IST
JAKARTASATU.COM – Malam itu (12/2), panggung Gedung Usmar Ismail akan menjadi lebih dari sekadar ruang pertunjukan. Ia akan menjelma menjadi jendela jiwa, tempat suara-suara yang sering tak terdengar akhirnya mendapatkan panggungnya. Mereka bukan aktor biasa—mereka adalah anak-anak pejuang kanker, orang tua, pendamping, dan tenaga medis yang selama ini hidup dalam realitas yang jarang disorot. Dalam pertunjukan teater bertajuk “Simfoni Suara-Suara Tak Terdengar”, mereka berbicara, bukan hanya dengan kata-kata, tetapi juga dengan keberanian.
Dibalik tirai merah yang terbuka perlahan, penonton akan disuguhi sebuah kisah yang lebih dari sekadar lakon. Ini adalah cerminan kehidupan nyata—tentang perjuangan, harapan, ketakutan, dan impian yang terus menyala. Disutradarai oleh Lena Simanjuntak-Mertes, sutradara teater kawakan alumnus Institut Kesenian Jakarta yang kini menetap di Jerman, pertunjukan ini bukan hanya sebuah hiburan, tetapi juga seruan agar lebih banyak orang memahami dan peduli terhadap kanker anak di Indonesia.
Kisah-Kisah yang Menyentuh
Menurut laporan WHO, setiap tahun sekitar 8.677 anak di Indonesia didiagnosis menderita kanker. Namun, angka ini hanyalah permukaan dari realitas yang jauh lebih kompleks. Banyak dari mereka baru mendapatkan penanganan medis ketika sudah berada di tahap lanjut, sebagian besar karena kurangnya pengetahuan dan akses terhadap fasilitas kesehatan.
Melalui pementasan ini, para pejuang kanker anak dan keluarga mereka bukan hanya berbagi cerita, tetapi juga menunjukkan bahwa mereka bukan sekadar pasien—mereka adalah individu dengan mimpi, bakat, dan suara yang layak untuk didengar.
“Kami ingin menunjukkan bahwa anak-anak ini bukan hanya statistik. Mereka punya cerita, harapan, dan keberanian luar biasa. Teater ini adalah ruang bagi mereka untuk menyampaikan semuanya,” ujar Lena Simanjuntak-Mertes.
Teater Sebagai Panggilan Kepedulian
Pementasan ini tidak sekadar memberi panggung bagi anak-anak pejuang kanker, tetapi juga membawa misi yang lebih besar. Yayasan Anyo Indonesia (YAI), yang berkolaborasi dengan Yayasan Cahaya Perempuan & Budaya Indonesia serta didukung oleh Teater Tanah Air, Sena Didi Mime, dan Deutsch-Indonesischen Gesellschaft e.V., menjadikan acara ini sebagai ajakan kepada masyarakat, pemerintah, dan tenaga medis untuk lebih peduli terhadap kanker anak.
Dukungan ini sejalan dengan “Inisiatif Global untuk Kanker Anak” dari WHO, yang menargetkan peningkatan tingkat kelangsungan hidup anak-anak pengidap kanker hingga 60% pada tahun 2030. Saat ini, di Indonesia, tingkat kesintasan mereka baru mencapai 20%, jauh tertinggal dibanding negara-negara maju yang sudah mencapai 80-90%.
Malam Penuh Harapan
Saat pertunjukan mencapai klimaksnya, suasana hening. Mata-mata berkaca-kaca. Para pemain, dengan segala keterbatasan fisik mereka, justru tampil penuh energi. Mereka mengingatkan kita semua bahwa keberanian bukanlah tentang mengalahkan ketakutan, melainkan tentang berdiri tegak meskipun ketakutan itu masih ada.
Malam itu, panggung Gedung Usmar Ismail bukan lagi menjadi sekadar tempat pementasan. Ia akan menjadi ruang bagi suara-suara kecil yang selama ini nyaris tenggelam dalam hiruk-pikuk dunia. Ia menjadi simbol bahwa harapan, sekecil apa pun, selalu punya tempat untuk bersinar.
Jangan biarkan suara-suara ini kembali tak terdengar. Datang, saksikan, dan jadilah bagian dari perubahan.|WAW-JAKSAT