total kekayaannya, Michael Dell kehilangan US$ 13 miliar, dan Changpeng Zhao dari Binance kekayaannya menyusut menjadi US$ 12,1 miliar.

Popularitas Deepseek meroket karena perusahaan chatbot ini dibangun dengan biaya super murah dibandingkan dengan perusahaan-perusahaan pesaingnya di Amerika. Ini menimbulkan guncangan di pasar saham Amerika di mana pelaku pasar mulai mempertanyakan apakah perusahaan-perusahaan Amerika masih kempetitif untuk bersaing dengan start-up asal Cina itu.

DeepSeek hanya memakan dana sekitar 6 juta dolar (97 miliar rupiah) karena didukung oleh open source DeepSeek-V3, sementara OpenAI dan sejumlah perusahaan lainnya dikabarkan akan menyuntik US$ 500 miliar (Rp 8,1 ribu triliun) untuk membangun infrastruktur AI di Amerika. Dengan dana super jumbo itu, tak kurang Presiden Trump mengatakan bahwa proyek ini adalah yang terbesar dalam sejarah pengembangan teknologi Amerika.

Belum juga fenomena DeepSeek mulai mendingin, pekan ini tiba-tiba muncul start-up baru Cina bernama Qwen yang tidak kalah menghebohkan dibanding DeepSeek. Bila DeepSeek namanya meroket karena kemampuannya sebagai aplikasi chat AI berbiaya murah dengan kemampuan yang tinggi, maka Qwen milik Alibaba ini disebut memiliki kemampuan dan akurasi yang tinggi dalam membaca data dalam waktu yang singkat.

Ledakan DeepSeek dan Qwen harus dibaca sebagai menyebarnya kecerdasan ke seluruh dunia termasuk kecerdasan dalam memproduksi AI berbasis hitech. Amerika harus mengakui realitas bahwa negeri ini bukan lagi pusat dunia sekarang dalam dunia teknologi, khususnya teknologi informasi. Kemungkinan inovasi DeepSeek dan Qwen akan diikuti oleh penemuan-penemuan berikutnya di berbagai negara.

Ini dalam bidang teknologi. Dalam bidang politik dan kekuasaan juga nasib Amerika dan sekutu Baratnya mengalami tantangan yang tidak kecil menyusul lahirnya blok ekonomi baru BRICS yang kini keanggotaannya diperluas. BRICS meskipun fokus pada kerja sama ekonomi negara-negara berkembang, namun dampak politiknya juga tidak kecil terutama karena ambisi BRICS untuk menggantikan dolar Amerika dalam transaksi perdagangan internasional.

Ekspansi BRICS tidak hanya menyasar negara-negara Selatan, tetapi juga kini telah menarik minat anggota Uni Eropa seperti Turkiye dan Bosnia. Serangan BRICS langsung ke jantung Uni Eropa ini amatlah penting untuk diperhatikan karena Uni Eropa selama ini dikenal sebagai sekutu pakta pertahanan NATO dan selalu di bawah bayang-bayang hegemoni AS.

Pada saat yang sama, Jerman, sekutu lama Amerika di Eropa, sekarang sedang mengalami tranformasi besar dengan meningkatnya sentimen anti Amerika menjelang pemilihan umum pada akhir bulan Februari ini. Padahal Jerman masih menjadi lokasi penempatan 50 ribu pasukan AS menyusul keterlibatan Amerika dalam Perang Dingin dan runtuhnya Tembok Berlin.

Partai Alternative für Deutschland (AfD), partai dengan ideologi ekstrem kanan anti imigran Muslim, sangat getol mengkampanyekan sentimen anti Amerika. Partai ini semakin populer dan mendapatkan dukungan dari publik. Parti baru Bündnis Sahra Wagenknecht (BSW) yang berideologi kiri juga sama. BSW semakin populer karena kampanye anti Amerika yang mereka tawarkan ke rakyat Jerman.

TV Deutsche Welle memberitakan dua partai anti Amerika ini sangat yakin bisa mendapatkan ¼ suara dari total pemilih pada pemilu 23 Februari mendatang. Kedua partai ini kebanyakan mendapatkan dukungan di bekas Jerman Timur yang dulunya di bawah kekuasaan blok Timur (Uni Soviet) yang Komunis. Sedangkan pemilih pro Barat dan Amerika kebanyakan berada di wilayah yang dulunya Jerman Barat.

Bagi para politisi dari kedua partai tersebut, terpilihnya Trump di Amerika yang akan fokus ke dalam negeri, atau America first, adalah kesempatan untuk melepaskan diri dari pengaruh Amerika. Kata mereka, Jerman bisa meniru Amerika dalam hal ini untuk lebih mementingkan national interest sendiri daripada hanya berada dalam bayang-bayang pengaruh negara lain.

Sentimen anti Amerika ini tidak melulu disebabkan oleh perbedaan ideologi yang abstrak, tetapi juga disebabkan oleh hal-hal yang konkret, pragmatis, dan realistis. Yaitu partai-partai dan pemilih anti Amerika menginginkan Jerman menjauh atau setidaknya mengambil jarak dengan Amerika karena kedekatan ini telah menyulitkan hidup mereka.

Hal terakhir ini mengemuka setelah meletusnya perang Ukraina-Rusia yang menyebabkan pasokan gas dari Rusia ke Jerman diblok atas tekanan Amerika. Gas dari Rusia yang harganya lebih murah tidak boleh lagi masuk Jerman. Sebagai gantinya, Jerman harus memasok gas dari Amerika yang harganya lebih mahal.
Pembelian gas lebih mahal ini harus ditanggung rakyat Jerman yang membuat mereka protes ke pemerintah. Ada demo mengeritik pemerintah agar tidak usah ikut-ikutan dalam konflik Ukraina-Rusia kalau ujung-ujungnya menyengsarakan rakyat, dan rakyatlah yang harus menanggung biaya hidup lebih mahal.
Ini hanya gambaran singkat bagaimana dunia kini sangat banyak berubah. Kita bisa menemukan lebih banyak lagi fakta bagaimana perubahan ini akan mempengaruhi lanskap global di waktu-waktu mendatang.
Perubahan global dalam bidang ekonomi, politik dan teknologi ini semakin menunjukkan bahwa dunia sedang mengalami transformasi yang tidak kecil dalam 25 tahun terakhir. Lonjakan tranformasi ini semakin intensif terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Cina-Rusia sudah berani menantang Amerika. Rusia secara terbuka menantang AS dengan dikobarkannya perang terhadap Ukraina yang menjadi boneka AS di Eropa Timur.

Dalam bidang teknologi, di mana persaingan bisa lebih obyektif terjadi, kini AS mengalami tantangan yang tidak kecil.

Perkembangan terbaru ini tentu bisa mengantarkan kita untuk melakukan refleksi kritis, apakah betul demokrasi liberal dan kapitalisme pasar bebas adalah satu-satunya ideologi yang bisa membawa kemajuan dan kemakmuran bagi umat manusia? Francis Fukuyama kelihatannya harus merevisi tesis lamanya mengenai “berakhirnya sejarah” menyusul kemenangan demokrasi liberal dan tumbangnya komunisme/sosialisme.

Dalam bukunya The End of History and the Last Man (1992), Fukuyama mengatakan kemenangan demokrasi liberal menandai berakhirnya sejarah dan umat manusia yang hidup sekarang ini adalah umat manusia terakhir. Tidak akan ada lagi ideologi yang bisa menyaingi demokrasi liberal karena demokrasi liberal adalah ideologi terbaik yang pernah ditemukan umat manusia di atas muka bumi.

Kata Fukuyama, demokrasi liberal adalah bentuk pemerintahan terbaik. Evolusi pencarian ideologi sudah berakhir dengan menangnya demokrasi liberal. Demokrasi liberal sudah tidak punya lagi lawan karena lawan-lawannya sudah tumbang semua. Kini demokrasi liberal adalah ideologi dan sistem pemerintahan satu-satunya dan yang terbaik yang teruji oleh sejarah.

Kita mungkin mafhum dengan euforia intelektual Fukuyama yang kelihatan sangat tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Ini tak terlepas dari latar belakang bukunya yang terbit pada 1992. Bukunya terbit setahun setelah Uni Soviet bubar pada 1991, dan tiga tahun setelah Tembok Berlin runtuh pada 1989. Fukuyama mengambil kesimpulan yang hingga hari ini masih kontroversial.

Tetapi kini, dengan bangkitnya Cina dan memudarnya pengaruh Amerika, tesis Fukuyama semakin ditinggalkan dunia akademi.

Dengan teater global yang baru ini, kita juga seharusya bertanya, di mana posisi Indonesia dan Islam? Apakah akan begini-begini saja, cuma menjadi pengikut dua kekuatan dan dua ideologi besar itu?

Bagi Indonesia dan negara-negara Islam di dunia, baik demokrasi liberal (Amerika, Eropa dan sekutu) maupun komunisme (Rusia, Cina dan sekutu) yang berkuasa, sama tidak menguntungkannya. Indonesia dan negara-negara Islam harus bersatu dalam mencari jalan dan menentukan takdir sendiri.

Pemerintah di bawah Presiden Prabowo harus kembali menghidupkan semangat persatuan Konferensi Asia-Afrika 1955 untuk menggalang solidaritas negara-negara berkembang di Selatan. Transformasi global yang besar ini haruslah dijadikan kesempatan untuk menunjukkan peran Indonesia di panggung dunia, minimal di antara negara-negara Selatan.

Indonesia seharusnya bisa, tetapi tentu harus terlebih dahulu menyelesaikan masalah-masalah di dalam negeri yang akan semakin ruwet bila tidak ada ketegasan dalam menyikapinya. Terutama dalam masalah hukum, pemerintah harus berani bertindak tegas dalam menegakkan keadilan meskipun melibatkan sekutu politik sendiri.

By Buni Yani