Ilustrasi Makan Berizi di Sekolah Tak Bisa Makan di Rumah | WAW-AI

Makan Bergisi Gratis di Sekolah, Tak Bisa Makan di Rumah

Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Aku pernah membaca kata-kata Bertolt Brecht: “Zuerst kommt das Fressen, dann kommt die Moral”—perut kenyang dulu, baru bicara moral. Tapi di negeri ini, rupanya kita belajar yang sebaliknya: moral mulia datang lebih dulu, sedangkan urusan makan… yah, nanti saja kalau sempat.
Makan Bergizi Gratis (MBG), sebuah program megah dari pemerintahan Prabowo yang dielu-elukan sebagai solusi bagi anak-anak negeri agar bisa berpikir lebih jernih di sekolah tanpa diganggu suara perut yang bergemuruh. Tapi ada satu hal yang tidak diperhitungkan: suara-suara lain yang bergemuruh di rumah mereka. Ayah mereka. Ibu mereka. Saudara mereka.
Di sekolah, sepiring nasi dengan kalori yang tepat dilengkapi lauk yang dihitung kadar gizinya secara detail oleh ahli gizi tersaji. Ayam goreng yang sempurna kecokelatan, sayur bayam hijau segar, disempurnakan dengan sekotak susu kemasan.
“Ayo habiskan, anak-anak!” kata guru. “Makan yang banyak, supaya pintar!”
Tapi Ketika pulang sekolah dan tiba di rumah, di meja makan yang lapuk, hanya ada sepiring nasi sisa semalam yang dipanaskan ulang. Lauknya? Mungkin hari ini cuma garam, mungkin kecap yang tersisa, mungkin juga secuil hikmah dari doa yang lebih khusyu dan panjang dari biasanya.
Kami lapar, Pak. Tapi kami efisien
Ada yang bilang, “Efisiensi adalah kunci kemajuan.” Begitulah yang ditanamkan di benak kita, termasuk oleh pemerintahan sekarang. Dus, anggaran dipangkas, tenaga kerja dirampingkan, honorer dilenyapkan. Demi optimalisasi, katanya. Demi keberlanjutan, kilahnya. Tapi siapa yang bisa menjelaskan pada seorang ibu yang kehilangan pekerjaannya sebagai tenaga kebersihan di sekolah tempat anaknya makan bergizi gratis? Siapa yang mau mendengar tangis seorang ayah yang kontraknya tak diperpanjang karena dana terpotong efisiensi?
Barangkali ungkapan para filsuf benar, “hidup adalah paradoks”. Jean-Paul Sartre berkata, “L’enfer, c’est les autres”—neraka adalah orang lain. Dalam kasus ini, neraka adalah sebuah kebijakan yang mungkin saja hanya dimasak setengah matang, yang jadinya di satu sisi memberi, namun di sisi lain malah mengambil. Bukankah ini buah simalakama? Kita ingin anak-anak kita sehat, tapi apakah itu harus dengan mengorbankan orang tua mereka? Sehingga mereka sekedar sehat dan kenyang sesaat ketika masih di sekolah saja, dan kembali darurat saat pulang ke rumah.
“Pak, kapan kita makan malam?” Seorang bocah bertanya pada ayahnya yang baru saja pulang dengan wajah letih. Dulu, sebelum “efisiensi”, dia bekerja sebagai tenaga administrasi di kantor pemerintah daerah. Gajinya kecil, tapi cukup untuk membeli makan tiga kali sehari. Kini, setelah “efisiensi”, dia bekerja serabutan, mencari proyek lepas yang semakin langka. Gajinya? Entah ada, entah tidak.
Anaknya baru saja pulang dari sekolah, kenyang dari program MBG. Tapi sang ayah, yang sejak pagi hanya minum air putih, hanya bisa tersenyum. “Bentar ya, Nak. Ayah cari uang dulu.”
Mungkin dia bisa mencari tambahan di warung kopi dekat rumah. Atau mengojek. Atau menjual ponsel bekas. Tapi malam sudah terlalu larut, dan perutnya yang kosong sudah terlalu biasa.
“Ketahanan pangan atau ketahanan lapar?”
Aristoteles pernah berkata, “Keadilan berarti memperlakukan orang sesuai dengan kebutuhannya.” Jika anak-anak butuh makan gratis, maka orang tua mereka butuh pekerjaan yang layak. Jika negara bisa membiayai program makan gratis untuk jutaan siswa, mengapa sulit memastikan orang tua mereka tetap bisa membeli beras? Apakah pemerintah lupa,anak-anak tak hanya butuh akan Ketika belajar di sekolah. Mereka juga butuh tercukupi makannya Ketika belajar kehidupan di rumah.
Tapi, apakah tidak mungkin jika efisiensi ini dialihkan ke jalur yang lebih akurat dan benar? Bukankah pemerintah telah menambah jumlah Menteri beserta wakil dan staf-staf khususnya di pemerintahan kali ini? Termasuk memecah beberapa kementerian dan membentuk departemen baru untuk kementerian yang juga baru dibentuk? Kenapa bukan hal ini yang semestinya diefisiensikan? Apakah lowongan Menteri, wakil menteri dan staf-staf tenaga ahlinya bisa diisi oleh mantan-mantan tenaga honorer yang terdampak kebijakan efisiensi? Tentu sajaa tidak mungkin.
Bukankah negeri ini masih menyimpan jutaan kubik kasus korupsi yang bisa diperas untuk kesejahteraan rakyat? Bagaimana jika bukan rakyat kecil yang dikorbankan, melainkan para perampok uang negara yang dibuat jatuh miskin?
Mungkinkah solusi yang lebih adil adalah menutup kebocoran uang negara dengan menghentikan program-program mubazir dan proyek ambisius yang lebih banyak gaya daripada manfaat? Bagaimana jika oligarki yang selama ini menikmati kekayaan negeri tanpa batas mulai dikenakan pajak lebih besar, atau malah diambil alih asetnya demi keadilan sosial? Bukankah ini akan lebih masuk akal ketimbang mengorbankan tenaga honorer, freelancer, dan pekerja kontrak yang sesungguhnya justru tulang punggung ekonomi rakyat?
Atau mungkin kita hanya diminta bersabar, seperti yang sering kita dengar dari janji-janji kampanye? Bahwa ini semua adalah proses transisi. Bahwa semua ini demi masa depan yang lebih cerah. Bahwa setelah badai pasti ada pelangi.
Tapi apa yang harus kita lakukan jika badai ini justru membawa kita ke lautan yang lebih dalam, tanpa perahu?
Mungkin pemerintah akan memberi kita jawaban. Mungkin tidak. Tapi satu hal yang pasti: perut kosong tak butuh janji. Perut kosong butuh makan.
Dan makan, seperti keadilan, tak boleh hanya untuk mereka yang beruntung. Tabik. []