Hakim Tolak Gugatan Praperadilan Hasto, Ini Kata Andi Syahputra….
JAKARTASATU.COM— Hakim tunggal di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan menolak gugatan praperadilan yang diajukan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristiyanto.
“Agak sulit memang bagi Hakim tunggal PN Jakarta Selatan, Djuyamto dalam memutuskan gugatan sidang praperadilan yang dimohonkan oleh Hasto Kristiyanto. Pasalnya, sebagaimana diwartakan beberapa media, rupanya gugatan Praperadilan ini diajukan oleh Hasto usai ditetapkan sebagai tersangka untuk dua kasus pidana yang berbeda, yakni kasus dugaan suap bersama Harun Masiku dan merintangi penyidikan Harun Masiku,” kata Pakar Hukum Andi Syahputra saat dihubungi Jakartasatu.com, Kamis (13/2/2025).
Andi Syahputra mengemukakan ada 2 (dua) hal yang menarik dari putusan sidang Prapradilan tersebut. Pertama semestinya apabila terdapat dua perkara yang dituduhkan berbeda maka mesti ditegaskan untuk perkara yang mana gugatan praperadilan diajukan. Kesan yang terbaca dari media, sebagai Pemohon, Hasto, tidak secara jelas dan tegas menyebutkan atas perkara yang mana dia mempersoalkan status dirinya sebagai Tersangka.
Karena, apabila dicermati, alasan praperadilan Hasto berbeda dengan praperadilan lainnya. Hasto mempermasalahkan penetapan status Tersangka oleh Penyidik karena tidak disertai oleh bukti permulaan yang cukup dan prosesnya tidak sesuai due process of law. Pada konteks ini, semestinya Hakim mesti berpatokan pada ada tidaknya perbuatan Penyidik terhadap Hasto apakah memenuhi Pasal 24 ayat (2) KUHAP itu atau hanyalah sekadar pemeriksaan terhadap para tersangka lainnya.
Sehingga lanjut Andi, dengan begitu akan jelas terlihat antara pemeriksaan Hasto sebagai Saksi yang dianggap oleh Penyidik sudah dianggap selesai dan mencukupi. Selanjutnya, apabila Penyidik berkeyakinan telah memiliki 2 (dua) alat bukti yang menyakinkan untuk menjerat Hasto sebagai Tersangka, maka Penyidik mesti melakukan pemeriksaan baru terhadap kasus baru.
Namun begitu Penyidik bisa berkilah dengan pertimbangan pada Pasal 24 ayat (2) KUHAP tidak menjelaskan secara rigid apa yang dimaksud dengan “pemeriksaan belum selesai”, maka penafsiran kalimat tersebut tidak hanya sebatas untuk kepentingan pemeriksaan saksi maupun tersangka. Melainkan pemeriksaan lainnya, termasuk pemeriksaan saksi-saksi dan penyitaan barang bukti guna kepentingan penyidikan lain. Pendapat ini mempedomani Pasal 20 ayat (1) KUHAP yang menyatakan penahanan dilakukan untuk kepentingan penyidikan.
“Oleh karena, gugatan praperadilan terhadap dua perkara yang tidak dipisahkan maka hemat saya, Hakim Djuyamto dalam pertimbangan hukumnya mencoba menghubungkan sah atau tidaknya penetapan tersangka oleh Penyidik dengan tanpa didahului alat bukti yang cukup sebagai upaya paksa kemudian ditafsirkan makna alat bukti yang cukup dalam ketentuan Pasal 21 ayat (1) KUHAP terhadap ketentuan Pasal 184 ayat (1) sehingga penetapan tersangka termasuk objek praperadilan,” jelas aktivis’80an mantan tahanan politik era Soeharto ini.
Kedua, apabila terdapat perbuatan Hasto yang dianggap sebagai upaya untuk menghalang-halangi penyidikan (obstraction of justice) maka semestinya Penyidik terlebih dahulu melakukan pemeriksaan dan penyidik secara terpisah dan Surat Perintah Penyidikannya juga terpisah tak dapat disatukan dengan perkara asal (inti) yakni perbuatan menyuap. Hemat saya dalam hal inilah kelemahan pihak Hasto yang menggabungkan dua Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) dalam satu permohonan praperadilan. Dengan begitu Hakim Djuyamto dengan mudah mematahkan dengan menyatakan bahwa gugatan yang diajukan tak memenuhi syarat formil.
“Kendatipun begitu, hemat saya Hasto dapat mengajukan gugatan praperadilan kembali untuk gugatan perkara yang spesifik dengan menyebutkan perbuatan yang disangkakan atau menggugat sangkaan telah melakukan perbuatan menghalang-halangi penyidikan,” jelas Andi. (Yoss)