Presiden Yang Gagal
Oleh: Lukas Luwarso
Aksi-aksi Jokowi pasca pensiun sebagai presiden semakin menggelikan. Kesibukan mencari atensi, mematut diri, agar terkesan sibuk sebagai mantan, menunjukkan kompetensi, kualitas, dan kelasnya secara personal. Memobilisasi pendukung untuk mendatangi rumahnya, bagi-bagi souvenir, melakukan parade naik motor gede, menggelar demo masak. Kegiatan level mantan lurah yang ingin terkesan merakyat. Sama sekali tidak menunjukkan kelas seorang mantan presiden.
Dengan mencari atensi, Jokowi ingin terus menunjukkan dia masih “eksis”. Mungkin agar politik cawe-cawe dan nitip-nitipnya masih punya pengaruh. Sebagai mantan, Jokowi sadar dia tidak lagi bisa mengandalkan “politik sprindik” untuk menekan dan memaksa aparat- birokrasi-parpol menuruti kemauannya.
Jokowi adalah contoh, quintessential, presiden gagal. Ia bukan hanya tidak bisa memenuhi berbagai target dan janji yang ia kampanyekan. Ia bahkan meninggalkan banyak persoalan dan beban bagi pemerintahan baru. Dari hutang yang membengkak, defisit anggaran, hingga IKN yang mangkrak.
Pemerintahan baru yang ia turut menangkan agar ada “keberlanjutan” , mulai terlihat patah arang bisa melanjutkan ambisinya. Segala kebijakan “efisiensi” dan penghematan anggaran yang kini terpaksa dilakukan Presiden Prabowo adalah testamen, bukti, kegagalan Jokowi.
Dulu slogan kampanye yang pernah didengungkan adalah, Jokowi “tidak punya beban masa lalu”. Kini mulai terbukti, Jokowi adalah beban untuk masa depan. Ambisi politiknya berlebihan, daya rusaknya berkelanjutan.
Dalam sistem demokrasi presiden terpilih memang karena kemampuan mengundang atensi dan membangun persepsi, saat berkampanye. Namun, memanen perhatian dan persepsi (hasil kerja kehumasan dan pencitraan) bukanlah keberhasilan kinerja presiden. Menggaet atensi, perhatian, tepuk-tangan dan pemujaan adalah tipikal kerja pesohor, pesolek, atau pemain sirkus.
Menjadi presiden adalah amanat dan mandat rakyat, bekerja untuk publik dan republik. Bukan untuk mencari perhatian, popularitas, dan keuntungan personal. Jokowi mungkin “berhasil” dalam hal memajukan karir politik (dan ekonomi) anak, menantu, keluarga, dan kroninya. Tapi Ia jelas gagal memajukan Indonesia.
Jokowi sukses menggaet atensi, melalui segala polah kontroversi dan kepura-puraannya. Namun ia gagal dalam kerja-kerja nyata yang membawa perbaikan. Kerja konkrit yang bisa diukur dan divalidasi. Ekonomi Indonesia stagnan, indeks pembangunan manusia merosot, tatanan hukum dan sistem bernegara rusak di era pemerintahannya.
Presiden gagal, lazimnya karena tidak mampu menyelaraskan antara: kebijakan, komunikasi, dan implementasi. Samuel Kernell, dalam bukunya, _Going Public,_ mensinyalir presiden era modern lebih banyak menghabiskan waktu untuk acara-acara seremonial dan bepergian. Artinya hanya sedikit waktu untuk benar-benar bekerja.
Presiden yang lebih senang membuka berbagai acara, berfoto-ria, berpidato di beragam acara remeh-temeh menjadi pengamat atau curhat. Mereka begitu sibuk berbicara, “omon-omon”, menganggap berbicara sebagai bekerja, lupa fokus untuk bertindak, melakukan eksekusi dan implementasi.
Ciri lain presiden gagal biasanya dikelilingi anggota kabinet, penasihat, atau pejabat yang secara personal relasi atau kroni terdekat. Orang-orang yang ikut berkampanye (tim sukses atau “relawan”) memenangkan mereka. Orang-orang yang cakap dalam seni menggaet atensi atau jago dalam mendengung. Namun orang yang pintar cari atensi (humas) biasanya tidak cakap dalam mengelola pemerintahan.
Presiden yang gagal biasanya sibuk politiking untuk memenangkan persepsi, itu sebabnya mereka terus berkampanye. Menjadi presiden adalah soal “perpetual campaign”, berupaya terus menarik perhatian, menjadi pusat atensi, dan terobsesi dengan opini (persepsi) publik.
Obsesi terhadap persepsi publik adalah halusinasi yang berbahaya di era sosial media. Sebuah ilusi fatamorgana yang akan mendorong presiden gagal menjalankan tugas utamanya, yaitu: meningkatkan kinerja negara dan memajukan rakyatnya.
Agar bisa berhasil, presiden perlu fokus pada urusan mengelola tata pemerintahan yang baik (good governance). Kerja-kerja yang tidak mudah, kompleks, dan jauh dari hiruk-pikuk sensasi pencari-atensi ala selebriti. Ini lesson learned dari 10 tahun di era Jokowi, presiden yang gagal.
Presiden yang terus berkampenya setelah terpilih adalah kebodohan. Tapi yang jauh lebih bodoh adalah, terus berkampanye ketika sudah pensiun sebagai presiden. Ini tragedi Jokowi, yang tidak semestinya berlanjut.
******