Ilustrasi Kabur Aja Dulu |WAW AI

Hujan Galau di Negeri Sendiri, Hujan Emas di Negeri Orang: #KaburAjaDulu, Salah Siapa?

Oleh: Wahyu Ari Wicaksono, Storyteller
Aku terbangun di suatu pagi dengan secangkir kopi yang mengepul dan selembar berita viral di layar ponselku. Tagar #KaburAjaDulu merajai linimasa. Di sana, anak-anak muda bercakap-cakap tentang peluang kerja di luar negeri, studi di Eropa, bahkan berganti kewarganegaraan. Sementara itu, pemerintah tampak baper—”Ke mana nasionalisme kalian?” katanya.
Tapi, apakah ini benar soal nasionalisme yang memudar? Atau ini hanya ekspresi paling jujur dari sebuah dunia yang semakin dekat, semakin cepat, dan semakin tanpa batas?
Nietzsche pernah berujar, “He who has a why to live can bear almost any how.” Jika seseorang merasa memiliki masa depan yang layak di negeri sendiri, akankah ia tergoda untuk pergi?
Mari kita bersikap adil. Filosofi lama yang kita junjung tinggi—Mangan ra mangan kumpul, atau hujan batu di negeri sendiri lebih baik daripada hujan emas di negeri orang—adalah mantra kebersamaan. Tetapi bukankah kita juga yang, tanpa ragu, mengirim anak-anak kita merantau demi pendidikan lebih tinggi dan kesejahteraan lebih baik? Apakah itu pengkhianatan, atau justru bentuk tertinggi dari cinta dan tanggung jawab?
John Stuart Mill dalam On Liberty menulis bahwa individu harus bebas memilih jalan hidupnya. Rasionalitas manusia berkembang seiring globalisasi—mereka melihat peluang, menimbang masa depan, dan bertindak. Lalu, jika tanah air terasa semakin sempit, apakah salah jika seseorang mencari ruang bernapas yang lebih luas?
Pertanyaan besar bukanlah “Mengapa mereka ingin pergi?” tetapi “Mengapa mereka tidak ingin bertahan?”
Jika gaji layak sulit didapat, jika meritokrasi lebih sering menjadi mitos ketimbang realitas, jika talenta lebih dihargai di negeri orang—maka bukan mereka yang salah. Ini bukan sekadar problem loyalitas, tetapi juga refleksi atas kegagalan negara dalam menyediakan harapan.
Sebagai contoh, gaji guru dan dosen di Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan negara-negara lain. Seorang dosen pemula di Indonesia rata-rata mendapatkan Rp5-7 juta per bulan, sementara di Singapura atau Australia bisa mencapai Rp40-70 juta. Perbedaan yang mencolok ini membuat banyak akademisi memilih untuk mencari kehidupan yang lebih baik di luar negeri, meski mereka adalah penerima beasiswa dari pemerintah yang seharusnya kembali mengabdi di dalam negeri.
Selain itu, fenomena Kabur Aja Dulu ini juga berbeda dari gelombang migrasi tenaga kerja Indonesia pada dekade-dekade sebelumnya. Jika dulu mayoritas pekerja migran berasal dari kalangan berpendidikan rendah yang mencari nafkah di sektor informal, kini yang pergi justru adalah talenta-talenta potensial—profesional muda, akademisi, hingga lulusan terbaik universitas ternama. Bahkan mereka yang dibiayai negara pun memilih untuk menetap di luar negeri karena merasa lebih dihargai di sana.
Di saat yang sama, dunia kerja di dalam negeri semakin tak ramah akibat efisiensi anggaran negara yang salah penerapan. Alih-alih membuat kerja lebih efektif, efisien, dan sistematis, efisiensi ini justru diterapkan dengan memberhentikan tenaga honorer, mengurangi kualitas layanan publik, tanpa sedikit pun memangkas operasional mobil-mobil dinas pejabat yang mewah dan glamour. Efisiensi anggaran oleh pemerintah tidak dimaknai dengan perubahan gaya hidup pejabatnya, tetapi justru pengurangan kesejahteraan para bawahannya.
Pramoedya Ananta Toer menulis, “Seorang terpelajar harus sudah berbuat adil sejak dalam pikiran.” Maka, alih-alih mempertanyakan rasa cinta rakyat, mungkin sudah waktunya pemerintah bercermin—apa yang telah mereka lakukan agar negeri ini layak dicintai?
Di luar sana, rumput memang sering tampak lebih hijau. Tapi orang tidak sekadar pergi karena tertarik pada hijaunya rerumputan tetangga. Mereka pergi karena tanah sendiri terasa terlalu tandus untuk ditinggali.
Jadi, wahai pemerintah, sebelum kalian baper, tanyakanlah pada diri sendiri: Apa yang harus kami bangun bersama, agar tanah ini kembali subur bagi mereka yang ingin tinggal?
Atau, seperti kata Rumi, “Why do you stay in prison when the door is so wide open?” []